1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Debat Jilboobs

8 September 2014

Indonesia berdebat soal jilboobs. Fashion kombinasi jilbab dan pakaian ketat di tubuh yang mengundang kecaman dari para ulama, dan mendapat reaksi balik dari kelompok masyarakat lainnya.

https://p.dw.com/p/1D8c9
Foto: picture-alliance/dpa

Upaya dari otoritas keagamanan untuk melarang penggunaan jilbab dengan pakaian ketat telah memicu kontroversi Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar dunia. Belakangan semakin banyak orang Indonesia yang mengenakan jilbab, namun mengkombinasikannya dengan pakaian yang menonjolkan dada dan bagian pantat.

Fenomena mencampurkan gaya busana sopan Muslim dengan fashion ala Barat dikenal, dengan istilah jilboobs, sebuah singkatan bernada ejekan untuk kombinasi antara jilbab dan “boobs” atau payudara perempuan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah menyatakan bulan lalu bahwa mengenakan jilbab dengan pakaian ketat adalah hal terlarang.

”Kami mengapresiasi para perempuan yang memutuskan mengenakan jilbab,” kata wakil ketua MUI Ma'ruf Amin.

“Namun beberapa diantara mereka menutupi kepala dan menonjolkan bagian tubuh sensual mereka yang lain,” kata dia. ”Majelis Ulama Indonesia melarang itu.”

Sejumlah reaksi pro dan kontra bermunculan.

”Apakah mereka tidak punya hal lain yang bisa dikerjakan ketimbang mengomentari pilihan cara berbusasa orang?” kata Rahma Laela, perempuan berusia 26 tahun yang memakai jilbab.

”Kami perempuan juga ingin kelihatan modis,” kata dia.

Sebuah laman Facebook yang khusus menammpilkan berbagai foto perempuan memakai jilboobs telah mendapat fans hampir 39.000. Salah satu foto memperlihatkan seorang perempuan memakai jilbab dengan kaos ketat bertuliskan"Boyfriend Wanted!!"

Agama dan Fashion

Penulis dan tokoh Feminis Julia Suryakusuma mengecam reaksi ”gegabah” MUI, dan mengatakan jilboobs “adalah titik temu antara agama dengan globalisasi… sebuah tren mode.”

Namun ini adalah tren yang seharusnya membuat umat Islam berpikir lebih dalam tentang aturan yang mereka patuhi, kata Julia dalam artikelnya di sebuah harian yang diberi judul ”Badai ukuran-D!”

“Hampir tak ada yang mempertanyakan, padahal faktanya banyak yang bisa – dan seharusnya. Kenapa dan oleh siapa perempuan diminta untuk mengenakan jilbab atau hijab? Apa sejarah dibalik itu?”

“Bagi saya, jilbab tak lebih dari sekedar pendangkalan ajaran Islam, dan bentuk kemunafikan (laki-laki dan perempuan), dan bahkan idealisasi aturan yang bahkan mungkin sebenarnya bukan sebuah aturan,” kata dia.

Di Indonesia semakin bertambah jumlah perempuan yang mengenakan busana Muslim sejak kejatuhan diktator Suharto pada 1998 yang mengantarkan negara ini ke era demokrasi.

Para pengamat menilai fenomena ini muncul seiring meningkatnya konservatisme dalam Islam. (Baca: Politik Dalam Secarik Busana Muslim)

Dalam beberapa tahun terakhir, sebuah generasi baru perancang mode yang menggabungkan busana Islami yang sopan dengan fashion mutakhir, bermunculan, sebagai bagian dari kampanye pemerintah untuk menjadikan negara itu sebagai pusat busana Muslim dunia. (Baca: Booming Hijaber dan Tren Syariah)

Labih dari 85 persen penduduk Indonesia yang total berjumlah 240 juta jiwa beragama Islam.

Asma Nadia, seorang penulis Muslim dan manajer penerbitan Lingkar Pena, mengatakan kontroversi atas jilboobs seharusnya menjadi peringatan bagi para perempuan untuk jeli.

“Para perempuan Muslim yang telah memutuskan menutup tubuh, seharusnya mempertimbangkan untuk memperbaiki cara berpakaian mereka,” kata dia.

”Mengikuti cara berpakaian Islami tidak harus berarti menjauh dari mode,” kata dia. ”Fashion dan kesopanan bisa berjalan seiringan, sejauh kesopanan menjadi prioritas.”

ab/rn (afp,dpa,ap)