1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan PengadilanAmerika Utara

Donald Trump Resmi Gugat Facebook, Twitter, dan Google

8 Juli 2021

Mantan Presiden AS Donald Trump mengklaim perusahaan telah secara tidak adil menyensor dirinya dan kaum konservatif lainnya. Sebuah asosiasi perdagangan industri teknologi menyebut gugatan Trump "sembrono."

https://p.dw.com/p/3wC16
Donald Trump saat berpidato di Bedminster, New Jersey, Rabu (07/07)
Donald Trump saat berpidato di Bedminster, New Jersey, Rabu (07/07)Foto: Seth Wenig/AP Photo/picture alliance

Tampil di hadapan publik di Bedminster, New Jersey, pada Rabu (07/07), Mantan Presiden AS Donald Trump mengumumkan, ia telah mengajukan gugatan terhadap Facebook, Twitter, Google beserta CEO mereka, karena telah secara tidak adil melanggar hak Amandemen Pertama untuk kebebasan berbicara sebagaimana dilindungi oleh konstitusi AS.

"Hari ini, bersama dengan America First Policy Institute, saya mengajukan sebagai perwakilan kelas utama, gugatan class action besar terhadap raksasa teknologi besar termasuk Facebook, Google dan Twitter serta CEO mereka, Mark Zuckerberg, Sundar Pichai, dan Jack Dorsey, tiga pria yang sangat baik," katanya.

Trump mengklaim perusahaan-perusahaan tersebut telah menjadi "penegak sensor ilegal, inkonstitusional."

"Kami akan mencapai kemenangan bersejarah bagi kebebasan Amerika dan pada saat yang sama, kebebasan berbicara," ujar Trump.

Trump ingin corong suaranya kembali

Gugatan yang diajukan di Pengadilan Distrik Federal AS di Miami, Florida, meminta agar Bagian 230 dari Undang-Undang Kepatutan Komunikasi 1996 dibatalkan. Undang-undang tersebut memberikan perlindungan bagi situs internet dan media sosial terkait konten yang diposting oleh pengguna.

Saat menjabat sebagai presiden, Trump dan sekutunya dari Partai Republik berusaha untuk membatalkan Bagian 230, mengklaim bahwa perusahaan telah menyalahgunakan perlindungan yang diberikan untuk membungkam suara-suara konservatif.

Trump diblokir dari Facebook dan Twitter setelah pendukungnya menyerbu Gedung Capitol pada 6 Januari lalu. Langkah itu diambil Facebook dan Twitter karena khawatir Trump akan menghasut kekerasan lebih lanjut setelah terus menggunakan akun media sosialnya untuk menyebarkan berita palsu tentang pemilihan presiden AS 2020.

Meskipun Trump dengan ngotot mempertahankan klaim bahwa dia benar-benar memenangkan pilpres - klaim yang dianggap tidak berdasar oleh pengadilan, Departemen Kehakiman AS dan pejabat pemilihan negara bagian - jangkauannya telah dibatasi secara luas sebagai akibat dari pemblokiran tersebut.

Gugatan terbaru Trump ini didasarkan pada kekeliruan pemahaman bahwa perusahaan swasta terikat pada persyaratan Amandemen Pertama yang sama dengan pemerintah AS, padahal swasta tidak terikat pada aturan itu.

Dengan mengambil langkah class action untuk gugatan tersebut, Trump akan mewakili kepentingan pengguna Twitter, Facebook, dan YouTube yang mengklaim bahwa mereka juga telah disensor secara tidak adil.

Trump dalam gugatannya meminta pengadilan untuk memberikan ganti rugi, menyatakan Bagian 230 dari Undang-Undang Kepatutan Komunikasi tidak konstitusional, dan memulihkan akun miliknya dan penggugat lainnya.

Hingga berita ini diturunkan belum ada komentar resmi dari pihak Facebook, Twitter, ataupun Google.

Persyaratan layanan berlaku untuk semua, bahkan presiden

Matt Schruers, presiden Asosiasi Industri Komputer dan Komunikasi (CCIA), yang juga mencakup ketiga perusahaan yang disebutkan dalam gugatan itu, mengatakan perusahaan internet memiliki hak untuk menegakkan persyaratan layanan mereka.

"Litigasi class action yang sembrono tidak akan mengubah fakta bahwa pengguna - bahkan presiden AS - harus mematuhi aturan yang mereka setujui," kata Schruers dikutip dari kantor berita AP.

rap/a (AFP, AP)