1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Simpati dan Antipati Untuk Polisi

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
29 Juni 2019

Segala prestasi baik tidak dengan serta merta membuat publik memberikan simpati menyeluruh terhadap kepolisian. Mengapa demikian? Simak ulasan Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/3Kswx
Indonesien Jakarta - Demonstrationen zum 1. Mai
Foto: Reuters/W. Kurniawan

Ada fenomena menarik dalam peristiwa kerusuhan di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jakarta, pada 22-23 Mei 2019 lalu. Kita dapat menyaksikan bagaimana kerusuhan tersebut memunculkan banyak respon-respon simpatik terhadap aparat kepolisian yang bertugas. Mulai dari media-media yang menyorot sisi-sisi humanis mereka, seperti salah seorang polisi yang melakukan panggilan video dengan anaknya di kala beristirahat, sembahyang bersama para demonstran, sampai dukungan massal untuk membuktikan bahwa isu yang mengatakan bahwa kepolisian Indonesia telah disusupi oleh personel-personel asal China adalah hoaks.

Setidaknya 200 orang terluka dan 8 orang meninggal secara misterius dalam kerusuhan, namun langkah-langkah kepolisian seperti pelarangan penggunaan peluru tajam, negosiasi dengan para demonstran untuk menghalau provokator, serta gerak cepatnya untuk menahan para penyusup demonstrasi dari luar daerah, sudah cukup baik dalam menunjukkan profesionalisme kerja mereka di mata publik. Walaupun kini kepolisian sedang bergulat secara intelijen dengan isu-isu makar dan pembunuhan terencana terhadap tokoh-tokoh nasional, citra mereka di mata publik kini sedang begitu positif; sesuatu yang sesungguhnya jarang terjadi.

Penulis: Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab, namun faktor utamanya adalah kemenangan meyakinkan Jokowi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dan citra politik progresifnya yang dianggap berhasil meningkatkan kepercayaan masyarakat luas terhadap negara dan perangkat-perangkatnya. Dalam peristiwa kerusuhan tersebut, pihak kepolisian yang terlihat mempertahankan diri mati-matian dianggap sebagai pelindung stabilitas keamanan, semangat reformasi, dan kelangsungan demokrasi sipil Indonesia dari huru-hara pasca pemilu yang direncanakan oleh pihak-pihak terselubung yang anti demokrasi.

Namun jika membicarakan perjalanan citra kepolisian sebagai sebuah institusi profesional, maka lebih tepat untuk menggambarkannya sebagai sebuah garis yang naik turun. Mulai dari awal pembentukannya sampai saat ini, kepolisian kerap dibenci setengah mati karena sering berlaku semena-mena terhadap rakyat sipil namun juga begitu dicintai kala mereka dapat bekerja secara efektif.

Turun Naik Kepercayaan Publik

Akar sejarah kepolisian modern Indonesia dapat ditelusuri sejak masa Hindia Belanda, tepatnya memasuki awal abad ke-20 ketika institusi kepolisian mulai tegak sebagai penjaga keamanan dan ketertiban (rust en orde) serta status quo kolonialisme Belanda yang utama. Sukarno adalah orang yang paling giat mereka selidiki. Setidaknya pada tahun 1930, personel kepolisian kolonial telah berjumlah sekitar 54.000 jiwa, 96 persen adalah personel-personel pribumi. Eksistensi mereka diamini orang-orang Eropa yang jumlahnya kian besar namun juga menjadi momok bagi kelompok pergerakan nasional Indonesia.

Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, jabatan-jabatan tinggi di tubuh kepolisian yang sebelumnya dipegang opsir-opsir Eropa digantikan oleh kalangan pribumi. Namun posisi tersebut adalah impoten karena mereka berada di bawah pengawasan langsung perwira-perwira Jepang dan tugas kepolisian lebih disesuaikan dengan kepentingan tentara pendudukan. Karena itu Kempetai (polisi militer Jepang) lebih menonjol dan ditakuti karena terkenal kejam, walau mereka cukup menghargai tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia yang dianggap dapat mengkonsolidasi opini rakyat untuk mendukung Jepang.

Kepolisian kian memperlihatkan profesionalismenya di masa Indonesia merdeka. Mulai 1 Juni 1946 institusi kepolisian bertanggung jawab langsung kepada kepala pemerintahan dan tanggal tersebut sampai saat ini diperingati sebagai hari lahir kepolisian atau Hari Bhayangkara. Beberapa nama polisi terkenal dalam dekade-dekade awal kemerdekaan Indonesia di mata publik misalnya adalah Soekanto, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang pertama dan terlama (1945-1959) dan Muhammad Yasin, pendiri Brigade Mobil (Brimob), kesatuan yang berjasa dalam pertempuran-pertempuran mempertahankan kedaulatan Indonesia dari aksi-aksi separatisme di tahun 1950-an.

Dan tentu saja nama Hoegeng Iman Santoso tidak bisa dilupakan. Kita mungkin lebih mengenalnya dari kelakar Gus Dur yang mengatakan bahwa "di negeri ini cuma ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng.” Bagi Hoegeng setiap tindak kejahatan harus diberantas baik itu pelakunya seorang kriminal ataupun petugas polisi sendiri. Selama masa penugasannya sebagai Kapolri (1968-1971), sosoknya populer di tengah-tengah masyarakat sebagai aparat yang bersih. Ironisnya, sikap profesionalnya inilah yang kemudian membuatnya dilengserkan oleh Soeharto, presidennya sendiri.

Di masa Orde Baru, militer berdaulat penuh sebagai penyelenggara keamanan negara. Tidak seperti di masa-masa sebelumnya yang memperlihatkan polisi sebagai penegak hukum yang relatif lebih steril dari intervensi, polisi masa Orde Baru pun kembali dipengaruhi oleh kepentingan politik seperti di masa Hindia Belanda. Segala penyidikan yang mengarah pada keluarga Cendana dan koleganya akan dihambat dan menguap begitu saja, seperti kala Hoegeng menangani kasus Sum Kuning dan penyelundupan mobil komplotan Robby Tjahjadi.

Kepolisian yang menjadi anak bungsu dalam penyelenggaran keamanan di bawah Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara dalam organisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) itupun kian dilabeli sebagai institusi yang tidak kompeten, tidak profesional, bahkan dibenci masyarakat luas karena segala sesuatu yang berhubungan dengan polisi pasti akan berujung uang. Mulai dari polisi di jalanan yang sering memalak pengendara sampai di bagian reserse yang mengurus perkara pidana. Citra polisi telah mengakar buruk dan bersinonim dengan sogokan-sogokan.

Angin perubahan terjadi. Pemisahan antara institusi militer dan kepolisian pada 1999 merupakan buah dari reformasi. Kepolisian kian berperan dominan dalam penyelenggaraaan keamanan negara seperti pengusutan kasus-kasus kriminal tingkat tinggi, terorisme, bahkan korupsi, meninggalkan tentara yang dulu jumawa tampil di publik sebagai wajah hukum pemerintahan Orde Baru. Salah satu momen yang memperlihatkan bahwa institusi kepolisian telah siap menyambut reformasi dan lepas pengaruh Orde Baru adalah peristiwa penangkapan Tommy Suharto, anak Suharto, atas kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 2001 silam.

Polisi Reformasi, Reformasi Polisi

Namun toh segala prestasi baik tersebut tidak dengan serta merta membuat publik memberikan simpati menyeluruh terhadap kepolisian. Apa yang diperlihatkan di televisi dan kanal-kanal berita digital nyatanya tidak melulu sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Polisi masih menjadi momok, yang mungkin tidak lagi bersifat intimidatif dan petantang-petenteng seperti di era Orde Baru, namun lebih sebagai subyek menyebalkan yang sebaiknya dihindari daripada berurusan dengannya.

Pada Februari 2019 lalu, perusahaan riset terkemuka Markplus Insight merilis indeks kepercayaan publik terhadap kepolisian. Survei yang dilakukan secara acak dan melibatkan 29.250 responden tersebut menyebutkan bahwa indeks kepuasaan terhadap institusi kepolisian sebesar 74,66 persen dan nilai indeks kepercayaan sebesar 80,73 persen. Nilai yang cukup tinggi, namun cukup meragukan dijadikan sebagai acuan universal.

Pelayanan kepolisian seperti pengurusan tilang dan surat-surat kendaraan masih banyak yang belum lancar kalau kode-kode KUHP (Kasih Uang Hilang Perkara) belum dilibatkan. Belum lagi penuntasan kasus-kasus besar seperti perkara Novel Baswedan, korupsi sistematik di tubuh kepolisian, penanganan berlebihannya terhadap aktivis-aktivis lingkungan, sampai penggeledahan buku-buku kiri yang lebih terlihat sebagai aksi kurang kerjaan, nirintelektual, dan tak berbudaya. Jika hal-hal seperti ini tidak dibenahi, heroisme kepolisian dalam kericuhan Gedung Bawaslu dipastikan akan menjadi angin lalu saja dalam sejarah kepolisian.

Sudah saatnya kita harus merasa selalu diayomi kala bertemu polisi di jalan raya, bukan berhenti, putar balik, dan melawan arus untuk menghindarinya. Untuk menciptakan polisi era reformasi yang kompeten dan profesional tentu harus ada reformasi menyeluruh di dalam institusi kepolisian, sehingga simpati dan kepercayaan publik terus terjaga.

 Penulis @RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.