1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

BMKG: Curah Hujan Terekstrem Sebabkan Banjir di Jabodetabek

3 Januari 2020

BMKG menyebut curah hujan yang terjadi di Jabodetabek pada awal tahun 2020 menjadi yang terekstrem sejak 1996. Mengejutkan sekaligus menyadarkan banyak pihak bahwa kita harus lebih galak menyuarakan aksi perubahan iklim.

https://p.dw.com/p/3VfQ1
Indonesien Hochwasser in Jakarta | Rettungskräfte
Foto: Imago Images/ZUMA Press/A. Fatma Putra

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut curah hujan yang terjadi pada awal tahun 2020 dan menyebabkan banjir di Jabodetabek sebagai curah hujan terekstrem sejak 24 tahun lalu. BMKG memprediksi curah hujan ekstrem masih akan terus terjadi hingga Februari 2020. Puncaknya diperkirakan terjadi pada tanggal 10 hingga 15 Februari 2020.

Saat ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tengah merancang Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk mengurangi curah hujan agar tidak terpusat di tanggal tertentu sehingga diharapkan mampu meminimalisir banjir.

Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto menjelaskan bahwa curah hujan ekstrem yang terjadi ini disebabkan oleh perubahan iklim. Ia menganalisa kesesuaian antara curah hujan dan peristiwa banjir yang terjadi di Jakarta sejak 1918 hingga 2015.

Hasilnya, terlihat ada perubahan iklim yang meningkat sebanyak dua hingga tiga persen dibanding kondisi iklim 100 tahun lalu.

‘‘Dari situ kemudian saya meng-inverse nya dengan yang kita bandingkan pada 100 tahun lalu. Berarti karakteristik iklim sudah berubah. Artinya perubahan iklim disitu kan,‘‘ ujar Siswanto kepada DW Indonesia.

Siswanto menambahkan perubahan iklim tidak bisa hanya menganalisa satu kejadian, melainkan harus menganalisa secara jangka panjang sehingga data yang didapatkan sudah tepat untuk menjadi bukti bahwa iklim telah berubah.

‘’Kedua data dari tahun 1918 dan 2015 disandingkan dengan analisis kenaikan temperatur global. Nah, dari situ mencerminkan adanya perubahan iklim atau dampak pemanasan global,’’ jelasnya.

Baca juga: 2019: Tahun Bangkitnya Kesadaran dan Aksi Protes Perubahan Iklim

Antisipasi membaca tanda alam

Siswanto mengimbau masyarakat untuk melakukan antisipasi terhadap curah hujan ekstrem hingga Februari 2020. Ia meminta masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran lingkungan agar mampu meminimalisir risiko banjir besar. Menurutnya, salah satu penyebab sungai semakin menyempit karena banyak sampah yang menumpuk dan masyarakat yang tidak peduli lingkungan.

‘’Lalu, pemerintah harus memastikan semua sistem hidrolik yang ada, seperti di bendungan, sungai dan bangunan yang berkaitan dengan pengelolaan air harus mampu menanggulangi peristiwa ekstrem yang sama seperti banjir Jabodetabek awal 2020,’’ jelasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan persoalan banjir di Jakarta disebabkan karena hampir semua air hujan yang lari ke permukaan tidak bisa diserap tanah. Maka perlu ada wilayah penyangga sebanyak mungkin agar air bisa diserap ke dalam tanah dan tidak menyebabkan run off atau membanjiri permukaan.

Aksi perubahan iklim harus digalakkan

Masyarakat Indonesia yang tinggal di Negara dengan karakteristik geografis rawan bencana harus sadar tentang mitigasi bencana dan menaruh perhatian besar tentang krisis iklim.

Orang-orang di seluruh dunia semakin ‘galak’ menyuarakan tentang aksi perubahan iklim, bagaimana dengan Indonesia?

Salah satu koordinator Extinction Rebellion Indonesia (XR Indonesia), gerakan masyarakat yang awalnya berpusat di Inggris dan memprotes tentang perubahan iklim, Seta Janot mengatakan bahwa saat ini penduduk Bumi sudah tidak bisa lagi diam menghadapi krisis iklim.

Dulu kita kenal istilah pemanasan global yang kemudian berubah menjadi perubahan iklim. Namun sekarang statusnya sudah semakin mendesak hingga kepada krisis iklim.

‘‘Dulu Jakarta memang alami banjir tahunan dan lima tahunan dan dalam catatan Belanda memang terjadi siklus banjir. Tapi magnitude atau skalanya itu jauh lebih besar karena ada pemanasan global,‘‘ ujar Seta.

Menurutnya masyarakat Indonesia perlu sadar dan mengambil aksi nyata untuk memprotes tentang perubahan iklim agar didengar oleh pemerintah.

‘’Kita ingin masyarakat lebih berisik soal climate crisis ini. Karena orang di Indonesia tidak melihat link nya antara satu bencana ke bencana lain,’’ jelasnya.

Ia menambahkan jika ditarik dalam satu tahun terakhir, bencana yang terjadi memiliki karakteristik yang kontras.

‘’Kemarin kita berbulan-bulan kekeringan, kebakaran karhutla, sekarang giliran dikasih hujan yang lebat minta ampun sampai kita gak bisa nampung sendiri. Tidak meresap ke dalam tanah. Ini sebenarnya harus liat science dan data,’’ ujarnya.

Seta bersama XR Indonesia menggalakkan aksi agar pemerintah bersedia melakukan deklarasi darurat iklim. Fungsinya agar ada keseriusan dalam penanganan krisis iklim.

‘’Dengan kita mengakui jadi krisis iklim, ini bisa diperlakukan, maaf seperti tsunami. Ketika tsunami terjadi, pemerintah langsung bilang siaga satu. Jadi ada tindakan yang dilakukan untuk menanggulangi bencana tersebut. Nah krisis iklim ini belum pernah diperlakukan seperti itu. Kita ingin pemerintah tell the truth tentang krisis iklim seperti pemerintah di luar,’’ ujarnya.

Tersisa 11 tahun lagi

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh otoritas ilmiah global PBB tentang perubahan iklim, Bumi akan mengalami kenaikan suhu global melewati ambang minimum yang ditetapkan 1,5 derajat celcius pada awal 2030. Pemanasan akibat kenaikan suhu akan mempercepat risiko kekeringan ekstrem, kebakaran hutan, banjir dan kekurangan pangan.

Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) itu juga menyatakan bahwa ada bukti substansial terkait pemanasan global yang disebabkan oleh manusia dengan peningkatan frekuensi, intensitas dan jumlah presipitasi.

Bahkan manusia hanya punya waktu 12 tahun lagi, dihitung sejak 2018 sebelum krisis iklim dan bencana akibat perubahan ilklim menjadi hal yang biasa.

Seperti dilansir dari Lembaga Penelitian Independen WRI Indonesia, yang fokus pada aksi nyata pembangunan berkelanjutan, disebutkan bahwa bumi mengalami perubahan besar.

Suhu rata-rata global terus meningkat dan di tahun 2019 telah mencapai 1,1 derajat celcius. Padahal laporan IPCC 2018 menyebutkan bahwa kita harus menahan suhu global di bawah 1,5 derajat celcius pada 2030 jika ingin terhindar dari bencana iklim yang semakin parah.

Dampaknya? Dalam satu dekade terakhir, permukaan air laut terus naik hingga lebih dari 4 cm. Hal ini menjadi penyebab terjadinya banjir dan hilangnya ekosistem pesisir. Kedua cuaca ekstrem seperti tingginya curah hujan dan kemarau berkepanjangan akan terus terjadi. (pkp/hp)