1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dewan Pakar Independen Akan Kaji Panel Iklim PBB

26 Februari 2010

Sebuah dewan ilmuwan akan dibentuk untuk mengkaji laporan panel iklim global IPCC yang dinilai buruk dalam pencapaiannya. Keputusan ini disampaikan dalam forum yang digelar badan PBB urusan lingkungan hidup UNEP di Bali.

https://p.dw.com/p/MCO7
Pemimpin IPCC Rajendra Pachaur dan Sekjen PBB Ban Ki MoonFoto: AP

Sementara para menteri lingkungan sedunia dalam penutupan forum ini menyatakan komitmen bersama yang tertuang dalam Deklarasi Nusa Dua. Komitmen tersebut memuat kesepakatan untuk pencapaian keputusan bersama dalam penanggulangan perubahan iklim di Mexico pada akhir tahun mendatang.

Ein pakistanischer Helikopter auf dem Weg zu einer Rettungsaktion auf dem Nanga Parbat im Himalaya
Pegunungan HimalayaFoto: picture-alliance/dpa

Dewan Pakar Independen Dibentuk

Sebuah badan baru yang terdiri dari para pakar akan dibentuk untuk mengkaji laporan Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim, IPCC yang telah membuat kesalahan dalam laporannya tahun 2007. Salah satu yang dimuat dalam laporan itu menyebutkan glasier di pegunungan Himalaya akan lenyap pada tahun 2035, padahal semestinya tahun 2350. Kesalahan-kesalahan yang terjadi itu memunculkan sikap skeptisisme. Namun menurut PBB, klaim mendasar IPCC bahwa bahaya perubahan iklim yang disebabkan ulah manusia, masih tidak tergoyahkan. Bahaya itu masih mengintai.

UNEP Logo
UNEP Logo

Forum UNEP Ditutup dengan Deklarasi Nusa Dua

Pembentukan dewan pakar itu disampaikan juru bicara badan PBB urusan lingkungan hidup UNEP dalam forum internasional di Nusa Dua, Bali. Dalam penutupan pertemuan ini dicapai kesepakatan Deklarasi Nusa Dua. Deklarasi terdiri dari 13 poin. Diantaranya para menteri lingkungan hidup berkomitmen untuk menjadikan konsep pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan atau ekonomi hijau guna mendukung pencapaian pembangunan. Poin lainnya yaitu komitmen para menteri lingkungan hidup untuk memperkuat peran UNEP sebagai otoritas lingkungan global yang menentukan agenda lingkungan global seperti termuat dalam deklarasi Nairobi tahun 1997. Selain itu komitmen pemotongan emisi global secara dramatis untuk menekan kenaikan suhu dibawah 2 derajat celcius. Termasuk komitmen untuk efisiensi dan efektifitas arsitektur tata kelola lingkungan internasional.

Korallen
Terumbu karang di Townsville, Queensland, AustraliaFoto: AP

Nasib Keanekaragaman Hayati yang Terancam

Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta pada penutupan pertemuan sesi khusus ke-11 menteri lingkungan hidup ini, mengungkapkan juga terdapat komitmen untuk membentuk platform kebijakan keilmuan antar pemerintah mengenai perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistem:

”Komitmen untuk pencapaian kesepakatan di tahun 2010 mengenai pembentukan Intergovernmental science police platform on biodeversity and ecosystem service“. Kita menyambut baik keputusan negara pihak pada CBD untuk menyelesaikan international access and benefit sharing pada tahun 2010.”

Konsep Karbon Biru Diluncurkan

Sementara itu badan PBB untuk program lingkungan meluncurkan konsep Blue Carbon atau Karbon Biru dalam upaya penanggulangan terhadap perubahan iklim. Dimana konsep Blue Carbon membuktikan peran ekosistem laut dan pesisir yang didominasi oleh vegetasi laut seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang dalam melakukan penyerapan karbon.

Australien Great Barrier Reef Korallen Riff
Terumbu karang di dekat Pulau Keppel Islands di Great Barrier ReefFoto: AP

Ekosistem pesisir dan laut diyakini mampu menjadi penyeimbang untuk mengurangi laju emisi melalui penyerapan karbon. UNEP merekomendasikan kepada negara-negara di dunia untuk melakukan upaya rehabilitasi terhadap ekosistem laut. Direktur Eksekutif UNEP Achim Steiner pada keteranganya saat peluncuran konsep Blue Carbon di Nusa Dua Bali menyebutkan upaya rehabilitasi kawasan pesisir dan laut harus mulai dikembangkan. Apalagi sejak 40 tahun terakhir telah terjadi perusakan ekosistem pesisir dan laut melalui eksploitasi yang berlebihan: ”Sejak 40 tahun terakhir banyak kerusakan yang semakin memperparah kerusakan ekosistem. Bahwa pada kenyataanya kita juga tahu itu memperparah perubahan iklim. Kita kehilangan 50 persen hutan mangrove dan 30 persen padang lamun.”

(Raditya Wardhana/AP/afp/dpa)