1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Citarasa Toleransi BJ.Habibie

13 September 2019

BJ. Habibie dikenal sebagai ilmuwan, pencipta pesawat dan serius. Sejak istrinya meninggal, buku dan puisi cintanya mengungkap sisi romantis Habibie. Namun banyak yang belum tahu sangat tolerannya Habibie.

https://p.dw.com/p/3PTbl
Ehamaliger Indonesischer Präsident | Bacharuddin Jusuf Habibie
Foto: picture-alliance/dpa/B. Walton

Saat menghadiri pemakaman Presiden Indonesia ketiga BJ Habibie, air mata saya jatuh mendengar kata perpisahan anak sulung Habibie dan Ainun, Ilham Akbar Habibie yang mengatakan, "Cinta itu tentunya pada suami-istri, cinta pada keluarga, cinta pada saudara, cinta pada pekerjaan, cinta pada negara dan bangsa, cinta seluas-luasnya itulah Bapak, Bapak Habibie.” Saya bisa mengatakan ungkapan Ilham Akbar Habibie tentang ayahnya itu sungguh benar, paling tidak saya merasakan cinta Habibie sebagai saudara, saudara dalam kemanusiaan. Saya merasakan langsung cita rasa toleransi seorang presiden Indonesia yang bisa menjadi teladan keberagaman di nusantara.

Toleransi dimulai sejak dini dalam keluarga Alwi Habibie, ayah Habibie di Parepare, Sulawesi Selatan. Alwi Habibie bersahabat dengan Henk Rondonuwu, seorang Kristen Protestan asal Kawanua yang menjadi guru. Persahabatan keduanya diturunkan kepada anak-anaknya. BJ Habibie bersahabat dengan ayah saya, Ronny Rondonuwu. "Papi kamu itu satu bantal dengan saya, bukan satu tempat tidur.” Adik Habibie JE Habibie bersahabat dengan adik ayah saya, Rexy Rondonuwu. Persahabatan ini tidak terbatas hanya di Parepare tapi berlanjut hingga Makassar sampai sekarang.

Setiap Natal keluarga kami biasa menerima bingkisan Natal atau kue Natal. Ibu saya bilang, "Mas Rudy pernah bilang, Paskah lebih bermakna daripada Natal.” Dan hal itu menurut saya sangat benar dan membuat saya menyadari pengenalan Habibie bukan hanya pada ilmu pengetahuan tetapi pada ilmu agama-agama.

Habibie adalah orang yang memaknai beragama sebagai bentuk kasih. Sikap Habibie terhadap kami yang berbeda agama bukan pura-pura atau basa-basi karena berlangsung bertahun-tahun, mulai dari hal kecil mengirimkan ucapan selamat Natal sampai hal besar memikirkan masa depan keluarga kami.

Pada suatu masa di saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya masih ingat pernah keluarga kami mendapat sembako bulanan yang berisi beras, minyak, tepung, mentega, gula, kue kering, kecap, dll dalam satu boks besar dari rumah Habibie selama beberapa bulan di saat ayah saya mulai mencoba hidup di ibukota.

Bahkan ketika kami, anak-anak sudah beranjak dewasa,  BJ Habibie sendiri yang meminta kepada ayah saya agar bisa menjadi saksi pernikahan saya. Bisa disimpulkan, karakter dasar Habibie adalah penuh perhatian dan toleran.

Penulis @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
Penulis: Monique RijkersFoto: Monique Rijkers

Warisan keberagaman

Berdasarkan pengalaman berkali-kali bertemu dengan Om Rudy, sapaan saya pada BJ Habibie, saya memiliki beberapa cerita toleransi. Suatu kali saya bertanya tentang Al Maidah 51 yaitu tentang larangan memilih pemimpin dari Kristen dan Yahudi. Om Rudy bercerita tentang nasihat yang ia berikan kepada seorang pejabat Kristen. "Kamu tahu, dulu waktu saya jadi presiden, orang bilang saya goblok, saya cuma nangis di dalam hati. Ngapain….! Jadi kamu harus bagaimana? Kamu konsentrasi pada pembangunan, kita tidak kenal SARA, tidak pandang bulu, kalau ada yang butuh bantuan, kita bantu tanpa pandang agama. Kita tidak perang agama, jangan mau dipanas-panasin!”

Saat menceritakan hal ini, suara Om Rudy sedikit bergetar. Ia tampak ekspresif seperti biasa. Ia lalu bertanya kepada saya, "Mon, kenapa ya si XXX sekarang jadi begitu. Dulu Om Rudy kenal ngga begitu.” Orang yang dimaksud adalah seorang intelektual yang cukup terkenal namun sepak terjangnya membuat Habibie terheran-heran. Penilaian saya, Habibie tidak senang dengan sepak terjangnya yang menyasar soal suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Waktu itu tahun 2017 dan Habibie memandang Indonesia dengan prihatin. Ia tak pernah menjelek-jelekkan orang lain dalam cerita-ceritanya dengan saya dan keluarga. Semua orang ditempatkan sebagai sosok setara, tidak berbeda-beda karena suku dan agama.

Tak heran salah satu warisan Habibie sebagai presiden adalah menetapkan Inpres No 26/1998 yang menghapuskan kata pribumi dan non-pribumi serta kewajiban bagi aparatur negara untuk memberi pelayanan yang sama untuk setiap warga negara. Habibie pula yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui Inpres No 4/1999. Langkah berani Habibie dalam konteks mengakomodasi perbedaan pandangan dalam hal agama ditunjukkan dengan membebaskan  para tahanan politik Islam yang dipenjara oleh rezim Orde Baru.

Persahabatan dengan keturunan Tionghoa

Selain bersahabat dengan keluarga saya, Pak Habibie tahun 2017 pernah bercerita tentang Liem Keng Kie, sahabat waktu kuliah di Jerman. "Coba lihat, coba lihat, ini bukan ngarang. Liem Keng Kie itu keturunan Tionghoa, Protestan. Saya punya kawan-kawan yang yang pintar-pintar, ngga ada yang peduli pada saya. Tapi Keng Kie, dia datang.... aduh, dia lihat saya, dia perhatikan karena saya kurang makan sampai kena tuberculosis.  Waktu saya akan jadi presiden, manusia pertama yang saya telepon adalah Keng Kie. Dia ada di Utah, Amerika Serikat. Dia doktor, insinyur, ahli roket. Istrinya Hilda saya kenal baik.

Habibie menirukan isi percakapannya dengan sahabatnya itu. "Keng Kie, saya hadapi banyak masalah.” "Rudi,” Keng Kie menjawab dalam bahasa Belanda, "Saya yakin kamu bisa. Saya sudah bilang dari muda kalau kamu akan jadi presiden. Itu benar. Kamu jadi presiden. Kamu akan beresin Indonesia.”  Habibie mengaku, begitu Habibie resmi dilantik menjadi presiden dari tangan Soeharto, Habibie langsung mengontak Keng Kie lagi. Keng Kie dari Amerika Serikat menjawab, "Saya lihat di CNN, pusing kamu ya?”

Sontak kami sekeluarga tertawa karena intonasi dan ekspresi Om Rudy sungguh lucu menirukan Keng Kie. Om Rudy mengatakan ia mengundang Keng Kie dan Hilda untuk datang ke Istana. Bahkan Habibie tidak mau menerima tamu siapapun juga sebelum Keng Kie. "Saya bilang sama menteri luar negeri, tidak mau terima tamu kalau bukan Keng Kie." Tiketnya saya yang bayar sendiri. Keng Kie bertanya, "Bagaimana dengan visa karena sudah Warga Negara Amerika?" Pak Habibie pun mengontak Dubes Indonesia di Amerika Serikat, Dorodjatun Kuntjorojakti agar diatur. "Dia VVIP. Saya terima Keng Kie, itu pribadi, semua urusan saya pause. Tiket dan semua fasilitas saya kasih sama dia, bukan uang negara."

Bagaimana pandangan BJ. Habibie atas terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat?

Persahabatan dengan Katolik

Sebuah kisah pribadi yang saya dengar dari Om Rudy adalah ketika ia diminta oleh Romo Franz Magnis Suseno menemani Romo Magnis datang ke rumah seorang perempuan di Jakarta. Perempuan kenalan Romo Magnis ini ulang tahun. Namun sebagai seorang pastor Katolik, Romo Magnis merasa nyaman jika ada Om Rudy yang menemani. Om Rudy mengaku ia membelikan wine dan bunga sebagai buah tangan dari Romo Magnis untuk diberikan kepada perempuan tersebut. Saya kaget seorang Habibie mau bersusah payah untuk menemani seorang Romo dan menyiapkan segala sesuatu agar kedatangan keduanya menjadi berkesan. Saat saya tanya mengapa ia mau melakukan itu, Habibie menjawab, "Ya, dia kan pastor….”

Sebelumnya, saya pernah mendengar Om Rudy bercerita tentang Romo Mangunwijaya yang kerap mengingatkan Om Rudy untuk salat saat kuliah di Jerman. Bagi Om Rudy apa yang dilakukan Romo Mangunwijaya adalah bentuk perhatian yang luar biasa karena ia masih mengingatnya sampai ia tua dan masih diceritakan kepada kami yang waktu itu masih remaja.

Kisah tentang perjumpaan antar iman yang pernah saya dengar langsung adalah saat buku Habibie dan Ainun dalam bahasa Jerman "Habibie & Ainun: Ein Glück, dass es Gott gibt, spuren der liebe" sedang dicetak ulang pada tahun 2015. Buku seharga 20 euro itu menarik sejumlah kalangan di Jerman , terutama pasca peristiwa Charlie Hebdo di Prancis. Publik Jerman berusaha mengenal Islam dari buku yang ia tulis. "Di judul buku saya ada kata Tuhan dan cinta sejati jadi orang-orang Jerman penasaran. Mereka tahu yang menulis orang Islam.”

Selain menarik pembaca Islam, rupanya kalangan pastor dari Jesuit juga tertarik. "Kalian tahu kan, Jesuit itu adalah para pastor yang sangat rasionil.” Om Rudy menyebut ada 10 pakar Jesuit yang menelaah isi buku Habibie-Ainun selama dua-tiga minggu dan hasilnya mereka semua mengagumi isi buku dan terutama puisi yang ditulis Habibie untuk Ainun di bagian akhir.

Februari 2015 ketika ayah saya meninggal dunia, Om Rudy datang melayat dan membacakan sebuah puisi karangan ayah saya. Tak lupa ia berkata kepada tubuh dingin ayah saya, "Ron, kamu sudah bisa ketemu Ainun.” Hari ini tanah merah di Taman Makam Pahlawan Kalibata menerima ribaan seorang Habibie untuk bertemu bersama istrinya, Ainun dan juga dengan ayah saya. Habibie, sosok yang begitu membanggakan Indonesia karena warisan yang ia tinggalkan. Bukan hanya karena kejeniusannya tetapi karena cita rasa toleransi yang terbukti ketulusannya. Selamat jalan, idola bangsa.

Penulis @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.