1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Buruh Pabrik Tekstil Bangladesh Tuntut Kenaikan Upah Minimum

22 Juli 2010

Di Bangladesh para buruh pabrik garmen dan tekstil memperjuangkan nasib yang lebih baik. Aksi protes di jalanan Dhaka berubah menjadi aksi kerusuhan.

https://p.dw.com/p/ORZe
Foto: Katrin Jäger

Sekitar 3 juta orang bekerja di industri tekstil dan garmen Bangladesh. Sebagian besar pekerjanya adalah perempuan. Mereka menjahit jeans, kaos dan jaket untuk perusahaan bermerk terkenal dari negara-negara barat, seperti H&M, Carrefour atau Wal-Mart. Banyak pekerja pabrik garmen hanya memperoleh upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Sekitar 1600 Thaka atau 200 ribu Rupiah per bulannya. Walau pun harga bahan pangan dan energi terus meningkat, gaji mereka tidak berubah sejak tahun 2006. Amirul Haque Amin, pimpinan perhimpunan pekerja pabrik tekstil dan garmen 'Bangladesh National Garment Workers Federation' memperingatkan situasinya sangat serius. "Dengan gaji yang ditetapkan beberapa bulan yang lalu, sangat tidak mungkin untuk bisa bertahan hidup. Karena itu kami menuntut gaji minimum sebesar 5000 Thaka." Amin menambahkan, tuntutan ini tidak berlebihan. Bagaimana pun juga upah minimum di Bangladesh saat ini adalah yang paling rendah di dunia.

Tidak heran, para buruh pabrik turun ke jalanan. Aksi protes yang berlanjut dengan aksi kerusuhan untuk sementara telah berhenti. Para pekerja menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah. Sebuah komisi tiga partai yang terdiri dari perwakilan pemerintah, pemilik pabrik dan anggota independen saat ini membicarakan upah minimum baru. Bukan perundingan yang mudah, menurut Mustafizur Rahman, direktur lembaga 'Centre for Policy Dialogue' di Dhaka. "Para pemilik perusahaan mengatakan, mereka tengah mengalami fase sulit. Biaya pengeluaran meningkat, harga benang semakin mahal. Jadi mereka memang siap menambah upah minimum, tetapi tidak jumlah yang diinginkan para pekerja pabrik."


Perusahaan-perusahaan di Bangladesh tahu, bahwa upah yang rendah adalah keunggulan mereka dalam persaingan dengan Cina. Di Cina, gaji pekerja pabrik telah dinaikkan dan perusahaan multinasional telah mulai mencari lokasi produksi yang lebih murah. Tetapi jika Bangladesh ingin menarik lebih banyak investor asing, tidak boleh ada lagi kerusuhan para pekerja. Kembali Mustafizur Rahman. "Ini situasi yang rumit bagi komisi yang mengurus masalah upah minimum. Mereka harus menemukan jalan tengah yang disetujui oleh para pekerja dan pemilik perusahaan yang juga masih memungkinkan Bangladesh untuk bersaing di pasar dunia."


Industri tekstil dan garmen dengan bisnis ekspornya memberikan kontribusi 80 persen pemasukan devisa keseluruhan Bangladesh dan dengan ini menjadi industri kunci di negara miskin Asia selatan ini. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, setelah dunia dilanda krisis ekonomi, bisnis ekspor hampir terhenti total. Baru akhir-akhir ini mulai datang lagi pesanan baru. Untuk tetap menjaga kestabilan tersebut, pemerintah ingin masalah upah pekerja pabrik segera diselesaikan. Perdana Menteri Sheikh Hasina hendak mengumumkan kompromi upah minimum akhir bulan ini. Para pimpinan perhimpunan pekerja menegaskan, kompromi ini tidak akan menyelesaikan seluruh masalah. Karena pangkal permasalahan aksi kerusuhan pekerja lebih rumit lagi. Misalnya, fakta bahwa pabrik-pabrik tekstil dan garmen tidak mengijinkan adanya serikat buruh. Amirul Haque Amin berkomentar : "Dalam situasi ini, absennya serikat buruh, membuat masalah para pekerja diungkapkan ke jalanan melalui demonstrasi. Karena tidak ada jalur sistematis yang memungkinkan mereka untuk membicarakan masalah kerja di dalam pabrik." Amin menganggap ini juga tanggung jawab negara-negara barat. Ia menyerukan para konsumen asing untuk membayar pakaian 'made in Bangladesh' dengan harga yang sesuai.


Ana Lehmann / Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Agus Setiawan