1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

EKONID: Aturan Berbisnis di Indonesia Membingungkan Investor

Arti Ekawati
11 April 2019

Bagaimana investor Jerman melihat iklim berinvestasi di Indonesia? Apa tantangan dan harapan para investor terkait dengan iklim politik di Indonesia saat ini? Wawancara dengan Direktur Ekonid di Jakarta Jan Rönnfeld.

https://p.dw.com/p/3EcRY
Indonesien Jakarta - Geschäfts- und Sozialaktivitäten von Ekonid
Foto: Ekonid

Deutsche Welle mewawancarai Jan Rönnfeld, Direktur Pelaksana Ekonomi Indonesia Jerman – EKONID, yang berfungsi sebagai Kamar Dagang. Rönnfeld telah memimpin EKONID selama lebih dari sepuluh tahun lalu. Dia sendiri telah aktif mengikuti perkembangan dunia bisnis dan investasi di Indonesia sejak akhir 1980-an. Berikut wawancara Deutsche Welle dengan Jan Rönnfeld tentang apa saja yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.

Deutsche Welle: Bagaimana Anda melihat iklim untuk berbisnis dan berinvestasi di Indonesia?

Jan Rönnfeld: Saya rasa secara keseluruhan potensi ekonomi sangat lah baik. Indonesia adalah negara besar yang menawarkan banyak kesempatan bagi perusahaan Jerman maupun dari negara lain. Saya selalu katakan kepada para pengusaha dari Jerman, bahwa Indonesia adalah salah satu pasar strategis terbesar di dunia. Ada beberapa negara yang berada dalam tahap awal proses pengembangan industri dan Indonesia termasuk di dalam grup ini bersama Rusia, Cina, Brasil dan Afrika Selatan.

Ini berarti keputusan untuk berinvestasi harus berdasarkan rencana strategis jangka panjang. Jadi biasanya, situasi fluktuasi harian, naik turunnya pasar dan isu politik yang bersifat tahunan tidak begitu berpengaruh.

Indonesien Jakarta - Jan Roennfeld von Ekonid
Direktur Kamar Dagang Indonesia-Jerman EKONID di Jakarta, Jan RönnfeldFoto: Ekonid

Apa tantangan utama dalam berinvestasi di Indonesia?

Roennfeld: Berbisnis dan memasuki pasar Indonesia tidak lah mudah bagi para pemodal asing. Sebagai contoh, yang menjadi tantangan utama adalah masih banyaknya kesimpangsiuran dalam masalah hukum dan perundangan. Parlemen Indonesia tidak begitu banyak mengeluarkan undang-undang. Jadi kebanyakan peraturan dibuat di kementerian, tapi koordinasi antara kementrian dalam mengeluarkan regulasi juga tidak begitu baik. Seringnya malah bertentangan satu sama lain. Orang Jerman sangat terkenal dengan ini – dan ini adalah sifat orang Jerman, bahwa mereka perlu mengikuti peraturan sebagaimana yang tertera. Mereka butuh adanya kejelasan peraturan.

Apa yang bisa diperbaiki?

Roennfeld: Menurut saya, beberapa aspek telah mengalami kemajuan. Beberapa kementerian telah sangat maju, misalnya Kementrian Keuangan. Indeks Bank Dunia tentang kemudahan untuk berusaha di Indonesia juga mengalami kemajuan dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun secara umum masalah tentang simpang-siurnya peraturan masih tetap ada.

Indonesien Jakarta - Geschäfts- und Sozialaktivitäten von Ekonid
Acara workshop dan networking bisnis di Jakarta, Oktober 2018Foto: Ekonid

Meski banyak tantangan, sektor apa saja yang paling banyak mendapat penanaman modal dari Jerman di Indonesia? Bagaimana tren kedepannya?

Roennfeld: Beberapa tahun ke belakang, sektor infrastruktur mendapatkan banyak permodalan. Kini investasi, dalam artian berproduksi, lebih banyak di sektor farmasi dan kebanyakan di bidang industri kimia. Bahan mentah menjadi faktor penting dalam membuat keputusan berinvestasi. Kita bisa melihat beberapa perusahaan industri kimia terbesar beroperasi di sini. Ke depannya, kami melihat bidang energi terbarukan mendapat begitu banyak perhatian dari perusahaan-perusahaan Jerman dan beberapa pengembang proyek untuk bekerja di Indonesia. Mereka membawa pengetahuan di bidang pemrosesan dan teknologi.

Apa strategi untuk memperkuat kerjasama bisnis antara Indonesia dan Jerman?

Roennfeld: Menurut hemat saya, ada banyak perusahaan Jerman skala kecil dan menengah yang aktif di kancah internasional dan berminat untuk menanamkan modal di sini. Tetapi ini agak sulit dan mahal bagi mereka. Hal ini karena mahalnya modal awal untuk memulai bisnis di sini. Modal awal minimal untuk penanaman modal asing kira-kira antara US$ 500.000 hingga US$ 1,5 juta. Sebagai pembanding, di Singapura hanya butuh beberapa ratus dolar dan di London Anda bisa membuka perusahaan dengan modal satu dolar. Kebijakan mestinya diubah atau disesuaikan agar pengusaha asing lebih mudah masuk dan mengembangkan bisnis mereka di sini.

Tahun ini akan ada pemilu. Ada tren yang berkembang terkait nasionalisme, bagaimana ini mempengaruhi para pemodal dari Jerman?

Roennfeld: Tentu saja ini berpengaruh. Anda tidak akan merasa nyaman menginvestasikan uang Anda di pasar seperti itu. Kami telah melihat beberapa kali dalam sejarah, banyak negara yang memiliki kecenderungan untuk bersifat nasionalis dan berusaha serba memproduksi semuanya di dalam negeri. Itu tidak pernah berhasil. Semakin sukses negara di dalam tatanan industrialisasi seperti Jepang, Korea Selatan dan negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat, mereka pada umumnya adalah masyarakat yang terbuka. Dibutuhkan persaingan hingga level tertentu agar bisa inovatif dan mendapatkan harga yang lebih baik. Jika semuanya harus serba diproduksi secara lokal, pada akhirnya konsumen di Indonesia yang akan membayar harganya. Ini karena mereka tidak mendapatkan pelayanan atau barang dengan kualitas sebaik yang ditawarkan di pasar yang bersifat kompetitif.

Apa harapan Anda terhadap demokrasi di Indonesia dan kaitannya terhadap iklim berinvestasi?

Roennfeld: Saya mengamati Indonesia sejak tiga puluh tahun lamanya. Saya telah melihat jaman Orde Baru dan era transisi. Saya percaya bahwa demokrasi di Indonesia adalah sebuah pencapaian yang luar biasa dalam satu atau dua dekade belakangan ini. Itu adalah sesuatu yang cukup sering dilupakan dalam bisnis. Para pemimpin politik terpilih, dan jika mereka tidak melakukan tugasnya dengan baik mereka tidak terpilih kembali, itu hal wajar dalam demokrasi. Saya yakin bahwa kita akan maju. Harapan saya adalah, bahwa kita tidak akan mengarah ke nasionalisme dan proteksionisme, karena pada akhirnya rakyat biasa lah yang akan membayar akibatnya.

Wawancara DW dilakukan oleh Arti Ekawati dan telah diedit sesuai konteks.