1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Danjen Kopassus di Panggung Politik Nasional

15 April 2019

Mengapa masih banyak perwira yang berminat dinas di Korps Baret Merah? Temukan jawabannya dalam analisa Aris Santoso berikut ini.

https://p.dw.com/p/3Gj1T
Special Army Forces Indonesien Kopassus Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry

Kesempatan pernah menjadi Danjen  Kopassus (Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus) merupakan berkah tersendiri bagi yang sempat menyandangnya, yang manfaatnya masih terasa hingga  puluhan tahun kemudian,  selepas menanggalkan posisi tersebut. Asumsi ini bisa kita lihat hari ini, ketika beberapa mantan Komandan  Korps Baret  Merah, mengisi panggung politik terkait pilpres, dengan peran masing-masing, seperti Agum Gumelar (Akmil 1968),  Prabowo (Akmil 1974), dan Muchdi PR (Akmil 1970).

Khusus bagi Prabowo, pengalamannya sebagai Danjen Kopassus, ibarat "bulan separuh bayang”. Separuh berkah, separuh kutukan. Mengingat saat menjadi Danjen Kopassus, muncul kasus Tim Mawar, yang selanjutnya menjadi   beban Prabowo sepanjang hayat. Karena kasus itu pula, Prabowo terpaksa  harus pensiun dini, meninggalkan satuan yang sangat dicintainya. Hidup manusia memang tidak bisa diramalkan.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Karpet merah

Salah satu fenomena yang menarik untuk diamati adalah, pada umumnya para perwira yang pernah menjadi Danjen Kopassus, adalah perwira yang memiliki kharisma, yakni para perwira yang memang sudah menonjol sejak mula, dan acapkali memperoleh ekspose dari media. Seorang perwira kharismatik seperti Sjafrie Sjamsuddin (Akmil 1974, terakhir berpangkat letjen), tentu sangat layak menjadi Danjen Kopassus. Hanya karena faktor nasib, jabatan itu tidak singgah pada Sjafrie. Tentu kita mahfum, Sjafrie tidak mungkin bersaing dengan rekan segenerasinya yang karirnya sedang moncer, yakni Prabowo. 

Sebagai satuan elite, wajar bila Kopassus selalu menjadi sorotan, baik oleh pimpinan maupun masyarakat awam. Saya sendiri pernah mengadakan survei kecil-kecilan di lingkungan masyarakat biasa. Salah satu temuan menarik adalah, responden tidak terlalu ingat dengan beberapa nama mantan KSAD, mereka lebih firm dengan nama perwira yang pernah menjadi Danjen Kopassus. Tentu yang paling diingat adalah figur Sarwo Edhi Wibowo. 

Selalu ada kemudahan bagi perwira yang akan menjadi Danjen Kopassus, baik saat akan melangkah ke Cijantung (Markas Komando Kopassus), maupun usai meninggalkan Cijantung. Seluruh Danjen Kopassus selalu memperoleh perhatian khusus dari atasan, bahkan sampai pada level orang nomor satu di negeri ini.

Baik karena jabatan, atau faktor yang lain, selalu ada ruang bagi presiden yang sedang berkuasa, untuk bisa langsung berhubungan dengan perwira yang kelak akan diangkat sebagai Danjen Kopassus. Jabatan yang sering menjadikan perwira bersangkutan bisa langsung berhubungan dengan presiden, adalah bila perwira tersebut ditugaskan di Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden), khususnya selaku Komandan Grup A, satuan yang secara langsung bertanggung jawab menjaga keselamatan presiden beserta keluarganya.

Begitulah yang tejadi pada Subagyo HS (Akmil 1970), Rasyid Qurnain Aquari (Akmil 1976, almarhum), Agus Sutomo (Akmil 1984),Doni Monardo (Akmil 1985), dan Eko Margiyono (Akmil 1989). Hanya Sjafrie Sjamsuddin (Akmil 1974), mantan Komandan Grup A, yang kemudian luput sebagai Danjen Kopassus, sebagaimana telah disebut di atas.

Dari seluruh mantan Komandan Grup A Paspampres, yang kemudian berlanjut sebagai Danjen Kopassus, tentu yang paling fenomenal adalah Doni Monardo. Itu karena Doni bisa dekat pada dua presiden sekaligus, yakni SBY dan Jokowi. Bandingkan dengan Agus Sutomo, yang ketika memasuki era Jokowi, kariernya seolah jalan di tempat, hingga akhirnya memasuki masa pensiun.

Bagaimana Doni bisa dekat dengan dua presiden sekaligus, agak sulit dijelaskan secara nalar, bisa jadi sudah "garis tangan” Doni seperti itu. Ini seperti konsep ndaru (wahyu) dalam tradisi kekuasaan jawa (periode Mataram), soal siapa yang bakal memperoleh ndaru tidak bisa dipastikan.

Bagaimana tidak, saat akan diangkat sebagai Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) baru-baru ini, secara regulasi sebenarnya Doni tidak bisa dilantik. Doni terbentur pada status dirinya yang masih perwira aktif. Namun begitulah, bukan Doni yang harus menyesuaikan pada regulasi, namun justru sebaliknya. Pelantikan Doni diundur sejenak, agar cukup waktu untuk menyiapkan regulasi yang lebih sesuai.

Tidak banyak perwira yang memperoleh "karpet merah” ganda seperti Doni. Terlebih di tengah persaingan memperebutkan jabatan di lingkungan perwira tinggi TNI, yang jumlahnya tidak sebanding dengan tersedianya SDM. Sehingga sempat muncul fenomena surplus jenderal di jajaran TNI, khususnya di matra darat.

Tragedi seorang komandan

Kedekatan dengan atasan, tidak selamanya menjadi berkah. Itu bisa terjadi bila ada perubahan konfigurasi di tingkat elite. Pengalaman pahit  pernah dialami oleh dua mantan Danjen Kopassus yang paling legendaris: Sarwo Edhi Wibowo (Generasi 45) dan Sintong Panjaitan (Akmil 1963).

Sarwo Edhi dikenal sangat dekat dengan KSAD (Pangad) saat itu, yakni Jenderal Ahmad Yani. Keduanya berasal dari kampung atau kota yang sama (Purworejo, Jateng). Faktor kedekatan ini pula yang menghantarkan Sarwo Edhi sebagai Komandan Kopassus (d/h RPKAD).

Sebagai wujud rasa kesetiaanya pada Ahmad Yani, saat menjadi Komandan RPKAD pasca-Peristiwa 1965, Sarwo Edhi bertindak sangat keras pada unsur gerakan kiri, khususnya di Jawa Tengah. Sesuatu yang ironis terjadi, sikap keras Sarwo Edhi ini kemudian dipolitisasi oleh Pangad pengganti Yani, yakni Soeharto.

Soeharto turut mengambil manfaat dengan tersingkirnya golongan kiri di Jateng (juga Jatim), tanpa harus bersusah payah, karena yang berkeringat untuk itu adalah Sarwo Edhi. Dengan memanfaatkan sikap keras Sarwo Edhi, citra diri Soeharto tetap terselamatkan, sebaliknya Sarwo Edhi yang dianggap "tangannya berdarah”. Citra Sarwo Edhi seperti inilah yang dijadikan alasan bagi Soeharto, untuk menjauhkan Sarwo Edhi dari lingkaran  kekuasaan di Jakarta. Sarwo Edhi kemudian dipindahkan ke Medan dan Jayapura.

Demikian juga dengan Sintong, kedekatannya secara pribadi dengan dua Panglima TNI (d/h Pangab) secara berurutan, yakni Jenderal M Jusuf (1978-1983) dan Jenderal Benny Moerdani (1983-1988), justru kurang menguntungkan dirinya. Ketika hubungan Soeharto dan Benny mulai renggang pada awal dekade 1990-an, Sintong terkena dampaknya. Sintong luput meraih posisi KSAD, yang sebenarnya sudah ada di depan mata.

Sintong tersingkir dalam rekayasa politik tingkat tinggi melalui Peristiwa Santa Cruz di Dili (November 1991). Peristiwa tersebut merupakan cara untuk menghentikan laju karier Mayjen TNI Sintong Panjaitan (Pangdam IX/Udayana) yang sudah digadang-gadang sebagai calon KSAD berikutnya, menggantikan Jenderal Edi Sudrajat (Akmil 1960). Sintong dianggap masuk dalam kubu Benny Moerdani.

Sementara kubu Cendana, sudah menyiapkan calonnya sendiri, yaitu Pangkostrad (saat itu) Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar (Akmil 1963), yang terhitung masih kerabat Soeharto. Wismoyo sendiri juga mantan Danjen Kopassus, yang kemudian digantikan Sintong pada pertengahan dekade 1980-an.

Memiliki privilese

Berkarier dalam satuan elite seperti Kopassus dapat digambarkan sebagi berikut: bila berhasil dalam tugas, namanya tidak dikenal, namun bila gagal, semua pihak akan menyalahkannya. Asumsi ini pernah dialami para anggota Kopassus yang sempat bertugas pada perang "tidak resmi” atau pertempuran tersembunyi, dalam Operasi Dwikora (1960-an) dan Operasi Flamboyan di Timor Timur dulu (1974-1975).

Namun mengapa masih banyak perwira yang berminat dinas di Korps Baret Merah? Salah satu jawabannya adalah soal privilege, yakni sebagai pihak yang paling dekat dengan kekuasaan, yang skalanya mulai tingkat daerah atau satuan kecil, hingga nasional. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, Danjen Kopassus beserta unsur pimpinan lainnya, umumnya diisi oleh perwira yang benar-benar dipercaya atasan, dalam hal ini termasuk presiden.

Posisi Kopassus yang strategis seperti itu, tidak berlebihan kiranya kalau dikatakan bahwa sang pemimpin "menitipkan” sebagian nyawanya kepada anggota Kopassus. Perjalanan Kopassus (berdiri 16 April 1952) adalah sebuah narasi besar, yang dari waktu ke waktu selalu berada di garis depan dalam menjaga kedaulatan negara, beserta pimpinan dan segenap rakyatnya.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan menulis pendapat Anda di kolom komentar yang tersedia di bawah ini.