1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menjaga Toleransi, Menangkal Aksi Kekerasan dan Teror

8 Agustus 2016

Toleransi hidup bersama dalam masyarakat majemuk di Indonesia terus diuji. Kekerasan di tanjung balai, Sumatera Utara mendulang keprihatinan banyak pihak.

https://p.dw.com/p/1JdMF
Brieftauben starten zum Weltfriedenstag
Foto: picture-alliance/dpa

Salam #DWNesia

Insiden Tanjung Balai, Sumatera Utara akhir Juli lalu, mengundang keprihatinan berbagai pihak. Tak kurang berbagai kelompok agama, hak asasi dan parlemen menyayangkan terjadinya insiden itu. Penyerangan dan perusakan vihara dan klenteng terjadi menyusul permohonan seorang warga etnis Cina agar pihak masjid merendahkan volume pengeras suara di sebuah masjid di Tanjung Balai.

Dalam #DWNesia kali ini, peneliti dan dosen antropologi budaya di sebuah universitas Arab Saudi, Sumanto al Qurtuby menyentil berbagai pihak lain yang juga kerap mengatasnamakan agama dalam melakukan serangan atau aksi anarkis. Sumanto menyampaikan perspektifnya mengenai bagaimana seharusnya kerukunan hidup dijalin dalam masyarakat majemuk. Simak opininya yang berjudul: Membela Agama atau Tafsir Agama?

Sementara, kandidat doktor di Freie Universität Berlin, yang juga merupakan Ketua Tanfidz Nahdlatul Ulama di Jerman, Zacky Khairul Umam mengingatkan, negara maritim kita dibangun di atas susunan kemajemukan ras, sosial, agama, dan berbagai latar belakang. Belajar dari pengalaman masa silam, sebuah imperium tumbuh berkembang selama berabad-abad jika ia mampu mengelola potensi kemajemukan ini, bukan malah memanunggalkannya secara merata.

Penganut Muslim, yang merupakan penduduk mayoritas, seharusnya mampu untuk menjaga harmonisasi atas kemajemukan tersebut. Simak perspektifnya yang berjudul: Mendefinisikan Kembali Ruang “Arsipelago Islam”.

Berbicara soal kekerasan, tidak lepas dari aksi teror yang juga kerap melanda Indonesia. Menurut pengamat masalah Islam, M.Guntur Romli, selama radikalisme tumbuh subur, maka terorisme akan cepat berkembang-biak dengan cepat. Tewasnya buronan nomor satu untuk kasus terorisme, Santoso, tidak serta merta menghapus kemungkinan munculnya Santoso-santoso baru. Menurutnya, tidak adanya politik kebangsaan dan minimnya kebijakan pemerintah yang mempunyai visi dan misi yang tegas yang memerangi radikalisme hanya akan mengabadikan lingkaran kekerasan akibat terorisme ini: “mati satu, tumbuh seribu”. Selengkapnya simak opini M.Guntur Romli dalam: Lahirnya Santoso-santoso Baru.

Anda setuju dengan opini para penulis? Selamat berdiskusi, Sahabat DW…

Kami tunggu opini Anda di Facebook DW_Indonesia dan twitter @dw_indonesia.

Seperti biasa, sertakan tagar #DWNesia dalam mengajukan pendapatmu.

Salam #DWNesia