1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Stop Diskriminasi

Ayu Purwaningsih21 Maret 2016

Apakah dalam kehidupan sehari-hari sikap diskriminasi masih Anda temui? Dalam peringatan hari penghapusan diskriminasi rasial kali ini, kami menghimpun berbagai opini mengenai isu diskriminasi di tanah air.

https://p.dw.com/p/1IEdx
Foto: Imago

Di Sharpeville, Afrika Selatan, pada tanggal 21 Maret 1960 terjadi kerusuhan antara polisi dan demonstran. Para demonstran memprotes kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan rasis. Puluhan orang tewas dalam peristiwa itu, sementara puluhan lainnya mengalami luka-luka. Untuk memperingati tragedi Sharpeville, pada tahun 1966, Dewan Keamanan PBB menyatakan tanggal 21 Maret sebagai Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia.

Praktik diskriminasi merupakan fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, meski merupakan negara hukum (rechtstaat). Namun demikian, hingga kini praktik diskriminasi masih merajalela. Dalam kolom opini #DWNesia analis HAM, Amiruddin al Rahab mengulas berbagai macam model praktik diskriminasi yang masih berlangsung hingga kini di tanah air, baik diskriminasi rasial, maupun diskriminasi lainnya.

Jika ditelisik ke belakang, diskriminasi sudah belangsung sejak Indonesia belum merdeka. Belanda, pada tahun 1849, memperkenalkan kebijakan segregasi hukum perdata, ‚Indische Staatregeling‘ yang diterapkan mulai tahun 1926. Kebjiakan ini mengatur pembagian golongan di hadapan hukum, dengan memisahkan antara Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan Golongan Bumi Putra atau pribumi.

Di zaman kemerdekaan hingga Orde baru, berlaku kewajiban kepemilikan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau biasa disingkat SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa. Kepemilikan SBKRI adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai keperluan, seperti kartu tanda penduduk (KPT), paspor, dan lain-lain.

Menjelang berakhirnya era Orde Baru, kembali terjadi kasus diskriminasi rasial yang menonjol, yakni kerusuhan Mei 1998, dimana aksi-aksi kekerasan terjadi di berbagai kota besar di Indonesia , dan terutama memakan korban para warga keturunan Tionghoa. Setelah Orde baru berakhir, kekerasan berbasis diskriminasi berlanjut di beberapa wilayah di Indonesia, seperti misalnya di Sampit, pada tahun 2001.

Kini isu diskriminasi masih dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya dalam masa pemilihan kepala daerah. Di media sosial mudah ditemui komentar-komentar yang berupaya menjatuhkan pihak lain, lewat isu rasial. Pro dan kontra mengenainya pun membanjiri jejaring sosial internet.

Dalam rubrik #DWnesia dengan topik Peringatan Hari Penghapusan Diskriminasi, penulis Yusi Avianto Pareanom, dengan gamblang mengritisi betapa memprihatinkannya sikap diskriminasi yang mendarah daging di masyarakat. Sementara antropolog Sumanto Al Qurtuby mengecam sentimen-sentimen primordial dan etnisitas yang dimanfaatkan berbagai golongan dan individu hanya demi mencapai kepentingan politik-ekonomi pragmatis.

Bagaimana opini Anda mengenai masalah diskriminasi, khususnya diskriminasi rasial di tanah air? Bagi pendapatmu di facebook dw_indonesia dan ikuti diskusinya di akun twitter @dw_indonesia. jangan lupa cantumkan tagar #DWNesia dalam diskusi ini. Salam.