1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Camara Dituduh Bertanggung Jawab dalam Pembantaian di Conakry

22 Desember 2009

Sedikitnya 157 orang tewas ketika polisi di Conakry, Guinea, melepaskan tembakan ke arah massa kampanye oposisi di stadion utama kota tersebut, September silam. Baru-baru ini PBB melaporkan hasil penyelidikannya.

https://p.dw.com/p/LAn8
Moussa Dadis Camara, pemimpin junta militer Guinea.
Moussa Dadis Camara, pemimpin junta militer Guinea.Foto: AP

Pemimpin junta militer Moussa Dadis Camara bertanggung jawab langsung dalam peristiwa pembantaian massal pada tanggal 28 September 2009, demikian disampaikan dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, hari Senin (21/12).

Camara dapat dihadapkan ke mahkamah internasional jika terdapat bukti lebih jauh mengenai keterlibatannya dalam peristiwa pembantaian bulan September. Lebih lanjut laporan yang diserahkan kepada Dewan Keamanan PBB dan badan regional PBB untuk wilayah Afrika menyebutkan bahwa selain pembunuhan, terdapat pula perkosaan, dan mutilasi seksual terhadap pendukung partai oposisi.

Organisasi pembela hak azasi manusia Human Rights Watch juga melansir laporan mengenai kejadian yang sama baru-baru ini. Peter Bouckaert, dari Human Rights Watch mengatakan, “Hal yang paling mengerikan dari serangan ini adalah banyaknya jumlah perkosaan brutal yang dilakukan di stadion. Banyak sekali perempuan yang pakaiannya dirobek kemudian diperkosa, dan diperkosa berulang kali oleh para serdadu di stadion. Banyak perkosaan yang sangat brutal yang mengakibatkan tewasnya korban."

PBB melakukan penyelidikan independen dengan melibatkan 687 responden wawancara di Conakry dan sejumlah kota lainnya pada bulan November dan awal Desember lalu. Menurut laporan saksi mata, lebih dari 150 orang tewas atau hilang dalam kampanye pemilu kubu oposisi di stadion utama Conakry. Sedikitnya 109 perempuan menjadi korban perkosaan, mutilasi seksual, sandera untuk diperkosa berulangkali. Ratusan orang juga menjadi korban penyiksaan dan penganiayaan aparat keamanan tanggal 28 September silam di Conakry.

Laporan itu mendefinisikan pembunuhan dan perkosaan tersebut sebagai “sistematis“ dan “terorganisasi“. Ini berlawanan dengan pernyataan Camara bahwa yang bertanggung jawab dalam pembantaian itu adalah oknum tidak bertanggung jawab dalam tubuh militer.

Peter Bouckaert dari Human Rights Watch juga berpendapat serupa bahwa, "Kami pikir bahwa sangat brutalnya kekerasan dalam perkosaan itu bukanlah kebetulan. Mereka tidak membawa para perempuan itu ke tempat rahasia, melainkan memperkosa para perempuan di tengah stadion dan di tengah pembunuhan. Kami pikir, perkosaan itu merupakan bagian dari rencana yang sudah dipersiapkan dan ditujukan untuk menakut-nakuti oposisi.”

Para diplomat di New York mengatakan, delegasi Perancis mengangkat laporan Guinea selama konsultasi tertutup di antara 15 anggota Dewan Keamanan PBB, yang sama sekali tidak melakukan tindakan segera. Para diplomat itu mengatakan, dewan keamanan akan kembali membicarakan kemungkinan tindakan menanggapi laporan setebal 60 halaman tersebut.

Menteri Komunikasi Guinea Idriss Cherif kepada kantor berita Reuters mengatakan bahwa dirinya belum membaca laporan tersebut. Namun Cherif mengeluhkan adanya “kesalahan prosedural“ dalam hal bagaimana mengkomunikasikan laporan tersebut.

Guinea, pengekspor bauksit terbesar di dunia dan negara yang berperan penting dalam keamanan kawasan Afrika barat, terjerumus dalam kekacauan politik sejak peristiwa pembantaian pada tanggal 28 September 2009.

Pada 3 Desember lalu, dilakukan pula upaya pembunuhan terhadap Camara oleh mantan pengawalnya. Camara, yang sejak lama tidak tampil lagi di depan publik, dibawa ke Maroko untuk menjalani perawatan medis setelah upaya pembunuhan yang gagal tersebut.

LS/HP/rtr/ZPR