1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Tarian Tiang Digemari Perempuan Mesir

9 Maret 2018

Bagi masyarakat Mesir tarian tiang memiliki stigma buruk. Namun olahraga akrobatik tersebut semakin diminati kalangan perempuan.

https://p.dw.com/p/2u2Hg
Ägypten Stangentanz
Foto: DW/Karin El Minawi

Manar El Mokadem menari dengan penuh semangat di sebuah tiang, memanjat dan berputar ke bawah lagi, mendarat di atas sepatu hak tingginya. Instruktur kelas tersebut memanjat tiang lagi dan membelah kakinya di udara. Seluruh peserta kelas pun bertepuk tangan.

El Mokadem mulai menggeluti tarian tiang lebih dari tujuh tahun yang lalu. Ia memulainya sebagai hobi dan sekarang menjadi profesi setelah ia membuka studio tarian tiang yang pertama di Kairo, Mesir, pada tahun 2013. Hal itu adalah sebuah langkah yang berani dalam lingkungan masyarakat konservatif, di mana banyak orang menganggap tarian tersebut tidak senonoh. Bagi El Mokadem, ini adalah ungkapan kebebasan - dan lebih dari itu, tarian tiang adalah bentuk latihan yang mulai populer di negara-negara Afrika Utara, walau biasanya olahraga tersebut diselenggarakan secara tertutup.

Ägypten Stangentanz
El Mokadem telah mengajari tarian tiang kepada 2.600 perempuan Mesir.Foto: DW/Karin El Minawi

Aib sosial

Mesir, dengan lebih dari 92 juta penduduknya, adalah negara yang ekstrem: jurang tinggi antara kemiskinan dan kekayaan, antara kaum liberal dan konservatif.

Tarian perut, yang menggoda dan erotis seperti tarian tiang, telah menjadi bagian dari budaya orang Mesir selama berabad-abad, juga tidak disukai - namun penari perut berpakaian minim berpakaian merupakan bagian dari perayaan pernikahan di seantero negeri. Pada saat yang sama, banyak orang Mesir memendang miring tarian tiang, yang sering dikaitkan dengan daerah lokalisasi dan pelacuran - dua hal tersebut adalah tabu di Mesir.

El Mokadem sadar akan persepsi umum, tapi hal tersebut tidak menghentikan perempuan 24 tahun itu untuk menekuni olahraga yang ia gemari sejak menjadi mahasiswa arsitektur di Inggris. Dia membuka Pole Fit di Mesir, sebuah studio tarian tiang untuk perempuan, beberapa bulan setelah dia kembali ke Mesir. Awalnya, orang tua El Mokadem kaget. "Mereka khawatir dengan apa yang orang lain katakan," katanya.

Tanpa sepengetahuan banyak orang

Sadar akan stigma buruk tentang tarian tiang di Kairo, El Mokadem memastikan bahwa hanya perempuan saja yang bisa ikut serta kelasnya. Studionya terletak di lantai dua sebuah gedung apartemen di kawasan Garden City. "Orang-orang menganggapnya sebagai studio kebugaran biasa," kata El Mokadem. Ia berusaha untuk tidak menarik perhatian atau memprovokasi siapapun.

Mereka tidak tampil di depan umum. "Kami memiliki peraturan yang tegas," katanya, menjelaskan bahwa ketentuan tersebut juga berlaku untuk instruktur lain di studionya. Meskipun demikian, kelasnya penuh. Pole Fit telah melatih lebih dari 2.600 perempuan penari tiang. Untuk memenuhi permintaan yang meningkat, El Mokadem telah membuka dua studio lainnya yang diikuti semua lapisan masyarakat, termasuk mahasiswa, dokter, perancang dan ibu rumah tangga.

Mereka berusia antara 20 hingga 56 tahun, dan mereka mendengar tentang kelas tarian tiang dari mulut ke mulut. Kerudung dan niqab sesekali dilepas selama latihan untuk alasan keamanan. "Itulah satu-satunya cara kita bisa berpegangan pada tiang tanpa tergelincir," kata El Mokadem.

Penari atau dokter

Rihan Soliman, seorang mahasiswi kedokteran berusia 22 tahun, mengatakan bahwa dia mulai mengikuti kelas tarian tiang sejak dua tahun lalu. Orang tuanya sudah tahu tentang hal itu karena dia memasang tiang di kamarnya. Apa yang belum mereka ketahui, kata Soliman, adalah ia lebih suka menjadi penari daripada dokter. Perempuan muda itu mengatakan bahwa dia akan menyelesaikan gelarnya hanya demi orang tuanya.

"Tarian tiang telah membuat saya lebih percaya diri dan disiplin," kata Soliman. Tarian tersebut membuatnya merasa "seksi, seperti bintang rock" - sesuatu yang orang tuanya tidak akan pernah mengerti atau menerima.

Masyarakat Mesir sangat konservatif, bahkan setelah revolusi pada tahun 2011 yang menggulingkan penguasa otoriter, Hosni Mubarak. Saat itu, perempuan turun ke jalan dengan harapan lebih banyak hak, lebih banyak partisipasi politik dan lebih banyak kebebasan.

Walau saat ini perempuan Mesir lebih percaya diri, namun tak banyak hal lain yang berubah. Hak-hak perempuan masih dibahas, dan upaya masih dilakukan untuk mengurangi peran perempuan untuk hanya menjadi istri dan ibu rumah tangga. Jalan menuju kesetaraan gender masih panjang.

Meski cukup banyak perempuan yang terjun ke dunia politik, namun kekerasan dan pelecehan seksual masih jadi bagian dari kehidupan perempuan Mesir.

Penulis: Karin El Minawi (yp/)