1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bukan Soal Hormonal, Melainkan Budaya Perkosaan

Mariana Amiruddin1 Juni 2016

Kebijakan kebiri kimia bukan solusi yang relevan untuk mengatasi kekerasan seksual yang marak terjadi di tanah air. Berikut alasannya dipaparkan aktivis perempuan, Mariana Amiruddin.

https://p.dw.com/p/1Iy3Q
Foto: Fotolia

Hukuman kebiri kimia akan sulit disebut sebagai hukuman yang efektif dan etis. Alan Turing, ahli matematika Inggris pernah menjalani hukuman kebiri kimia karena diketahui memiliki orientasi seksual yang berbeda. Beberapa tahun kemudian pemerintah Inggris meminta maaf, sebab apa yang diberlakukan kepada Alan Turing adalah sebuah hukum penyiksaan yang melanggar hak asasi seseorang.

Kebiri kimia memang memiliki dampak penurunan gairah seksual seseorang (selain dampak lainnya karena perubahan hormonal). Kebiri terutama diterapkan kepada laki-laki pelaku perkosaan terhadap korban di bawah umur (belum ditemukan berlaku sama pada pelaku perempuan). Tetapi bahwa suntik kebiri sebagai hukuman berangkat dari persepsi bahwa perkosaan disebabkan oleh individu yang mengalami kelainan seks, kelainan jiwa, dimana dorongan seks mereka tidak wajar, tidak terkontrol, tidak sesuai dengan norma dan nilai masyarakat. Perkosaan dilihat sebagai persoalan hormon, karena itu hukuman yang diterapkan melakukan intervensi terhadap hormon pelaku.

Persoalannya di Indonesia

Di beberapa tempat lainnya, kebiri kimia sebetulnya merupakan terapi bagi seseorang yang ingin menurunkan gairah seksualnya. Dalam hal ini kebiri kimia sebetulnya adalah sebuah pilihan seseorang, misalnya bagi seseorang yang ingin hidup selibat, dan tidak ingin memiliki hubungan dengan siapapun, termasuk secara seksual. Artinya bahwa telah ada persetujuan untuk melakukan intervensi obat pada tubuh seseorang.

Yang menjadi persoalan besar atas pro kontra di Indonesia saat ini, bagi yang menolak peraturan kebiri yang dilakukan oleh lembaga negara hak asasi manusia (Komnas Perempuan dan Komnas HAM) yang bertugas mengoreksi sistem di Indonesia supaya dalam kebijakannya memenuhi kerangka hak asasi manusia, melihat bahwa persoalan perkosaan bukan pada faktor hormonal seseorang, melainkan faktor budaya yang melanggengkan tindakan perkosaan.

Korban sering disalahkan

Definisi extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) seharusnya diterjemahkan bahwa perkosaan perlu ditangani secara sungguh-sungguh melalui pemenuhan kebutuhan korban seperti pendampingan, pemulihan, dan proses pengadilan, dimana persoalan sistem hukum di Indonesia selama ini menganggap perkosaan bukan dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan, hanya sebagai kesopansantunan, dan seringkali korban disalahkan.

Sikap aparat hukum maupun masyarakat dalam menangani korban dan pelaku sering memilih damai, misalnya dengan dinikahkan, atau menyalahkan pakaian korban.

Bahkan di sebuah wilayah di Cilacap, Jawa Tengah, seorang anak dari ibu yang adalah pekerja seks, diperkosa ramai-ramai karena stigma bahwa anak dari pelacur boleh dipakai siapa saja. Bahwa persoalan perkosaan kebanyakan adalah soal kekuasaan terhadap tubuh perempuan, anak-anak, lansia, intinya tubuh-tubuh yang lemah, yang mudah untuk ditundukkan. Perkosaan adalah soal amarah, kultur, eksperimentasi atas nilai-nilai ke-macho-an, dan lain sebagainya.

Solusinya: Rehabilitasi

Oleh karena itu solusi utama hukuman bukan pada faktor fisik, melainkan rehabilitasi. Di Indonesia, banyak perkosaan justru terjadi di dalam keluarga, yang dilakukan ayah, kakak, atau pamannya sendiri.

Yang paling dibutuhkan sebenarnya adalah perllindungan, pemulihan terhadap korban, dan akses keadilan dengan memaksimalkan perangkat hukum yang sudah ada di dalam berbagai UU seperti KDRT, perdagangan manusia, dan dukungan terhadap Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini sudah masuk dalam prioritas program legislasi nasional.

Dikeluarkannya aturan yang jelas perlu lahir dari parlemen, sementara dari eksekutif, perlu menambah jumlah lembaga pengadalayanan baik dari masyarakat maupun negara dalam hal penanganan korban, termasuk menyokong anggaran untuk sumberdaya manusia yang dibutuhkan, sehingga korban tertangani, dan pelaku menjalankan hukuman yang ada.

Komnas Perempuan telah menemukan berbagai bentuk kekerasan seksual yang tidak hanya perkosaan. Ini berdasarkan dari banyak pengaduan yang dilaporkan baik kepada Komnas Perempuan maupun kepada berbagai mitra Komnas Perempuan di berbagai wilayah Indonesia.

Kategori atau bentuk kekerasan seksual tersebut memudahkan bagaimana negara menciptakan dan menerapkan kebijakan pada penanganan korban maupun pelaku.

Banyak korban yang sulit untuk mengadu karena takut menjadi aib, disalahkan, dan diusir dari tempat tinggalnya, sebab perkosaan adalah hal yang sangat tabu dan menakutkan, serta memalukan bagi setiap perempuan yang mengalaminya. Karena itu diperlukan tempat dan tenaga khusus untuk menangani korban agar berani untuk mengadu dan mendapatkan jaminan atas perlindungan.

Penulis: Mariana Amiruddin
Penulis: Mariana AmiruddinFoto: privat

Kebiri kimia sebagai produk instan

Sementara peraturan tentang kebiri kimia, tidak melihat terlebih dahulu akar masalah dan pengalaman kebutuhan korban dalam hal penanganan. Hukuman lebih dikeluarkan secara instan, semata-mata berkutik dalam hal “efek jera”.

Selain itu, pemerintah melihat kasus perkosaan sebagai kejahatan luar biasa hanya pada anak-anak, dan tanpa melihat pada orang dewasa yang juga rentan menjadi korban, tidak melihat bahwa anak-anak perempuan yang diperkosa adalah akibat dari kekerasan berbasis gender, yang menjadi masalah utama di negara ini.

Tanpa melalui telaah tersebut kebijakan kebiri kimia bukan menjadi solusi yang relevan, kecuali hanya untuk menunjukkan citra tentang aturan yang tegas, bukan melihat lebih dalam akar masalahnya.

Penulis:

@marianamiruddin

Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.