1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bisnis Freeport di Indonesia dan Kesejahteraan Masyarakat

Teddy Wibisana4 Desember 2015

Di saat ekonomi sulit, kita kehilangan potensi pendapatan negara dari deviden Freeport. Padahal tahun ini pemerintah menargetkan pendapatan dari deviden Freeport Indonesia sebesar Rp. 1 triliun. Oleh Teddy Wibisana

https://p.dw.com/p/1HHTl
Indonesien Freeport McMoRan's Grasberg Goldmine in Papua
Foto: Getty Images/AFP/O. Rondonuwu

PT Freeport Indonesia tidak membagi deviden bukan hanya tahun ini saja, tahun sebelumnya pun anak perusahaan FreeportMcMoran itu juga tidak membagi deviden. Padahal dalam laporan keuangan yang tertuang dalam laporan keuangan Freeport McMoRan, pada tahun 2013 Freeport Indonesia memberikan kontribusi laba usaha sebesar USD 1531 Juta atau 24% dari laba induknya (Freeport McMoran). Sedang tahun 2014, kontribusi Freeport Indonesia menurun dalam jumlah nominalnya menjadi sebesar USD 817 juta. Tetapi dalam prosentase, kontribusi Freeport Indonesia meningkat menjadi 42% terhadap keuntungan Freeport McMoran.

Sangatlah tidak adil jika PT Freeport Indonesia tidak membagi deviden kepada kita (pemerintah), sementara keuntungan yang diperolehnya di “setor” ke perusahaan induk, jadi justru digunakan untuk “membahagiakan” para pemegang saham di Induk. Ini kekayaan alam kita, rakyat kita pantas menikmatinya. Tidak cukup jika freeport hanya membagi royalty dan pajak. Royalty dan pajak adalah peraturan yang disepakati saat mereka beroperasi di negeri ini. Jika keuntungan tahun 2014 sebesar USD 817 juta dikonversi dalam rupiah di pada April 2015, maka laba Freeport Indonesia besarnya Rp.11 Triliun. Jika ekspektasi pemerintah untuk mendapatkan deviden sebesar Rp.1 Triliun, maka jumlah tersebut tidak lebih besar dari proporsi kepemilikan saham pemerintah di Freeport Indonesia.

Ini sesuatu yang sudah terjadi, tulisan ini bukan untuk meraung-raung atas hal yang sudah terjadi, tapi bagaimana kita belajar dari kesalahan atas ketidak-tegasan kita dalam menegakan prinsip. Bukan sekedar tunduk pada hal normatif, tunduk pada keputusan bedasarkan kepemilikan saham.

Untuk itu kita harus ada pembanding yang memiliki potensi nilai pertambangan yang besar. Untuk itu saya coba membandingkannya dengan Merdeka Copper dengan usaha tambangnya di Gunung Pitu-Banyuwangi. Pantaskah membandingkan Freeport Indonesia dengan Merdeka Copper?

Sementara Freeport sudah berproduksi selama hampir 50 tahun, Merdeka Copper baru akan berproduksi tahun depan. Dan jika perkiraan deposit emas dan perak di Merdeka Copper benar pun, depositnya masih dibawah Freeport Indonesia di Papua. Tapi bukan sekadar itu (sudah/belum beroperasi atau besar kandungan depositnya) yang akan diperbandingkan. Namun bagaimana hasil tambang dirancang untuk memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional.

Pertama, Merdeka Copper (MDKA) saat ini sudah terdaftar di BEI sehingga akan lebih transparan untuk dapat diawasi oleh publik. Tidak seperti Freeport Indonesia, untuk menemukan data keuangannya pun harus mencari lewat situs Freeport MacMoran (fcx.com), karena di laporan tahunan yang dirilis di situsnya (ptfi.co.id) saya tidak menemukannya.

Kedua, dilihat dari pemegang sahamnya, tidak ada mayoritas pengendali (diatas 50%) dan diisi oleh pengusaha nasional: Para pengusaha dengan nama yang cukup berpengalaman baik secara pribadi maupun perusahaannya. Para pemegang saham Merdeka Copper adalah Maya Miranda Ambarsari (14,8%), Garibaldi Thohir (10,63%), Andreas Reza Nazaruddin (3,54%), dan Sakti Wahyu Trenggono (3,15%), PT Srivijaya Kapital (7,09%), PT Trimitra Karya Jaya (25,7%), dan PT Mitra Daya Mustika (25,7%)

Maya Miranda Ambarsari cukup dikenal sebagai perempuan pengusaha dibidang tambang dan properti. Garibaldi Thohir (Boy Thohir), kakak dari Eric Thohir cukup akrab ditelinga. Dan Sakti Wahyu Trenggono, sangat dikenal dengan TBIG nya, perusahaan pionir dan pencipta pasar tower bersama/independen di Indonesia. Dan saat ini, saham TBIG termasuk dalam kelompok saham blue chip di pasar modal.

Yang ketiga, dan sangat menarik, sebelum IPO, terbangun inisiatif untuk memberikan saham kepada Pemda Kabupaten Banyuwangi sebesar 10%. Ini langkah pionir dalam upaya mengimplementasikan keadilan ekonomi kepada daerah, sehingga pemerintah daerah akan mendapat pembagian keuntungan dari saham yang dimilikinya, dan pemerintah pusat akan mendapat royalty dan pajak. Mungkin semangat ini dimiliki para investor karena Merdeka memang didirikan oleh pengusaha nasional yang lebih memiliki kepedulian dibanding Penanam Modal Asing (PMA), karena menyangkut bangsa dan negaranya.

Semangat keadilan ini yang harus terus diperhatikan dan dijaga. Pertama, membangun komitmen akan keadilan, yang tercermin dari kepemilikan saham Pemda di Media Copper. Ini ujian, mengingat setelah IPO porsi saham Pemda Banyuwangi terdilusi paling besar, dari 10% menjadi 6,55% (berkurang 34,5%), dengan adanya saham publik sebesar hampir 12% akibat IPO tersebut. Dan dilihat dari proporsi saham yang dimiliki publik dan kebutuhan investasi masih tinggi, maka kemungkinan right issue akan terjadi lagi, jangan sampai saat right issue, saham Pemda Banyuwangi yang akan terdilusi lebih besar lagi. Kedua, bagaimana dalam pengelolaannya mementingkan aspek perlindungan kualitas lingkungan.

Ketiga, bagaimana kepedulian terhadap masyarakat, selain lewat paradigma menjaga kualitas lingkungan, juga aksi-aksi sosial dalam CSR yang bermanfaat dan berkelanjutan. Jika ke tiga hal tersebut menjadi semangat untuk di implementasikan, maka Merdeka Copper akan memiliki dampak ekonomi dan kesejehteraan masyarakat yang lebih besar dibanding Freeport Indonesia.

Teddy Wibisana – Ketua Almisbat

(Tulisan ini pertama kali terbit di Portal KBR: http://portalkbr.com/opini/11-2015/freeport_indonesia_dan_merdeka_copper/77151.html)

Bergbau in Indonesien
Pertambangan emas Grasberg di Papua adalah pertambangan emas terbesar duniaFoto: Getty Images/AFP
Indonesien Demo vor dem Sitz von Freeport McMoran Inc. in Jakarta
Demo di depan kantor PT Freeport Indonesia di JakartaFoto: picture alliance/Photoshot/Xinhua/Zulkarnain
Indonesien, Teddy Wibisana
Teddy WibisanaFoto: Privat