1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

COP26: Segunung Tantangan Atasi Krisis Iklim

10 November 2021

Analis PBB mengatakan "ada beberapa langkah kecil yang serius, tapi bukan lompatan jauh" yang diinginkan untuk atasi krisis iklim. Belum satu pun dari tiga kriteria utama PBB untuk atasi krisis iklim tercapai.

https://p.dw.com/p/42nnY
Presiden Conference of Parties 26 (COP26) Alok Sharma
Presiden Conference of Parties 26 (COP26) Alok SharmaFoto: Alberto Pezzali/Pool/AP/picture alliance

KTT iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Glasgow telah membuat "beberapa langkah kecil yang serius" menuju pengurangan emisi. Namun, jauh dari langkah besar yang diperlukan untuk membatasi pemanasan global ke target internasional, menurut dua analisis dan pejabat tinggi pada Selasa (09/11).

Sementara, waktu hampir habis dalam dua minggu negosiasi.

Presiden Conference of Parties 26 (COP26), Alok Sharma, mengatakan kepada para menteri masing-masing negara di konferensi PBB untuk segera menghubungi pemerintah mereka untuk melihat apakah mereka bisa memberikan janji yang lebih ambisius karena "kita hanya punya beberapa hari lagi.”

Analisis pertama menemukan bahwa pada tahun 2030, dunia akan mengeluarkan 51,5 miliar metrik ton karbon dioksida setiap tahun, 1,5 miliar ton lebih sedikit dari sebelum janji terbaru. Untuk mencapai batas yang pertama kali ditetapkan dalam kesepakatan iklim Paris 2015, dunia hanya dapat mengeluarkan 12,5 miliar metrik ton gas rumah kaca pada tahun 2030.

"Ada beberapa langkah kecil yang serius,” kata Direktur Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa Inger Andersen dalam sebuah wawancara dengan The Associated Press. "Tapi itu bukan lompatan jauh yang perlu kita lihat, dengan imajinasi apa pun."

Tidak satu pun dari tiga kriteria PBB sukses tercapai

Di Glasgow, para pemimpin dunia menggembar-gemborkan kemajuan, tapi belum tentu sukses.

"Kita membuat kemajuan,” kata Sharma, "tetapi kita masih punya segunung tantangan untuk diselesaikan selama beberapa hari ke depan, dan komitmen yang telah secara kolektif kita buat sudah kita jalankan, tetapi tentu saja tidak sepenuhnya, untuk menjaga ambang batas 1,5 derajat Celsius dalam jangkauan.”

Andersen mengakui bahwa sejauh ini tidak satu pun dari tiga kriteria utama PBB untuk atasi krisis iklim dalam dua minggu tercapai. Mereka mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar setengahnya pada tahun 2030, mengamankan $100 miliar (Rp1,425 triliun) per tahun sebagai bantuan dari negara-negara kaya ke negara-negara miskin, dan memberikan setengah dari uang itu untuk negara-negara berkembang untuk beradaptasi dengan bahaya terburuk pemanasan global. 

Bagaimana Kita Ingin Hidup di Kota Besar Masa Depan?

"Skenario optimis”

Analisis kedua oleh Climate Action Tracker, yang selama bertahun-tahun telah memantau janji pengurangan emisi negara-negara, mengatakan berdasarkan target yang diajukan, dunia sekarang berada di jalur untuk menghangat 2,4 derajat Celsius sejak masa praindustri pada akhir abad ini.

Itu jauh dari batas kesepakatan iklim Paris 2015, yakni sebesar 1,5 derajat Celsius dan batas mundurnya sebesar 2 derajat Celsius.

Kelompok Hohne, sebuah organisasi independen dari PBB, juga melihat seberapa besar pemanasan yang akan terjadi jika janji-janji nasional lain yang kurang tegas diberlakukan.

Dan dalam "skenario optimis" jika semua janji nol-bersih untuk abad pertengahan diperhitungkan, pemanasan akan menjadi 1,8 derajat, kata Hohne. Itu angka yang sama dengan yang diberikan oleh Badan Energi Internasional untuk skenario optimis itu.

Andersen mengatakan kesuksesan adalah tentang cicitnya nanti yang hidup di dunia dengan pemanasan yang dijaga pada tingkat yang digariskan dalam kesepakatan Paris. Anak-anak yang protes di jalan-jalan di Glasgow juga membantu PBB dalam mendorong negosiator untuk berbuat lebih banyak.

"Kemajuan terjadi pada pertemuan. Keberhasilan disampaikan ke dalam kehidupan orang-orang ketika mata pencaharian mereka dan kesehatan dan kesejahteraan mereka ditingkatkan," kata Andersen kepada AP.

Protes anak-anak di jalan

Perwakilan AS Alexandria Ocasio-Cortez bersama dengan Ketua DPR Nancy Pelosi, mengatakan kepada wartawan bahwa dia memiliki pesan untuk para pemrotes muda itu: "Tetap di jalanan. Terus dorong."

Kesenjangan antara negara kaya dan miskin juga menjadi tantangan. Di satu sisi negara-negara yang menjadi maju dan menjadi kaya dari Revolusi Industri, telah memanfaatkan batu bara, minyak, dan gas sejak lama. Di sisi lain, negara-negara miskin dan berkembang yang masih bergantung pada batu bara, sekarang diberitahu bahwa bahan bakar itu terlalu berbahaya bagi planet ini. 

Kemudian, ada masalah tentang janji $100 miliar (Rp1,425 triliun) per tahun yang pertama kali dibuat pada 2009. Negara-negara maju masih belum mencapai uang tersebut. Tahun ini, negara-negara kaya meningkatkan bantuan mereka menjadi $80 miliar (Rp1,139 triliun) per tahun, tetapi masih kurang dari apa yang dijanjikan.

"Semua orang di sini sangat marah,” kata Saleemul Huq, pakar ilmu iklim dan kebijakan yang merupakan direktur Pusat Internasional untuk Perubahan Iklim dan Pembangunan di Bangladesh.

Perjuangan belum selesai?

Huq mengatakan ini lebih dari sekadar uang, penting untuk menjembatani kesenjangan kepercayaan antara negara kaya dan negara miskin.

"Mereka mengingkari janji mereka. Mereka gagal mengirimkannya,” kata Huq. "Dan mereka tampaknya tidak peduli tentang itu. Dan, jadi mengapa kita harus mempercayai apa pun yang mereka katakan lagi?”

Namun, Andersen dan Sharma masih memiliki harapan.

"Kami belum selesai. Kami masih punya beberapa hari," kata Anderson. "Jadi kami tentu dari pihak kami, dari pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa, kami akan mencoba menekan dan membuat pihak-pihak terlibat menyetujui untuk melakukan sesuatu.”

pkp/ha (AP)