1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

ICW: Narasi Penguatan KPK Hanya Ilusi Semata

Prihardani Ganda Tuah Purba
14 Januari 2020

Kasus suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, kembali memunculkan narasi pelemahan KPK karena berlakunya UU KPK baru. Lama jeda waktu untuk penggeledahan dinilai membuka peluang hilangnya alat bukti.

https://p.dw.com/p/3W9wh
Indonesien | Zentrale  Indonesia Corruption Eradication Commision
Foto: DW/R. Putra

Narasi pelemahan KPK akibat berlakunya UU KPK baru (UU Nomor 19 tahun 2019), kembali mencuat pasca peristiwa OTT KPK yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Salah satu yang disorot adalah lamanya jeda waktu dari peristiwa OTT dengan penggeledahan karena harus menunggu izin dari Dewan Pengawas. Hal ini dinilai membuka peluang hilangnya alat bukti atau petunjuk lain dalam kasus ini.

KPK diketahui baru melakukan penggeledahan pada Senin (13/01), empat hari sejak penetapan tersangka atas Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang dilakukan pada Kamis (09/01). Penggeledahan dilakukan di ruang kerja Wahyu di kantor KPU dan di rumah dinas Wahyu di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. KPK mengatakan berhasil menyita sejumlah dokumen penting terkait kasus suap ini.

Meski ada jeda waktu untuk melakukan penggeledahan, KPK mengatakan bahwa penyidik memiliki strategi dalam mengusut tuntas kasus dugaan suap Wahyu Setiawan. "Tentu penyidik KPK punya strategi, kita punya target-target apa yang perlu kita dapatkan dalam proses penyidikan," kata Plt Jubir KPK Ali Fikri, Senin (13/01) seperti dilansir dari Detik.

Tidak hanya jeda waktu untuk penggeledahan, isu gagalnya penggeledahan oleh KPK di Kantor DPP PDIP dalam kaitannya dengan kasus suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan juga sempat menjadi sorotan. Namun, isu gagal geledah ini langsung ditepis oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar melalui konferens pers pada Kamis (09/01), yang menyebut bahwa tim dari KPK memang tidak ada rencana melakukan penggeledahan karena masih dalam penyelidikan.

"Legalitas hukum KPK sangat mungkin dipertanyakan"

Kepada DW Indonesia, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan bahwa dengan berlakunya UU KPK baru, setiap tersangka nantinya berpeluang mengajukan pra peradilan atas legalitas hukum KPK. Legalitas hukum ini ia sebut akan sangat mungkin dipertanyakan, utamanya terkait dengan izin yang diberikan oleh Dewan Pengawas.

"Dewan Pengawas ini kan tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana kita. Selama ini kan kalau kita mengacu pada KUHAP misalnya penggeledahan itu kan atas izin dari pengadilan negeri, lho kok ini tiba-tiba dibentuk Dewan Pengawas diberikan kewenangan yang sangat besar seperti ini," ujar Kurnia.

"Dewan Pengawas ini kan konsepnya keliru, bagaimana mungkin sebuah lembaga yang sebenarnya tidak dikenal di dalam sistem peradilan pidana kita diberikan kewenangan untuk memberikan atau tidak memberikan ijin terkait dengan tindakan pro justicia KPK, maka konsekuensi logis nya adalah dimasa yang akan datang KPK akan dibanjiri dengan pra peradilan belum lagi ditambah ketika pimpinan KPK tidak lagi berstatus sebagai penyidik dan juga penuntut ini menjadi problem utama di dalam UU KPK," tambah Kurnia.

Presiden kembali didesak terbitkan Perppu KPK

Melalui keterangan tertulis pada 12 Januari 2020, ICW menyoroti bahwa perisitiwa OTT yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, menjadi bukti bahwa UU KPK baru (UU No.19 Tahun 2019) "mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia". ICW bahkan menyebut bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Presiden dan DPR hanya ilusi semata. Sebab, keberlakuan UU KPK baru justru menyulitkan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga anti rasuah tersebut.

ICW menyebutkan bahwa KPK lambat dalam melakukan penggeledahan di kantor PDIP. Ini disebabkan adanya Pasal 37 B ayat (1) UU KPK baru yang menyebutkan bahwa tindakan penggeledahan mesti atas seizin Dewan Pengawas. "Padahal dalam UU KPK lama (UU No.30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun," tulis ICW.

ICW juga menyebut bahwa KPK diduga dihalang-halangi saat menangani perkara. Sejatinya setiap upaya menghalang-halangi proses hukum dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menggunakan Pasal 21 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 (UU Tipikor). 

ICW pun mendesak agar Presiden Joko Widodo tidak buang badan saat kondisi KPK yang semakin lemah akibat berlakunya UU KPK baru. 

"Ini problemnya sudah nyata, penggeledahan KPK lambat kita belum tahu ke depan akan ada permasalahan apa lagi maka dari itu dorongan kita agar presiden bisa menunaikan janji anti korupsinya dulu ketika berkampanye karena kondisi KPK semakin lemah dan satu-satunya penyelamat, melalui presiden menerbitkan Perppu walaupun di sisi lain kita tetap mengajukan judicial review di MK," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada DW Indonesia, Selasa (14/01).

Selain itu, ICW juga mengatakan bahwa KPK harus berani menerapkan aturan obstruction of justice bagi pihak-pihak yang menghambat atau menghalang-halangi proses hukum.

"Tak ada asap jika tak ada api"

Kritik terhadap lamanya jarak waktu penggeledahan dalam OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan juga dilontarkan oleh mantan komisoner KPK Abraham Samad.

"Pertama kali dalam sejarah, penggeledahan berhari-hari pasca OTT," tulis Samad melalui akun twitternya.

Menurutnya, tujuan penggeledahan adalah untuk menemukan bukti hukum secepat-cepatnya, sehingga OTT dan penggeledahan seharusnya dilakukan secara berbarengan. OTT yang tidak disertai penggeledahan pada waktunya, ia sebut bukan hanya menyimpang dari SOP saja tapi juga "membuka peluang hilangnya barang bukti, petunjuk, dan alat bukti lain".

"Ini sama dengan memberi waktu pelaku kejahatan buat hilangkan jejak," tulisnya.

Lebih jauh Samad mengatakan bahwa polemik penundaan penggeledahan yang saat ini terjadi adalah buah dari produk UU KPK hasil revisi. "Pelemahan pemberantasan korupsi semakin terbukti, tak ada asap jika tak ada api".

Nasib Perppu?

Desakan penerbitan Perppu KPK tampaknya masih belum membuat istana bergeming. Merespon desakan ini, Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman justru meminta agar masyarakat memberikan kesempatan kepada Dewan Pengawas KPK dan juga KPK untuk menjalankan UU KPK baru hasil revisi tersebut.

Menurutnya, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK merupakan UU berdasarkan politik hukum pemerintahan Jokowi sehingga Jokowi tetap menghormati hukum positif yang berlaku saat ini. 

"Kami hanya menjalankan apa yang menjadi undang undang yang terbaru yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK," ujar Fadjroel, Senin (13/01).

(gtp/na) (dari berbagai sumber)