1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dari Asing untuk Indonesia

18 September 2017

72 tahun sudah usia Indonesia dan yang Sjahrir khawatirkan masih terasa jelas. Fenomena anti-asing kian merajalela, terlebih setahun belakangan ini. Berikut opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/2kAac
Studenten - Doktor Jawa
Foto: Wikipedia

Pertengahan tahun 1908  bukanlah masa-masa yang menyenangkan bagi Sutomo dan kawan-kawannya di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia, STOVIA.

Aktivitas Sutomo di dalam Budi Utomo, organisasi yang belum lama ia dirikan, tidak disenangi oleh guru-guru Belandanya. Saya melihat saat itu Budi Utomo masih lebih terlihat sebagai komunitas pelajar Jawa daripada sebuah gerakan kebangsaan nasional, namun rupanya kegiatan tersebut sudah cukup subversif bagi guru-guru STOVIA dan mereka pun mempertimbangkan untuk mengeluarkan Sutomo.

Ini masalah besar bagi Budi Utomo. Mungkin jika Sutomo dikeluarkan dengan tidak hormat dari STOVIA, Budi Utomo yang saat itu sudah beranggotakan 650 orang di Batavia dan sekitarnya akan kehilangan arah kepemimpinan, dan nampaknya secara umum historiografi pergerakan kebangsaan Indonesia akan berbeda dari apa yang kita tahu sekarang. Untunglah direktur STOVIA sendiri, Hermanus Frederik Roll, turun gunung menanggapi masalah tersebut.

Penulis: Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Dalam rapat memutuskan nasib Sutomo, ia berpendapat sekaligus menyindir ketidakpekaan kolega-koleganya terhadap semangat anak-anak didiknya: "Tidak adakah seorang pun di antara Anda sekalian yang hadir di sini yang seradikal Sutomo ketika Anda berumur delapan belas tahun?”, ujarnya.

Para guru terdiam dan akhirnya diputuskan bahwa Sutomo, beserta anggota Budi Utomo lainnya, tidak dikeluarkan. Kemenangan kecil ini berarti besar bagi Budi Utomo, yang seterusnya kian berkembang dan memicu kemunculan organisasi-organisasi pergerakan serupa di Hindia Belanda. Sutomo pun lulus dengan memuaskan. Selain menjadi tokoh pergerakan, priyayi asal Nganjuk, Jawa Timur, itu juga menjalani karir kedokteran yang menjanjikan.

Perlu diketahui, Roll adalah seorang Belanda totok dan berpengaruh dalam dunia kedokteran di Batavia kala itu. Ia bersimpati terhadap gerakan kebangsaan Indonesia pada saat gerakan itu masih berbentuk benih; mungkin saja orang Belanda berpengaruh pertama yang menunjukkan sikap tersebut. Roll bahkan turut meminjamkan uang untuk membiayai kongres Budi Utomo yang pertama di Yogyakarta pada Oktober 1908.

Sesungguhnya simpati dari asing, atau sosok-sosok di luar arus utama pergerakan nasional, khususnya non-pribumi, telah hadir sejak lahirnya Budi Utomo tahun 1908 sampai Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Keberadaan sosok-sosok seperti Roll adalah bukti bahwa sejarah Indonesia tidak bisa dipahami secara hitam putih semata, dan mempelajarinya sangat penting untuk menghindari mentalitas fanatisme ekstrim dalam merayakan dan mengisi kemerdekaan.

Idealisme Akan Kemanusiaan

Lalu mengapa seorang Belanda seperti Roll mau bersimpati terhadap aktivitas Budi Utomo yang mungkin berpotensi menantang hegemoni kolonialisme Belanda tersebut? Salah satu jawabannya adalah rasa kemanusiaan dari Roll sendiri yang begitu tinggi, melintasi batas-batas kenyataan struktur politik dan sosial kolonial saat itu.

Roll lahir di Gouda pada 27 Mei 1867 dan menempuh pendidikan kedokterannya di Amsterdam. Tahun 1894, di usianya yang ke-24 tahun, Roll bertugas sebagai dokter dalam ekspedisi militer Belanda ke Lombok dan menyaksikan bagaimana intervensi Belanda di sana menindas penduduk setempat. Sang dokter muda kemudian pindah ke Batavia dan pada 1896, Roll diangkat menjadi direktur STOVIA. Sudah sejak tahun 1853 STOVIA mendidik orang-orang pribumi sekedar untuk menjadi mantri cacar, bukan dokter seutuhnya.

Roll tidak puas. Beruntung, gagasan Politik Etis yang mendambakan terbentuknya kelas pribumi terpelajar baru di Hindia Belanda sejalan dengan idealisme Roll. Ia mereorganisasi STOVIA mejadi institusi independen, mendorong murid-muridnya untuk memiliki karakter dan perilaku yang baik, serta tidak rendah diri di hadapan dokter-dokter Belanda. Seleksi masuknya sangat ketat, dan yang terpilih tentu saja anak-anak pribumi terbaik di masanya.

Tidaklah mengherankan jika lingkungan intelektual yang bertaraf tinggi tersebut menjadi tempat kelahiran Budi Utomo. Karena itulah, alih-alih mengecam, ia justru bersimpati terhadap Budi Utomo; Sutomo dan kawan-kawannya adalah jenis manusia ideal yang ingin dicetak oleh Roll.

Namun, kebijakan Roll bentrok dengan keinginan penguasa. Pada 1909, sebuah komite urusan kesehatan yang dibentuk oleh pemerintah kolonial mengajukan proposal untuk membatasi lahan kerja dokter-dokter pribumi, mereduksi kurikulum STOVIA, juga melarang lulusan-lulusan STOVIA untuk melanjutkan studinya ke Belanda. Sederhananya, pemerintah kolonial hanya ingin agar STOVIA mencetak dokter-dokter pribumi kelas rendah, berlawanan dengan idealisme Roll.

Roll pun menulis dan mempublikasikan brosur yang berisikan ketidaksetujuannya terhadap proposal tersebut. Liesbeth Hesselink menulis bahwa Roll tidak takut dengan konfrontasi. "Dengan kata-katanya yang menyatakan bahwa ia berdiri di belakang gagasan ‘Pencerahan Hindia', ia lantas mendukung pemuda-pemuda nasionalis dan keinginan mereka untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi di tanah mereka sendiri, Roll menyiram bensin ke tengah-tengah api,” tulisnya dalam Healers on the Colonial Market.

Penolakan Roll didukung oleh koleganya sesama dokter di Amsterdam yang tengah membimbing lulusan-lulusan STOVIA di sana. Akhirnya proposal itu dibatalkan, dan STOVIA tetap eksis sebagai institusi akademik prestisius juga rumah intelektual bagi tokoh-tokoh pergerakan dan benih-benih kemerdekaan.

Bukan Pribumi, Bukan Berarti Musuh

Roll memang seorang non-pribumi, namun ia memiliki peran positif dalam narasi pergerakan nasional Indonesia. Lantas, apakah identitasnya sebagai seorang Belanda membuat kita berhak mencap sebagai sosok antagonis dalam sejarah kita? Jika dipikirkan secara humanis, jawabannya tentu saja tidak.

Sebagian orang-orang Tionghoa, Arab, dan Indo-Belanda, komunitas non-pribumi yang afiliasi politiknya kerap dipertanyakan kaum pribumi, nyatanya juga mendukung kemerderkaan. Liem Koen Hian, Abdurrahman Baswedan, dan Pieter Frederich Dahler bergabung sebagai anggota BPUPKI. Ada pula Muriel Stuart Walker (Skotlandia) yang menyiarkan perjuangan Indonesia ke dunia internasional melalui radio, dan pilot-pilot asing seperti Bobby Earl Freeberg (Amerika Serikat) dan Bijayananda Patnaik (India) yang bertaruh nyawa menerbangkan pemimpin-pemimpin Republik menembus blokade Belanda.

Fenomena anti-asing kian merajalela?

Non-pribumi seperti Roll dan nama-nama di atas tidak selamanya musuh. Sistem kolonial memang buruk, namun belum tentu dengan orang-orang yang hidup di dalamnya. Mirisnya, saya rasa pemikiran sederhana tersebut belum terserap utuh oleh orang-orang Indonesia ketika mempelajari sejarahnya sendiri. Pribumi kerap dicap sebagai jagoan, pelakon utama. Sedangkan non-pribumi adalah tokoh pinggiran, bahkan cenderung dimusuhi.

Contohnya, Soe Hok Gie, dalam artikel yang ia tulis tahun 1968, "'Perdjoeangan Kita' Setelah 23 Tahun”, menulis  tentang prinsip kemanusiaan Sjahrir, yang mengecam sikap anti-asing masyarakat Indonesia dan kerap menyerang orang-orang Ambon, Manado, Indo, Tionghoa, dan Belanda akibat termakan euforia kemerdekaan; sikap sempit yang menurut Sjahrir akan menghancurkan gerakan kemerdekaan Indonesia sendiri.

72 tahun sudah usia Indonesia dan yang Sjahrir khawatirkan masih terasa jelas. Fenomena anti-asing kian merajalela, terlebih setahun belakangan ini. Euforia panas Pilkada DKI membuat sebuah golongan dengan mudahnya mengasing-asingkan golongan lain hanya karena perbedaan warna kulit dan agama. Karenanya, marilah gunakan momen kemerdekaan tahun ini untuk mempertebal rasa kemanusiaan kita terhadap sesama: hilangkan buruk sangka, hapus tendensi membenci, dan berusahalah untuk menghargai tanpa pamrih. Niscaya, kita akan hidup merdeka dalam harmoni.

Penulis:

Rahadian Rundjan (ap/ml)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.