1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

“Darurat Kekerasan”, Terhadap Perempuan di Indonesia

24 November 2017

Apa yang Anda lakukan jika melihat pasangan bertengkar, namun disertai dengan tindak kekerasan?

https://p.dw.com/p/2nnqR
Häusliche Gewalt gegen Frauen Symbolfoto
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini

Suami-istri bertengkar itu lumrah, bila terbatas pada percekcokan mulut. Namun di Bali, ada seorang suami yang secara mencengangkan melakukan tindakan bengis menebas kedua kaki istrinya dengan golok. Konon, karena cemburu.

Pada bulan September 2017, itulah kejadian tragis yang menimpa Ni Luh Putu Kariani (33) yang dituduh selingkuh oleh suaminya, Kadek Adi Waisaka Putra (39).

Tindakan ekstrem Kadek ini hanya merupakan satu dari sekian banyak insiden kekerasan terhadap perempuan (KTP) di Indonesia. Catatan Tahunan (Catahu) 2017 Komnas Perempuan menunjukkan pada tahun 2016 terdapat hampir 260.000 jumlah insiden KTP. Sebagian data ini diperoleh dari 359 pengadilan agama, sebagian dari 233 lembaga mitra pengada layanan yang terdapat di 34 provinsi di Indonesia.

Penulis: Julia Suryakusuma
Penulis: Julia SuryakusumaFoto: Julia Suryakusuma

Tingginya angka kekerasan

Angka-angka KTP, dan juga kekerasan terhadap anak, sudah bisa dikatakan tinggi, dan cenderung meningkat setiap tahun. Namun Indraswari, Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan, mensinyalir bawa angka-angka ini hanya merupakan puncak gunung es.

Kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang insidennya paling tinggi, dan dapat berbentuk fisik, psikis maupun ekonomi. Di dalam kategori kekerasan seksual, yang paling banyak adalah perkosaan, termasuk perkosaan di dalam perkawinan, yang sejak 2004 diakui di dalam pasal 8a UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKKDRT no. 23/2004).

Meski jelas adanya UU KPKDRT no. 23/2004 merupakan kemajuan besar, namun penerapannya masih menemui banyak tantangan. Ini karena faktor kultural dan struktural yang begitu kokoh, saling melengkapi dan merasuk di dalam sanubari masyarakat Indonesia, baik secara individual maupun institusional.

Bias patriarki

Pernyataan-pernyataan para pemimpin kitapun sangat jelas menunjukkan bias partriarkinya. Misalnya ketika Fauzi Bowo menjabat sebagai gubernur Jakarta (2007-2012), pada tahun 2011 ia mengatakan bahwa perempuan seyogyanya tidak mengenakan rok mini jika naik angkot, karena hal ini akan merangsang birahi sopir maupun penumpang laki-laki. Oh begitu ya pak?

KTP tentunya terjadi pula di berbagai sektor ranah publik. Mulai dari pelecehan seksual di tempat-tempat umum (jalan raya, kendaraan umum), kegiatan mengemis, prostitusi, buruh jermal dan perkebunan, di pabrik-pabrik maupun di kantor-kantor, dalam kasus lingkungan hidup (seperti misalnya PT Pabrik Semen versus petani pegunungan Kendeng yang mayoritas perempuan) dan tentunya yang tenaga kerja wanita (TKW) yang selalu menjadi sorotan.

Isu TKW ini sangat pelik karena merupakan titik temu antara ranah domestik dan ranah publik yang menjangkau bukan hanya lembaga negara, melainkan juga hubungan internasional. Seorang TKW sering terjepit antara hukum negara pengirim (Indonesia), dan negara penerima di luar negeri. Kedua-duanya eksploitatif, bukan hanya untuk uang, tapi juga untuk kepentingan politik.

Pada jaman sekarang yang serba online, pelecehan seksual terjadi juga di internet. Bahkan menurut blog Polikwika.com, menyitir Liputan 6.com, Indonesia menjadi negara nomor satu terkait kejahatan seksual terhadap anak. (http://blog.politwika.com/pelecehan-seksual-online-anak-indonesia/).

19 tahun setelah awal Reformasi, KTP tidak mengalami penurunan. Trend “Islamisasi”, meningkatnya konservatisme, pragmatisme politik dan politisasi agama yang begitu kental belakangan ini jelas tidak membantu. Ada beberapa kemajuan memang. Selain diterbitkannya UU PKKDRT no. 23/2004, pada Oktober yang lalu, Kapolri juga berjanji melakukan reformasi kepolisian terkait penanganan kekerasan seksual, namun hal tersebut masih perlu dibuktikan.

Mengandalkan siapa?

Jelas kita tidak bisa mengandalkan lembaga negara maupun agama dalam menangani KTP. Hal ini membuat para aktivis – perempuan maupun laki-laki- semakin giat dalam memperjuangkan gerakan anti-KTP. Misalnya ketika  tahun lalu musisi Kartika Yahya mendengar tentang perkosaan dan pembunuhan Yuyun, siswi 14 tahun dari Bengkulu, oleh 14 orang, ia memulai kampanye melalui komunitasnya, Kolektif Betina. Dengan tagar #Nyala untuk Yuyun, kampanye itu menyebar dengan pesat dan diangkat oleh media secara nasional.

Kate Walton, seorang aktivis dan penulis asal Australia, membuat infografis “Menghitung Pembunuhan Perempuan” akun Facebook. Berdasarkan temuannya pada pertengahan 2016 saja, data sudah menunjukkan “darurat kekerasan”. Kalau kita masuk ke dalam situs Kate, memang mengerikan.

Kekerasan berbasis gender berakar di dalam sendi-sendi masyarakat. Kita yang menciptakan dan melembagakannya, jadi hanya kitalah yang juga bisa menghapusnya bersama-sama.

Penulis: Julia Suryakusuma adalah pengamat sosial-politik, penulis, kolumnis, dan intelektual publik Indonesia yang membahas berbagai isu sosial, politik, budaya, agama, gender, seksualitas dan lingkungan hidup. Karyanya yang dianggap paling berpengaruh adalah "State Ibuisme/Ibuisme Negara". Ia juga menulis beberapa buku lainnya, yang terakhir adalah "Julia's Jihad"(2013), antologi kolomnya di harian The Jakarta Post.

@JihadJulia

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.