1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Disapa “Ni Hao” di Jerman Karena Dikira Warga Tiongkok

Stephanie Tanus
23 Oktober 2020

Sebagai warga Indonesia berdarah tionghoa, saya di Jerman sering dikira warga tiongkok. Dikatai "Ni Hao" oleh orang asing bukanlah pengalaman baru. Apakah ini selalu merupakan bentuk diskriminasi? Oleh Stephanie Tanus.

https://p.dw.com/p/3kGfq
Stephanie Tanus
Stephanie Tanus di HannoverFoto: Privat

Sebagai warga Indonesia yang kebetulan berdarah Tionghoa dan dikaruniai mata yang lumayan sipit, dianggap sebagai warga negara Tiongkok bukan lagi sesuatu yang asing bagi saya. Selama hampir 5 tahun menempuh studi di Jerman, kebanyakan orang yang saya temui di sini selalu menduga bahwa saya datang dari negeri tirai bambu tersebut. Di posisi kedua adalah negara Jepang, diikuti dengan negara-negara Asia yang lebih ternama lain di Eropa seperti Korea Selatan, Vietnam dan Thailand. 

Stephanie Tanus
Stephanie TanusFoto: Privat

Saya tidak mempermasalahkan bahwa kebanyakan orang di Jerman tidak mengenal negara Indonesia, dan wajah saya sekilas memang terlihat seperti warga negara Tiongkok pada umumnya. Malahan tidak sedikit saya mengalami sebuah insiden di Jerman ketika pelajar Tiongkok menghampiri saya dan langsung bercakap-cakap dengan bahasa Mandarin. Dengan wajah malu-malu saya mengeluarkan frasa andalan saya yang sudah saya pelajari khusus untuk menangkis permasalahan macam ini: “Dui bu qi, wo bu hui shuo zhong wen. Wo cong yin du ni sia lai” (maaf, saya tidak bisa berbahasa mandarin. Saya datang dari Indonesia).

Kebanyakan peranakan Asia yang tumbuh besar di Jerman mungkin sudah muak dengan pertanyaan “Kamu datang dari mana?”. Untuk saya yang memang pendatang, pertanyaan tersebut adalah makanan sehari-hari yang setidaknya untuk saya bukanlah sebuah hinaan. Asalkan orang tersebut bertanya baik-baik dan memang terlihat memiliki rasa penasaran yang tinggi, saya selalu menjelaskan mengapa saya datang dari Indonesia, namun berwajah Tionghoa dan entah bagaimana memiliki nama depan Eropa, Stephanie. 

Ketika dikatai Ni Hao

Tapi lain halnya, ketika saya tengah berjalan dengan santai di tengah kota dan entah siapa tiba-tiba menyahuti saya dengan ucapan “Ni Hao.” Saya yakin hampir setiap orang Asia yang pergi ke luar dari benuanya pernah mendengar ucapan ini. Ada dua tipe kejadian ketika orang menyahuti saya dengan kata “Ni Hao”, yang merupakan ekuivalen dari kata “Halo” dalam bahasa Mandarin. 

Tipe pertama adalah yang paling saya benci dan jelas-jelas merupakan bentuk diskriminasi. Yang semacam ini saya alami ketika tengah berjalan-jalan dengan santai dan entah siapa meneriaki saya “Ni Hao” dan langsung melesat pergi begitu saja. Terlihat jelas bahwa orang-orang semacam ini tidak tertarik untuk menciptakan konversasi. Mereka meneriaki saya demikian karena tampilan fisik saya yang berbeda. Ketika hal ini terjadi saya hanya bisa berdiam diri, berusaha untuk memproses apa yang baru saja terjadi. 

Anjungan Cina di sebuah pameran di Jerman
Foto ilustrasi: Anjungan Cina di sebuah pameran di JermanFoto: AP

Tentu saja saya merasa marah. Diteriaki “Ni Hao” terasa seperti bentuk sumpah serapah, seakan-akan mereka berusaha untuk berkata bahwa saya tidak berasal dan tidak diterima di sini. Ingin rasanya saya bertanya kepada mereka apa yang melintas di benak mereka ketika mereka berkata demikian. Tentu saja tipe pertama ini saya temui dalam variasi frasa klasik lain seperti “Ching Chong” atau “Konnichiwa”. Saya pernah diteriaki “Ni Hao” oleh berbagai orang di Jerman, dari warga lokal Jerman sendiri, imigran dari Timur Tengah atau Turki, dan bahkan turis asing kulit putih yang berkunjung di Jerman.

Tipe kedua saya temui umumnya ketika tengah membeli Döner, sejenis makanan Turki. Beberapa kali sang penjual menyapa saya dengan kata “Ni Hao”. Di saat seperti ini saya tidak ingin langsung menilai bahwa sang pelaku bertindak rasis. Terkadang saya bisa melihat dari nada bicara dan ekspresi wajah bahwa mereka benar-benar bermaksud untuk menyapa saya. Berhubung percakapan pun bisa dilanjutkan, saya biasanya mengucapkan terima kasih namun kemudian mengoreksi bahwa saya tidak datang dari Tiongkok. Hal semacam ini masih bisa saya maklumi. Orang-orang yang termasuk tipe kedua adalah mereka-mereka yang mungkin berusaha untuk bertindak ramah namun salah sasaran. 

Tidak semuanya rasis

Belakangan ini tidak sedikit media yang mulai menyoroti kejengahan berbagai warga Asia ataupun keturunan Asia terhadap frasa “Ni Hao” ini. Di Jerman sendiri, sebuah proyek mahasiswa Indonesia di Berlin mengangkat masalah ini ke permukaan (https://www.scmp.com/lifestyle/arts-culture/article/3095735/no-one-stood-us-asians-europe-wake-truth-racism-and-are-no) Terlebih sejak pandemi COVID-19, insiden rasis terhadap warga negara Asia di berbagai negara dan yang saya alami secara pribadi juga semakin meningkat. 

Namun, sulit bagi saya untuk berkata bahwa semua yang berkata “Ni Hao” adalah seorang rasis. Terlepas dari rasisme, saya merasa ini adalah persoalan kesopanan. Semuanya sangat tergantung dengan konteks dan keadaan. Beberapa kali saya menemukan orang-orang yang berkata demikian dengan maksud baik dan berniat untuk memulai percakapan. Permasalahan dari keluguan mereka ini adalah pemikiran bahwa semua orang Asia berasal dari Tiongkok. Ketika bertemu dengan orang-orang seperti ini, saya menegur mereka dengan halus, berkata bahwa dugaan mereka salah. Sayangnya, saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengedukasi mereka bahwa frasa ini terhitung diskriminatif terhadap kaum Asia berserta alasannya. 

Alih-alih omelan dan label rasis, orang-orang ini butuh edukasi dan penjelasan yang tepat untuk tidak mengulangi perbuatan mereka. Sedang untuk mereka yang dengan lancang berkata “Ni Hao” dan melenggang begitu saja sambil tertawa-tawa, mereka-mereka yang jelas rasis ini harus mendapatkan teguran keras alih-alih hanya dibiarkan begitu saja. Sayangnya, saya pun tahu kebanyakan dari kita biasanya terdiam dan kaget ketika mendapat perlakuan ini dan tidak bisa langsung bereaksi.

Perasaan yang masih gamang

Di tulisan ini saya telah berkata bahwa saya bisa membedakan motivasi orang ketika berkata “Ni Hao” dan membagi mereka ke dua tipe yang berbeda. Meski demikian, kadang saya pun menemukan sebuah situasi yang sulit.

Satu kejadian yang sampai sekarang tidak bisa saya kategorikan adalah ketika saya tengah berjalan melewati sekolah di Jerman dan seorang anak kecil, jelas lebih muda dari 10 tahun, menyahuti saya dengan kata “Ni Hao”: Hal ini sampai sekarang masih membuat saya tertegun. Apa sang anak meniru tindakan tersebut dari orang yang lebih tua? Atau apakah dia baru saja belajar sedikit tentang bahasa Mandarin dan multikulturalisme, dan dengan lugunya menyampaikan kata-kata tersebut ke orang berparas Asia yang dia temui? Semakin merenungkan hal ini saya semakin merasa bingung. 

Saya merasa kasus ini tidak se-hitam putih yang semua orang katakan. Bagi saya, tidak semua orang yang berkata “Ni Hao” adalah seorang rasis. Mereka adalah orang yang mungkin kekurangan edukasi dan saya pun berharap semakin banyak orang akan belajar bahwa wajah Asia tidak sama dengan Tiongkok. Meski demikian, saya pun berharap orang-orang akan berhenti memberikan perlakuan ini terhadap saya.

*Stephanie Tanus adalah seorang mahasiswi jurusan sosial politik di TU Braunschweig. Sedari dulu bercita-cita menjadi penulis roman kondang dan sekarang sedang singgah sesaat di dunia jurnalisme. 

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)