1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dimensi Demonstrasi Bahrain Beragam

17 Februari 2011

Sejak awal pekan ini ribuan penduduk Bahrain berdemonstrasi menentang politik pemerintahannya. Para demonstran menuntut reformasi dan pengunduran pemerintah. Sebagian bahkan menuntut penggulingan rezim.

https://p.dw.com/p/10J3l
Bahrain, negara pulau di Teluk Persia

Hari Rabu lalu (16/2), sedikitnya 2.000 warga ibukota Manama mengikuti pemakaman seorang demonstran yang tewas dalam aksi unjuk rasa Rabu lalu. Para demonstran menuntut reformasi dan pengunduran pemerintah. Sebagian bahkan menuntut penggulingan rezim. Terinspirasi oleh revolusi Mesir, ratusan pengunjuk rasa mendirikan tenda di „lapangan mutiara“ di Manama. Namun aksi tersebut dibubarkan secara paksa oleh polisi Kamis pagi (17/2).

Negera pulau kecil ini yang terletak di Teluk Persia merupakan kasus tersendiri di kawasannya. Negara itu secara kulturel, agama dan politik dipengaruhi oleh aliran Syiah dari Iran. Namun juga oleh negara-negara Arab lainnya yang beraliran Sunni. Kenyataan ini secara tradisional menciptakan ketegangan. Walaupun kaum Syiah merupakan 70% penduduk Bahrain, sejak 1971 negara itu diperintah oleh keluarga kerajaan Sunni, di bawah pimpinan Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa. Perbedaan inilah yang membuat tersulutnya aksi protes, papar pakar politik dan keamanan di Gulf Research Center di Dubai, Mustafa Alani. „Dari segi agama masyarakat Bahrain terbagi dua, kaum Syiah dan Sunni. Kebanyakan demonstrasi diorganisir warga Syiah. Menurut saya, pemerintah Bahrain akanmampu mengatasi aksi protes, karena setengah rakyat Bahrain yang merupakan kaum Sunni akan mendukung pemerintahannya.“

Namun ada beberapa pakar yang berbeda pendapat. Menurut mereka, kerusuhan di Bahrain tidak didasari motivasi keagamaan atau dikendalikan dari Iran seperti yang sering digambarkan oleh kalangan Sunni dan media Arab. Pakar Islam asal Jerman Sabine Damir-Geilsdorf misalnya memperingatkan, bahwa gelombang protes di Bahrain tidak terjadi langsung setelah peristiwa di Tunisia dan Mesir. Demonstrasi di Bahrain terjadi tepat pada tahun ke-10 setelah kerajaan Bahrain menjanjikan referendum reformasi demokrasi, yang hingga kini belum diwujudkan.

Menurut Sabine Damir-Geilsdorf, keputusasaan masyarakat Bahrain terkait korupsi dan tidak adanya perspektif ekonomi merupakan alasan utama gelombang aksi protes. Dan khususnya kaum Syiah yang merasakan dampaknya. „Diskriminasi yang dirasakan oleh warga mayoritas Syiah, yang dipimpin oleh sebuah keluarga Sunni, dapat ditemukan di mana-mana. Warga Syiah didiskriminasi. Lapangan kerja yang disediakan bagi mereka lebih sedikit dan mereka tidak mendapat kesempatan untuk berkarir. Mereka tidak dapat bekerja sebagai polisi dan militer. Infrastruktur di desa-desa Syiah juga lebih buruk daripada di kawasan penghunian Sunni. Hal ini dapat ditemukan di seluruh Bahrain.“

Sejak lama penduduk Syiah protes dengan dalih diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua. Ketegangan agama merupakan hasil degradasi yang dilakukan pemerintah, tutur pakar Islam Sabine Damir-Geilsdrof. „Sudah pasti diskriminasi politik seperti ini dapat menciptakan pertikaian antar agama. Yang dipertikaikan di sini terutama adalah pembagian kemakmuran secara tidak adil dan merata, yang menimbulkan konflik keagamaan.“

Sementara ini pemerintah Bahrain mencoba meredakan gelombang aksi protes dengan memberikan kelonggaran dan hadiah pada rakyatnya. Masyarakat miskin akan memperoleh bantuan dana senilai 3.000 dolar Amerika Serikat. Raja Bahrain juga mengumumkan akan melonggarkan pengawasan negara terhadap media. Namun hingga kini demonstrasi belum berhasil diredamkan.

Loay Mudhoon/Andriani Nangoy

Editor: Hendra Pasuhuk