1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan Pengadilan

Putusan MK Ihwal LGBT Ditanggapi Dingin Oleh Pegiat HAM

14 Desember 2017

Mahkamah Konstitusi menolak kriminalisasi LGBT dan hubungan di luar nikah. Namun perbedaan sikap majelis hakim mengindikasikan betapa nasib kelompok minoritas seksual di Indonesia semakin terancam.

https://p.dw.com/p/2pMN2
Anti -LGBT Banner Indonesien
Foto: picture-alliance/AP Photo/T.Syuflana

Tidak ada keriuhan saat pegiat HAM merayakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak memperluas pasal perzinahan di KUHP untuk mengkriminalisasi LGBT. Kepada Financial Times, Peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono misalnya menilai putusan MK "tidak banyak mengubah situasi," kaum minoritas seksual.

Meski menghargai sikap MK yang telah "menjaga hak atas privasi warga negaranya," Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menyayangkan adanya "dissenting opinion" alias perbedaan pendapat yang diwakili oleh empat dari sembilan hakim MK. "Pertimbangan dalam dissenting opinion tersebut tidaklah  tepat dan bijak karena menyebutkan niat untuk mengkriminalisasi komunitas LGBT atas nama moralitas agama yang sangatlah subyektif dan multitafsir."

Dalam putusan yang dibacakan Kamis (14/12), Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal KUHP yang dipermasalahkan tidak bertentangan dengan konsitusi. Adalah kelompok anti-LGBT, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) yang mengajukan Uji Materi terhadap pasal 284 KUHP tentang perzinahan, pasal 285 tentang perkosaan dan pasal 292 tentang pencabulan anak.

Dalam proses persidangan, Ketua MK Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adam dan Aswanto mendukung kriminalisasi perilaku seksual kaum Gay dan Lesbian. Arief mengatakan Pasal 284 KUHP "bertentangan dengan konsep persetubuhan terlarang menurut nilai agama."

Pendapatnya itulah yang ditanggapi secara kritis oleh LBH Masyarakat karena dianggap "menciptakan narasi punitif bagi minoritas seksual." Dikhawatirkan, padangan hukum ke-empat hakim itu bisa dijadikan landasan oleh ormas radikal untuk melakukan presekusi terhadap kelompok LGBT.

Namun demikian putusan tersebut juga dinilai mengindikasikan perubahan yang moderat pada wajah hukum Indonesia. Sikap lunak MK terhadap kaum LGBT sendiri mulai muncul sejak hakim konservatif Patrialis Akbar diganti oleh Saldi Isra lantaran terjerat kasus korupsi. Bersama Arief Hidayat, Patrialis termasuk praktisi hukum yang paling getol membatasi hak kaum LGBT.

Sebaliknya Saldi, bersama Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M. Sitompul, dan Suhartoyo menolak gugatan AILA.

"Pada akhir masa jabatannya di 2019, Presiden Joko Widodo akan memilih semua hakim Mahkamah Konstitusi," kata Aaron Connelly, Peneliti Lowy Institute di Sydney, kepada Financial Times. "Dia mempunyai kesempatan mendorong yurisprudensi Indonesia ke arah yang lebih toleran."

rzn/hp (FT, Kompas, BBC Indonesia, HRW)