1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dokumen Amerika dan Pentingnya Rekonsiliasi Formal

30 Oktober 2017

Perlu waktu 52 tahun, untuk ungkap yang sebenarnya terjadi pada 1965. Akhirnya Amerika mau juga membuka dokumen tentang peristiwa pembantaian di Indonesia terkait Gerakan 30 September (G30S). Opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/2mhjm
Indonesien Suhartos Weg zur Macht (Bildergalerie)
Foto: Getty Images/C. Goldstein

Seperti diketahui, ada tiga lembaga Amerika Serikat yang membuka dokumen terkait Indonesia di era 1964 sampai 1968. Ketiga lembaga itu adalah, National Security Archive, National Declassication Center, dan National Archive and Records Administration.

Secara umum dokumen setebal 30.000 halaman itu mengungkapkan ketegangan antara TNI dengan PKI dan pembantaian banya orang menyusul peristiwa G30S. Kesimpulannya mengejutkan: TNI Angkatan Darat yang melakukan kudeta terhadap rezim Soekarno, dan simpatisan PKI yang dibunuh bahkan tidak tahu sama sekali tentang G30S itu.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Keraguan Indonesia

Namun, Indonesia sendiri seperti ragu—jika tidak bisa dikatakan gamang—dengan kebenaran dokumen itu. Kementerian Luar Negeri malah menyatakan akan memeriksa ulang kebenaran fakta yang diungkap di dokumen itu. Reaksi pemerintah Indonesia yang ditunjukkan kepada publik juga seperti acuh tak acuh. Panglima TNI mengatakan tidak bisa memberi komentar. Begitu pula Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional, juga menyatakan pihaknya tidak bisa berkomentar apakah isi dokumen itu benar atau tidak.

Yang diributkan belakangan ini malah tidak diterimanya visa Panglima TNI yang akan berkunjung ke Amerika Serikat. Isu dokumen itu langsung tenggelam dalam peredaran.

Sebagian orang malah mempertanyakan maksud Amerika Serikat membuka dokumen itu, setelah lebih dari lima puluh dua tahun menutup rapat dokumen tersebut. Ada yang mencurigai Amerika Serikat memiliki agenda lain dengan mengungkapkan dokumen itu sekarang.

Tetapi bagi saya, dan mungkin juga banyak orang lain, pengungkapan fakta itu memiliki arti penting. Karena setidaknya kita sekarang punya acuan dokumen resmi tentang pembantaian ratusan ribu orang yang dituding sebagai anggota atai simpatisan PKI.

Bukan hal baru

Fakta yang diungkapkan di dokumen itu, bagi saya, bukan hal baru. Berbagai institusi independen dan juga individu di Indonesia sudah sejak bertahun-tahun lalu mengungkap secara detail apa yang terjadi menyusul peristiwa G30S di tahun 1965, terutama dari sisi korban. Banyak sekali kesaksian tentang orang-orang yang dibunuh dengan keji, dan perempuan-perempuan yang diperkosa karena dituding sebagai anggota PKI. Misalnya yang diungkapkan dalam buku sejarah lisan "Tahun yang Tak Pernah Berakhir” (2004).

Fakta serupa juga sudah diungkap dalam dua film karya Joshua Oppenheimer "Jagal” dan  "Senyap”. Di dua film itu Joshua mengungkap fakta dari kacamatan pelaku (di dalam "Jagal”) dan fakta dari kacamata korban (di dalam "Senyap”).

Seperti juga ketika dua film itu diputar di banyak tempat di Indonesia, banyak orang yang mempertanyakan apa tujuan dari film-film tersebut. Bahkan pemutaran dua film itu sempat pula dicegah oleh aparat Polri dan TNI.

Rupanya Indonesia masih belum siap untuk menerima sejarah kelam mereka sendiri. Sebagian orang Indonesia berpikir, lebih baik peristiwa keji itu dilupakan daripada diungkit terus menerus. Sikap itu menurut saya berbahaya, karena melupakan sebuah tragedi sama dengan membuka peluang terjadinya tragedi serupa di masa depan.

Indonesia harus mulai berpikir untuk melakukan rekonsiliasi secara formal antara para korban (dan keluarganya), para pelaku (dan keluarganya), dan juga melibatkan orang-orang yang tidak terlibat, misalnya generasi yang tidak mengalami peristiwa 1965-1966, agar peristiwa itu jadi pelajaran untuk tidak diulang lagi.

Indonesia jauh tertinggal dengan Afrika Selatan, misalnya, yang melakukan rekonsiliasi tak lama setelah sistem apartheid dihapuskan: pengadilan digelar, korban dan para pelaku diminta datang dan sama-sama membuat pengakuan, setelah itu saling memaafkan dan memulai hidup baru tanpa beban berat sejarah yang kelam yang hanya disimpan di dalam hati.

Rekonsiliasi telah terjadi

Secara informal, rekonsiliasi telah terjadi di tengah sebagian masyarakat Indonesia. Namun itu belum cukup, karena rekonsiliasi informal hanya berguna bagi korban dan pelaku saja, tanpa ada kesaksian dari pihak yang tidak terlibat, dan terutama tidak ada kesaksian negara. Di satu sisi, mungkin itu bagus, karena setidaknya perdamaian telah terjadi antara pelaku dan korban. Tetapi secara kebangsaan, hal itu belum cukup. Karena seperti saya tegaskan di atas, generasi muda dan orang yang tidak terlibat tidak bisa mengambil pelajaran dari rekonsiliasi informal itu.

Selain itu, Indonesia sebagai negara tampaknya tidak memandang penting rekonsiliasi formal itu—atau mungkin terlalu takut. Akibat langsungnya adalah pembodohan, karena sejarah ditarik-tarik menjadi kepentingan politis. Sejarah terus didominasi oleh kepentingan institusi-institusi negara, misalnya TNI.

Contohnya, saya pernah menjadi editor di sebuah koran lokal di Jawa Barat. Suatu hari saya menerbitkan tulisan seorang penulis yang memaparkan sastra kaum kiri Indonesia sebelum tahun 1965. Tulisan itu rupanya membuat gerah TNI dan saya didatangi dua intelijen tentara ke kantor redaksi saya. Mereka menyatakan keberatan dengan tulisan itu. Saya ingat sekali mereka mengatakan kepada saya, "Tulisan yang Anda terbitkan itu adalah tulisan yang tabu!”

Itu contoh bagaimana negara dan institusi pertahanan masih alergi dan ketakutan dengan pengungkapan kebenaran. Dan itu adalah salah satu hasil dari tidak pernah adanya rekonsiliasi formal. Sejarah masih digenggam pihak yang menang.

Apakah Indonesia akan terus bersikap diam seperti ini dengan munculnya dokumen-dokumen itu? Kita periksa jawabannya di masa mendatang.

Penulis:

Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis. Laporannya tentang Sungai Citarum terbit di dalam buku kumpulan reportasenya Komedi Sepahit Kopi (2010) dan di majalah National Geographic Indonesia edisi April 2014

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis