1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bincang Kebangsaan Dengan Yenny Wahid di KBRI Berlin

26 Juni 2019

Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengimbau masyarakat Indonesia di Jerman memperbanyak dialog konstruktif di semua lapisan untuk menjembatani perbedaan.

https://p.dw.com/p/3L6GK
Yenny Wahid in Berlin
Foto: KBRI

Yenny menyampaikan hal itu pada acara Bincang Santai dengan Masyarakat Indonesia di Berlin, Jerman. Sekitar 70 orang hadir pada acara yang berlangsung di KBRI Berlin hari Minggu, 23 Juni 2019. Dubes RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno bertindak selaku moderator pada acara itu.

Menurut Yenny, hasil survei Wahid Foundation, sebelumnya dikenal sebagai Wahid Institute, menekankan pentingnya membangun pemahaman yang lebih baik melalui dialog yang konstruktif di semua lapisan masyarakat. Hal itu diperlukan untuk mengantisipasi fenomena "divided nations" yang tengah menggejala di berbagai negara saat ini.

"Kita perlu banyak bertemu, banyak dialog. Mengedepankan titik-titik persamaan dan menjembatani perbedaan. Kalau sudah saling mengerti, saling paham, Insya Allah saling tuding dan saling curiga akan berkurang”, jelas Yenny.

Dia mengatakan bahwa media sosial juga sering menjadi alat untuk memperoleh keuntungan finansial dengan cara menyebarkan hoax dan menciptakan perpecahan.

"Kita perlu membangun konter narasi terhadap berbagai hoaks dan fake news yang berkembang di media sosial. Ini juga salah satu bentuk dialog yang penting kita kembangkan terus menerus".

Yenny Wahid in Berlin
Bincang santai dengan Yenny Wahid (kiri) di Berlin dimoderatori Dubes RI untuk Jerman Arif Havas Oegroseno (kanan)Foto: KBRI

Dubes RI di Jerman Arif Havas Oegroseno menyebutkan salah satu aspek penting dalam diskursus kebebasan berpendapat adalah pencapaian titik keseimbangan antara kebebasan pendapat dengan kepentingan umum dan kebebasan pendapat orang lain.

"Hukum internasional tentang keseimbangan kebebasan berpendapat dengan kepentingan umum sudah diatur secara jelas. Selain itu juga terdapat berbagai yurisprudensi tentang hal ini. Di Eropa sendiri terjadi debat yg luas tentang keseimbangan freedom of speech dengan hate speech dan hoax - fake news”, ujarnya.

Saat ditanya Dubes Oegroseno mengenai peran ulama dan penceramah perempuan di Indonesia saat ini, Yenny menyatakan bahwa saat ini jumlah penceramah perempuan meningkat. Dalam beberapa hal ulama dan penceramah perempuan lebih efektif dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada umat.

Perempuan juga berperan penting dalam meredam sikap intoleransi di kalangan masyarakat, terutama melalui pendidikan yang berawal dari keluarga, tambahnya.

Yenny Wahid in Berlin
Yenny Wahid berbicara di Pertemuan Diaspora Indonesia di Berlin, 23 Juni 2019Foto: DW/H. Pasuhuk

Beberapa isu lain juga mengemuka selama dialog dengan masyarakat Indonesia di Berlin antara lain terkait dengan politik identitas, arah demokrasi Indonesia ke depan, serta peran dan sinergitas Wahid Foundation menghadapi perkembangan situasi Indonesia saat ini.

Pada kesempatan kunjungan di Berlin, puteri ketiga Almarhum Gus Dur ini juga melakukan pertemuan dengan Kepala Departemen Agama dan Kerja Sama Internasional Kemlu Jerman, Duta Besar Volker Berresheim tanggal 24 Juni 2019. Dalam pertemuan dibahas mengenai kontribusi Indonesia untuk memajukan dialog antar umat beragama, khususnya terkait dengan KTT Religion for Peace yang akan diselenggarakan di Jerman bulan Agustus mendatang. Di hari yang sama Yenny juga bertemu dengan mitranya dari Robert Bosch Stiftung, Sandra Breka. Pada kesempatan tersebut dibahas mengenai rencana kerjasama Wahid Foundation dengan Robert Bosch Stiftung.

Sore hari, Yenny Wahid juga menghadiri Pertemuan Diaspora Indonesia yang digelar di Gloria Event Center di pusat kota Berlin, dihadiri masyarakat Indonesia dari lebih 20 negara Eropa. Dalam wawancara ekslusif dengan DW, Yenny menceritakan tentang kegiatan Wahid Foundation yang dinamakan Prakarsa Desa Damai (Peace Village Initiative). Tujuannya adalah membangun dan mengembangkan ketahanan sosial di tengah masyarakat untuk melawan intoleransi dan mempertahankan pluralisme pada tingkat desa. (hp/KBRI berlin)