1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bisnis Militer di Indonesia

12 Januari 2010

Human Rights Watch yang bermarkas di New York mengeluarkan laporan mengenai bisnis militer di Indonesia. Disebutkan, Presiden SBY menunda-nunda pelaksanaan sebuah ketetapan tahun 2004 yang melarang TNI berbisnis.

https://p.dw.com/p/LTr9

Laporan 20 halaman itu berjudul "Janji yang tak ditepati” dan membahas kegagalan mereformasi militer di Indonesia, secara khusus dalam menghentikan kegiatan bisnis. Human Rights Watch yang menerbitkan laporan itu, meneliti permasalahannya karena 2009 merupakan batas waktu pelaksanaan Undang-undang No. 34/2004 yang memberikan pemerintah Indonesia lima tahun untuk mengambil alih seluruh bisnis militer.

Human Rights Watch menyayangkan penundaan terhadap pengalihan bisnis militer dan reformasi militer secara umum. Menurut Lisa Misol peneliti utama laporan itu, “sebenarnya ada peluang yang bagus untuk mendorong isu penting tersebut. Karena menghapus kegiatan bisnis militer amat penting guna mengukuhkan kekuasaan sipil, menghilangkan konflik kepentingan yang telah menimbulkan banyak pelanggaran hak azasi manusia dan mendorong korupsi di dalam kelompok militer.”

Selama ini baik pihak militer maupun pemerintah Indonesia berkilah bahwa militer Indonesia perlu memiliki badan-badan usaha untuk memenuhi kebutuhan anggarannya dan untuk memperbaiki kehidupan para tentara. Tapi menurut Lisa Misol hal ini tidak terbukti, “meskipun dibandingkan negara-negara tetangganya, anggaran militer Indonesia masih lebih rendah, tapi kenyataannya dalam beberapa tahun terakhir anggaran itu sudah dinaikkan menjadi jauh lebih tinggi. Selain itu anggaran resmi itu hanya menutup sebagian saja dari dana yang disalurkan ke militer”

BdT Indonesien Militär trainiert für Sicherheit bei Wahlen
Foto: AP

Dalam laporannya, HRW mencatat bahwa secara resmi, tahun 2007 pemerintah mengalokasikan Rp 29,5 trilyun untuk militer, yang dinaikkan menjadi hampir Rp 34 trilyun pada 2009. Sementara menurut data resmi 2007 yang dikutip HRW, sampai kini bisnis militer meliputi sedikitnya 20 yayasan dan lebih dari 1000 koperasi, termasuk kepemilikan atas 55 perusahaan serta penyewaan ribuan properti dan gedung-gedung pemerintah. Diperkirakan nilai aset kotornya mencapai Rp. 3,2 trilyun dan menghasilkan laba sekitar Rp 268 milyar.

Misol mengakui, bahwa jumlah anggaran militer yang sebenarnya agak sulit untuk dievaluasi. Namun tambahnya, ada kenyataan yang lebih getir, hasil bisnis itu tak digunakan untuk program sosial bagi tentara.

“Bisnis-bisnis ini tidak membantu atau memperbaiki kehidupan para tentara, seperti yang selalu mereka katakan, tetapi hanya menguntungkan korps perwira elit. Padahal kebutuhan semua tentara seharusnya bisa dipenuhi dari dana yang datang dari pemerintahan dan bisa dipertanggung jawabkan secara publik di parlemen”, begitu ungkap Misol.

Human Rights Watch mengimbau agar pemerintah sipil Indonesia lebih serius menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin, serta menyadari bahwa secara hukum mereka wajib mengambil alih kekuasaan atas bisnis militer. Disebutkan, pihak militer pun sudah menyatakan akan mendukung pemimpin sipil ini dan karenanya perlu dibuktikan juga, seberapa jauh kekuasaan pemerintah sipil diakui oleh militer Indonesia.

Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk