1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

280111 Deutschland Essgewohnheiten

23 Februari 2011

Belum lama ini Jerman dikejutkan oleh dioksin yang terdapat dalam pangan ternak. Buku-buku mengenai kualitas makanan dan sistim peternakan massal kini sedang trend dan pegangan acara diskusi

https://p.dw.com/p/10OXh

Kedua buku mereka bersampul hijau. Sampul buku Karen Duve, yang berjudul „Anständig Essen“ atau „makan secara etis“ dihiasi seekor kelinci gemuk yang duduk manis di atas piring. Sedangkan buku Jonathan Safran Foer berjudul „Eating animals“ atau „memakan binatang“ lebih simpel sampulnya. Dengan huruf-huruf jingga di tengah lingkaran putih sebuah piring.

Acara pembacaan kedua buku ini sangat meriah. Ada aktivis yang datang mengenakan kostum hewan, yang membawa poster mengingatkan agar tidak mengkonsumsi produk daging, telur atau susu. Menarik sebenarnya, karena seringnya yang hadir di acara semacam ini, banyaknya kaum vegetarian, serta para pencinta alam yang sudah menyadari dampak perubahan iklim.

Diantara pengunjung terdengar komentar seorang gadis, "Buat saya menarik untuk tahu mengenai tema ini, karena kemudian sikap kita juga berubah, kit amengrangi konsumsi dan saya dari dulu sedih bila orang-orang bercerita tentang binatang dan siksaan yang dialaminya". Seorang pria setengah baya juga berecrita, "Saya memang ingin tahu lebih banyak mengenai tema ini, karena sekarang kan kita harus memenuhi kebutuhan makan kita dengan lebih baik. Belakangan saya mulai berpikir untuk mengubah apa yang saya makan, apalagi bila mendengar tentang peternakan massal, kita masih hanya tahu terlalu sedikit mengenai tema itu". Bagaikan di konser musik pop, pengunjung yang datang berdesakan ingin mengikuti diskusi. Karcis masuk ludes dan sebagian besar dari 850 hadirin yang ada terpaksa mengikuti pembacaan buku di layar video besar yang terpampang.

"Gimana sih, bagaimana kamu bisa membeli daging yang pernah mengalami siksaan ini, begitu teriak Jiminy. Kamu kan tahu bagaimana ayam-ayam ini diternak. Betul. Di suatu tempat, di tepian kesadaran, saya mengetahui bagaimana kondisi hidup ayam-ayam di peternakan, dan kondisi itu tidak menggembirakan", begitu Karen Duve mulai membaca dari bukunya.

Pengalaman di supermarket tadi merupakan salah satu kunci cerita. Saat itulah ia memutuskan untuk mengubah kebiasaan makannya dan mulai menulis buku tentang masalah pangan. Rencananya, setiap dua bulan ia akan menulis tentang satu bagian tema ini. Mulai dari makanan yang etis, pentingnya produk alami, disusul dengan aspek vegetaris, hidup sebagai vegan, hingga menjadi seorang frutaris. Frutaris adalah bentuk paling radikal. Dimana bolehnya suatu jenis buah dimakan atau tidak, dikaitkan dengan dampak pemeliharaannya. Menanam buah itu harus terbukti tidak merusak alam. Kacang-kacangan, buah apel, stroberi dan buah-buahan sejenis boleh dimakan. Tapi produk agrobisnis seperti gandum, padi, serta umbi-umbian seperti kentang dan wortel tidak boleh dimakan.

Melanjutkan ceritanya, Karen Duve bertutur, "Saya bisa membayangkan seandainya kita secara intensif mendalami tema ini, bisakah kita kemudian menikmati keseharian hidup? Bagaimana kehidupan kita sesudah itu? Saya sering kesal, setiap kali melewati warung yang memasang iklan besar, gambar ayam panggang yang duduk menantang dan dibawahnya tertulis kata-kata: bawalah saya pulang. Saya lalu berpikir, bahwa cara mereka beriklan saja tidak etis.“

Karen Duve bercerita penuh humor bagaimana ia menjadi orang yang mementingkan etika dalam produksi makanan. Dalam bukunya ia bukan menyampaikan keluhan, juga bukan semacam peringatan. Ia hanya bercerita tentang sulitnya mengubah pilihan dari produk pangan massal ke produk pangan yang sehat dan alami.

Berbeda dengan Duve, penulis Amerika Jonathan Safran Foer, menggambarkan kondisi produksi pangan secara gamblang. "Setiap kali, kalau ke supermarket, kita selalu dibohongi oleh segel kualitas pada bahan-bahan pangan dan ini sangat membingungkan. Pernahkan Anda melihat kemasan telur yang diberi gambaran bangsal tanpa jendela? Pada pak-pak rokok sekarang kita sudah mendapat peringatan, bahwa kita terancam mati bila merokok. Saya tidak mengerti kenapa informasi ini tidak tertera pada produk daging. Kenapa tidak ada keterangan bahwa daging ini berasal dari peternakan di mana 60 ribu hewan sejak lahirnya disuntik antibiotika. Kenapa kita tidak berhak mendapatkan informasi ini?”

Skandal um Dioxin in Deutschland
Ayam petelurFoto: dapd

"Eating Animals" atau "Memakan binatang" adalah buku non fiksi pertama yang ditulis oleh Jonatha Safran Foer. Sebelumnya ia penulis novel yang mengangkat tema-tema perang dunia kedua dan dampak serangan teror terhadap gedung World Trade Center di New York. Lalu, kenapa ia sekarang mengangkat tema makanan?

Menurut Jonathan Sfaran Foer, pertanyaan ini aneh sekali. Ia kemudian balik bertanya, "Kenapa seorang penulis tidak bisa mengangkat tema pemanasan global, yang terkait erat dengan peternakan massal dan penganiayaan hewan? Semua ini berdampak pada kita dan masa depan kita. Ada gambaran yang salah, bahwa hanya hippies atau pelindung satwa saja yang tertarik dengan tema-tema seperti ini, padahal ini merupakan kepentingan semua. Tantangannya adalah bagaimana masyarakat bisa mendapat akses ke tema-tema seperti ini. Karenanya, saya menulis buku ini. “

Karen Duve juga menulis bukunya karena dorongan bathin. Pertengahan 2010, ia menemukan buku Jonathan Foer di toko buku. Diceritakannya, “Awalnya saya kaget bahwa ada buku setebal ini yang membahas tema yang sama. Tapi itu hanya sekejap saja, sesudah itu bagi saya juga jelas bahwa tidak ada yang punya hak paten atas sebuah tema, dan memang seharusnya ada banyak sekali buku yang ditulis mengenai tema ini.“

Kita harus mengubah pilihan makanan kita. Begitu kira-kira imbauan dalam buku karya Karen Duve dan Jonathan Safran Foer, yang menilik permasalahan dibalik segel kualitas makanan dan sistim peternakan masal. Apakah kita akan melakukannya? Itu dia pertanyaannya.

Nadine Wojcik / Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk