1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina di Mata Turki

Dyan Andriana Kostermans7 Mei 2010

Cina dan Turki sudah lama saling mengenal. Ratusan tahun mereka terlibat peperangan. Dan kini mereka mencoba membina hubungan secara damai, bahkan membina hubungan bisnis. Tapi api konflik lama terkadang masih memercik.

https://p.dw.com/p/NGxR
Jembatan di atas Selat Bosporus di Istanbul yang menghubungkan Eropa dan AsiaFoto: AP

Pertengahan April lalu untuk pertama kalinya anggota Komite tetap Politburo Partai Komunis Cina Li Changchun mengunjungi Turki. Satu hari sesudah itu di media-media Turki dapat dibaca pemberitaan mengenai sang tamu tersebut. Ia adalah orang terkaya nomor 19 di dunia.

Cina di mata kebanyakan warga Turki adalah penguasa ekonomi. Tepatnya kekuatan ekonomi yang sedang melejit dimana orang dapat menjalin bisnis dengan baik. Demikian harapan mereka. Sementara Cina membanjiri negara di Selat Bosporus itu dengan barang-barang ekspor, Turki kurang dapat menawarkan barang ekspor selain bahan mentah. Di pusat kajian Turki "Türksam" dilontarkan kritik, bahwa Cina yang memiliki potensi pembayaran kuat bahkan semakin sedikit menanamkan investasi di Turki, dibanding apa yang dilakukan Turki di Cina.

Ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan ini mengesalkan pengusaha Turki. Oleh sebab itu Menteri Perindustrian dan Perdagangan Turki Zafer Caglayan baru-baru ini harus membicarakan masalah itu dengan rekan sejabatannya dari Cina Chen Deming. Tapi menteri perdagangan Cina itu menjawab bahwa ia tetap meminta lebih banyak pengiriman kacang dan minyak zaitun, yakni dua produk ekspor Turki. Jawaban yang tidak menggembirakan menteri perdagangan Turki.

Meskipun ketidakberdayaan menghadapi kekuatan ekonomi Cina, kebanyakan warga Turki memandang Cina dengan simpati besar. Kedua bangsa sudah saling mengenal sejak ribuan tahun. Setiap murid sekolah di Turki belajar bahwa Tembok Cina yang termashur dibangun oleh Kaisar Cina untuk menahan serangan yang dilakukan oleh para satria Turki. Hal yang membuat warga di Selat Bosporus itu bangga akan dirinya dan Cina.

Juga di bidang militer, Turki memiliki rasa segan terhadap Cina. Pada akhirnya, para nenek moyang warga Turki yang dikenal sebagai pejuang yang sukses tidak pernah berhasil mengalahkan Cina. Tapi kini hubungan antar keduanya dibina dalam suasana damai.

Salah satu contoh seberapa dekat hubungan yang terjalin antara Turki dengan Cina dapat didengar di Yön Radyo di Istanbul. Belum lama ini stasiun radio berbahasa Turki itu menyiarkan acara badan penyiran resmi Cina Radio China International. Yön Radyo yang acaranya terutama menyiarkan musik tradisional menilai kerjasama baru itu sebagai eksperimen. Pimpinan Yön Radyo Yüksel Kilinc merasa terkejut bagaimana positifnya tanggapan dari pendengar

"Mereka berpendapat hal itu sangat bermanfaat baginya. Karena informasi lainnya tentang Cina kebanyakan berasal dari sumber di Barat. Tapi melalui Radio China International orang memperoleh beragam informasi dan memperoleh pemberitaan mengenai Cina dari Cina sendiri."

Turki, negara yang terletak di Selat Bosporus itu kini memandang dirinya berada di tengah-tengah antara Barat dan Timur. Upaya Turki memasuki Uni Eropa banyak mengalami kegagalan, yang menyebabkan kekecewaan. Tidak heran bila simpati Turki berkembang bagi negara-negara yang menyuarakan tentangan terhadap Amerika Serikat dan Eropa. Dengan demikian Cina diharapkan menjadi penyeimbang ke Barat. Meskipun demikian bagi pakar sejarah Halil Berktay dari Universitas Sabanci di Istanbul, simpati Turki terhadap Cina ini pertama-tama disebabkan kurangnya pengertian demokrasi

"Sayangnya pengertian diktator dan demokrasi di masyarakat Turki sangat lemah. Mantra akan negara yang kuat ampuh melupakan semua itu. Di Turki orang tidak merefleksikan bagaimana suramnya kediktaturan yang berlaku di Cina. Dapat dikatakan pengertian yang beredar di masyarakat adalah, Cina adalah sebuah negara yang kuat, negara yang berkembang pesat. Dan keajaiban Cina sedang bergerak yang akan membuat Amerika Serikat berkerut kening."

Tapi yang membuat masyarakat Turki agak berpikir adalah tindakan aparat keamanan Cina tahun 2009 lalu, ketika mengatasi demonstran warga Uigur di provinsi Xinjiang di barat Cina. Di Turki kejadian itu menyulut demonstrasi anti Cina. Karena warga Uigur yang serumpun dengan warga Turki ini di mata para nasionalis Turki memiliki citra yang istimewa. Namun protes yang terjadi di Turki itu tidak ada apa-apanya dibanding apa yang terjadi di Cina, demikian pendapat pakar sejarah Berktay.

Tapi penguasa Beijing berpendapat berbeda. Ketika Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan menuduh Cina melakukan genosida, Beijing membalas dengan reaksi keras. "Orang tidak boleh memutar balikkan fakta", demikian pernyataan dari ibukota Cina. Suratkabar partai komunis Cina Renmin Ribao memperingatkan Erdogan dengan tema yang paling tabu di Turki, yakni genosida warga Armenia. Hal yang sejak 95 tahun secara konsekuen dibantah Turki.

Reaksi hebat Cina mengejutkan Ankara. Dimana Turki tahu bagaimana Cina sejak akhir tahun 90-an, bereaksi alergis jika menyangkut masalah Uigur. Dulu untuk menenangkan Beijing, Ankara mengusir oposisi Uigur. Sejak itu kelompok oposisi Uigur harus mengorganisir perlawanannya dari Eropa Barat dan Amerika Serikat.

Meskipun adanya suara sumbang, sebagian besar elit politik Turki tetap memandang serius kemitraan dengan Cina. Terutama militer Turki yang kuat, benar-benar kehilangan minatnya terhadap Eropa. Dengan runtuhnya Uni Sovyet semakin jelas sikap anti Eropa kelompok elit politik Turki. Dituturkan Halil Berktay

„Kelompok nasionalis di Turki memandang alternatif hubungan Rusia-Cina-Eurasia dengan simpati. Karena di bawah kekuasaan Rusia dan Cina mereka dapat mempertahankan negara nasional mereka, sebuah negara yang bukan bersifat demokratis dan tidak akan pernah memberikan penjelasan mengenainya."

Tapi dengan melirik kepada Beijing, Turki justru berusaha mendekati Eropa. Cina, demikian bunyi ucapan tidak resmi, memerlukan Turki sebagai propaganda kemajuan perdamaiannya kepada Barat dan sebagai contohnya menampilkan negara di Selat Bosporus itu. Singkatnya, Turki memandang dirinya sebagai mitra yunior yang strategis bagi Cina yang besar.

Cem Sey/Dyan Kostermans

Editor: Asril Ridwan