1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bersepeda Nikmati Kecantikan Kota Münster

Ayu Purwaningsih9 Mei 2008

Sebagian Kota Münster di Jerman, hancur saat perang dunia kedua. Usai perang, pemerintah setempat segera memugarnya, dan membangun prasarana bersepeda yang menyenangkan.

https://p.dw.com/p/DxSG
Parkir sepeda di Münster
Parkir sepeda di MünsterFoto: dpa

Angin semilir bertiup perlahan, ketika saya tiba pada pagi hari di awal musim semi di Kota Münster, Jerman. Matahari mengintip di antara daun-daun pepohonan d Promenade, jalan selebar tiga meter yang mengelilingi pusat kota sejak abad ke-18. Berbagai macam sepeda hilir mudik, menghidupkan suasana kota yang cantik ini.

Sehari-hari, mulai dari tukang sayur, penjaga toko, pegawai pabrik, tukang roti, pramuria, pegawai negeri, sampai dengan direktur perusahaan-perusahaan besar, dengan bangga mengayuh sepeda menuju tempat kerja mereka. Seorang warga Münster yang berasal dari Indonesia, Wati yang saya jumpai pagi itu ketika menjejakkan kaki di kota ini menuturkan: „Minimum satu keluarga punya dua sepeda. Anak, ibu, bapak, masing-masing punya sepeda. Semua orang bekerja di sini memakai transportasi sepeda.“

Münster identik sebagai kota sepeda. Lebih dari 500 ribu sepeda tercatat di kota yang berpenduduk tak sampai tiga ratus jiwa ini. Siang mulai menjelang naik, pengendara sepeda kian ramai. Usai berjalan-jalan di Promenade, saya mampir di restoran tertua di Münster, Leve. Sambil mencicipi sepiring asparagus yang dikombinasikan dengan daging asap, saya mendengarkan sejarah yang dikisahkan Stephan Böhmer, pejabat urusan transportasi kota Münster, bagaimana asal-muasal kota ini hingga bisa terkenal sebagai kota sepeda di Eropa.

„Sepeda merupakan sarana transportasi tradisional yang sudah mengental di Münster sejak sebelum perang dunia kedua. Kemudian di pertengahan tahun 1970-an, ketika terjadi kemacetan di kota, dewan kota Münster mengambil kebijakan untuk mensubsidi infrastrukstur untuk bersepeda di Münster. Sehingga meyakinkan penduduk bahwa bersepeda merupakan sistem transportasi yang lebih baik ketimbang mengendarai mobil. Meski hampir semua warga juga punya mobil, di dalam kota mereka lebih memilih untuk bersepeda, karena mempercepat mobilitas, lebih murah dan lebih nyaman.“

Sarana yang dimaksud selain mempercantik kembali lintas sepeda Promenade yang mengelilingi pusat kota dengan pepohonan dan taman, juga dengan menyediakan jalur khusus yang nyaman bagi pengendara sepeda. Di sekitar lampu merah, disediakan jarak khusus antara jalur sepeda dan mobil, sehingga pengendara sepeda tak perlu khawatir terkena asap knalpot kendaraan bermotor atau mobil secara langsung. Pengendara sepeda, juga diperbolehkan membawa sepeda mereka ke dalam bus kota. Dengan adanya jalur khusus untuk sepeda, masyarakat bisa memotong jalan untuk mempercepat tiba di tujuan, tanpa harus mengikuti jalur kendaraan bermotor. Tak mengherankan bila hampir semua orang jadi suka bersepeda.

Usai memanjakan perut, saya berpisah dengan Stephan Böhmer, pejabat urusan transportasi kota Münster itu. Dia mengambil sepedanya dan kembali ke kantor, sedangkan saya berjalan kaki hingga ke stasiun kereta kota Münster. Di stasiun utama ini ada tempat parkir atau penitipan sepeda atau yang disebut Rad Station terbesar di Jerman. Bagi mereka yang bekerja di luar kota banyak yang memanfaatkan sarana ini. Mereka mengendarai sepeda dari rumah dan menitipkannya di sini lalu melanjutkan perjalanan dengan kereta. Pulangnya, mereka tinggal menjemput sepeda di stasiun dan mengendarai hingga tiba di rumah. Cukup praktis, bukan? Mary Terese Kramer, pemandu wisata di Münster mengatakan:

„Di tempat penitipan sepeda ini, setiap akhrinya bisa memuat sekitar 3300 an sepeda. Sewa parkirnya sama dengan 8000 rupiah yang bagi warga di sini tak begitu memberatkan. Di tempat penitipan ini anda juga bisa membersihkan sepeda, membetulkan kerusakan dan membeli apapun keperluan yang berhubungan dengan sepeda. Sepeda anda juga terjamin keamanannya bila dititipkan di sini. Meski demikian, masih sulit mencari solusi perpakiran sepeda.“

Pemerintah kota masih punya pekerjaan besar untuk menata perpakiran sepeda di kota yang kecil ini, lanjutnya sambil tersenyum, mengingat anaknya yang sejak usia tiga tahun sudah pandai bersepeda.

Dari Rad Station, bersama sang pemandu wisata Mary Terese Kramer, saya kembali menikmati akhir pekan yang mengasyikkan di Münster. Tak hanya nyaman untuk bersepeda, kota Münster yang hancur ketika perang dunia kedua dan telah dipugar kembali sesuai dengan aslinya, menawarkan pemandangan kota tua yang cantik bagi para para wisatawan. Belum lagi taman-tamannya yang indah. Bunga tulip berwarna-warni berbaris rapi menyaingi kecantikan bunga Bakung yang berwarna kuning. Saya dan Mary Terese kemudian bersantai sejenak di sebuah kafe tua sambil memandang kecantikan kota Münster. Hmm nikmat betul.

Seusai menyesap secangkir kopi nikmat di sebuah kafe tua yang tak terkena bom kala perang dunia ke dua, Mary Terese mengajak saya ke Graphic Museum Pablo Picasso. Di sini para pecinta sang maestro, diajak untuk melihat metamorfosa karya Picasso dari waktu ke waktu. Tak hanya itu, karya fotografer Lucien Clergue, yang hobi memotret Picasso semasa hidupnya, juga dapat dinikmati. Di tahun 1960-an, Clergue kemudian menjadi terkenal dengan gaya fotografi surealismenya.

Puas melihat karya-karya Picasso dan Clergue, kami mengunjungi Gereja St. Paul yang berada di jantung kota. Sebagain besar dari gereja ini sebenarnya hancur saat perang dunia kedua, namun ada bagian penting yang tersisa yaitu jam astronomi yang dibuat tahun 1400-an dan masih berfungsi hingga kini.

Dari gereja Katedral, kami mampir ke Gereja Clement yang juga berada di pusat kota. Gereja ini kecil, namun yang menarik karya seni gaya barock yang menghiasi kubah gereja, begitu mempesona. Perbedaan antara lukisan dengan gambar timbul tak kentara, namun begitu hidup dan menyatu satu sama lain. Warna-warna pastel menghiasi begitu banyak lukisan yang menyatu dengan patung di kubah gereja. Mary Terese Kramer:

„Ini ciri khas karya Barock, tak ada batasan antara lukisan dengan patung. Lihat malaikat di atas sana, tangannya itu adalah patung sementara lainnya hanya lukisan tapi begitu menyatu. Malaikat di sebelahnya patung, namun lainnya lukisan. Ada lagi ilusi lain yang tak kalah menarik. Kalau anda memperhatikan dari jarak sangat dekat, maka baru kelihatan bahwa gambar yang satu itu tangan kanannya adalah lukisan, tangan lainnya patung.“

Setelah meninggalkan Gereja Clement, tentu saja saya tak mau melewatkan Friedenshall, atau balai kota yang dibangun sekitar abad ke -13. Istimewanya gedung balai kota tua ini merupakan tempat penandatanganan Perjanjian Damai Westfalen, yang merupakan kesepakatan mengakhiri Perang 30 tahun di Eropa pada abad ke-17.

Keluar dari gedung bersejarah, dahaga mulai menyergap kerongkongan. Kami bersepeda menuju bar paling tua di Münster, Pinkus Bier. Sekelompok orang tua tengah merayakan ulang tahun seorang rekannya. Bergembira menikmati senja dengan segelas bir dingin. Saya memilih bir non alkohol yang ditaburi oleh potongan buah strawberry.

Malam mulai menghampiri. Pemusik jalanan mulai memainkan nada. Pukul setengah sembilan malam, kami menuju gereja Lamberti. Bersama sang penjaga menara saya memasuki lorong kecil memanjat berputar ke atas tempat lonceng raksasa bergantung

Namun setiba di pucuk bawah atap gereja, pemandangan kota Münster dari ketinggian 300 anak tangga yang begitu indahnya. Keletihan seharian berjalan kaki mendadak sirna. Penjaga menara gereja ini merupakan salah satu dari hanya dua penjaga pintu gereja yang merupakan tradisi abad pertengahan. Tepat pukul 21 malam, ia meniup terompet gading. Sang penjaga menara gereja atau Türmer ini sangat istimewa. Dalam 14 tahun masa tugasnya selama ini, seharipun ia tidak pernah absen kecuali masa libur. Ia tidak pernah sakit. Hebat bukan. Seusai meniup terompet gading, ia mengantar kami kembali ke bawah. Menapaki anak-anak tangga dengan kepuasan tak terhingga menikmati perjalanan ke Münster.(ap)