1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

E-voting Jadi Solusi Pemilu?

7 Mei 2019

Proses Pemilu 2019 di Indonesia dinilai yang paling rumit di dunia. Lebih dari 400 petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan. Gagasan penerapan e-voting untuk pemilu di masa mendatang pun mengemuka.

https://p.dw.com/p/3I3l1
Indonesien Makassar - TPS Wahl
Foto: DW/N. Amir

17 April 2019 untuk pertama kalinya pemilu serentak dilaksanakan di Indonesia. Masyarakat mengunakan hak pilihnya untuk menentukan lima calon pemimpinnya sekaligus dari presiden, DPR, DPRD Tigkat Provinsi, DPRD Tingkat Kabupaten/ Kota, dan DPD. Saat ini KPU RI tengah melaksanakan proses penghitungan. Banyak evaluasi dari penyelenggaraan pemilu serentak tahun ini. Salah satunya yakni banyaknya korban jiwa yang berjatuhan. Tercatat hingga Sabtu malam (04/05), sebanyak440 petugas KPPS meninggal dunia. Banyak pihak menyayangkan hal ini terjadi dan menuntut masalah ini harus segera diatasi.

Direktur Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, Titi Anggraini bahkan menyebutkan pemilu kali ini merupakan yang paling rumit di dunia. "Jadi saya kira itu yang bisa menjadi gambaran dampak dari pemilu serentak terbesar satu hari di dunia dan the most complexed election system in the world, yang membuat tenaga terkuras, pikiran terkuras,” ujar Titi saat diwawancarai DW Indonesia.

Ketua DPR Bambang Soesatyo, bahkan mengusulkan agar Pemilu mendatang untuk menggunakan teknologi terbaru yakni sistem e-voting. Ia menilai proses pemilu kali ini sangat menyita waktu dan tergolong primitif karena pemilih masih mengunakan paku sebagai alat coblos, dimana saat ini semua kegiatan sudah serba digital.

"Bukan hanya sekadar e-counting atau e-rekap sebagaimana yang diusulkan KPU. Tapi perubahan secara menyeluruh, yaitu dengan menerapkan sistem e-voting yang bisa dimulai uji cobanya  pada pilkada serentak mendatang karena dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya hingga triliunan rupiah,” ujar Bamsoet melalui pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia.

Ia meyakini dengan penerapan e-voting, pelaksanaan pemilu akan jauh lebih efisien. Tidak diperlukan lagi panitia penyelenggara, pengawas, saksi maupun pihak keamanan dalam jumlah besar. Termasuk tidak diperlukannya lagi pengadaan bilik suara, kotak suara, surat suara, dan tinta.

Indonesia belum siap?

Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Arief Budiman, berpendapat gagasan agar pemilu di Indonesia menggunakan system e-voting masih sulit dilakukan dalam skala nasional. Menurutnya sistem e-voting memerlukan infrastruktur yang baik.

Masalah biaya juga menjadi perhatiannya. Menurutnya mesin e-voting masih relatif mahal dan harus mempersiapkan banyak mesin cadangan jika mesin utaman mengalami kendala.

"Padahal jika data satu TPS saja tak masuk ke dalam rekapituasi nasional, KPU tak bisa memutuskan siapa pemenang Pemilu," jelas Arief dilansir dari Detik.

KPU diketahui harus melayani pemilih berjumlah 192.828.520 orang yang tersebar di 514 Kabupaten/ Kota, 7.201 Kecamatan, dan 83.405 Kelurahan/ Desa. Jumlah TPS yang disediakan yakni mencapai 809.500 TPS. Belum lagi pemilih yang tinggal di luar negeri yang tercatat ada 2.058.191 orang.

Arief mengungkapkan, dari pengamatannya berkunjung ke sejumlah negara maju justru mulai meninggalkan sistem e-voting. Hanya saja saat proses penghitungan mereka menggunakan e-counting. Hal inilah yang kini dilakukan oleh KPU dengan model SITUNG (Sistem Informasi Penghitungan Suara). Namun ia menyatakan system e-voting bisa dimulai secara bertahap. "Kita bisa mulai dari pilkada kabupaten/kota dahulu sambil menguji dan mengevaluasi apa plus-minusnya," imbuh Arief.

Salah kaprah mengenai E-voting

Menanggapi KPU, Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik BPPT, Andrari Grahitandaru, menyatakan selama ini KPU beserta banyak elit salah menanggapi sistem e-voting di Indonesia. Andrari menjelaskan bahwa sistem e-voting di Indonesia berbeda dengan sistem di 26 negara lain. Negara lain, saat pemungutan suara semua alatnya terhubung secara online sehingga rawan untuk diretas. Namun di Indonesia perangkat e-voting dalam keadaan offline alias tidak terhubung dengan jaringan apa pun.

"Padahal e-voting yang dirancang oleh BPPT ketika proses pemungutan suara dari sejak TPS buka jam tujuh sampai TPS tutup itu perangkat tidak terhubung ke jaringan apapun. Karena kami paham pemungutan suara itu adalah rahasia dan tidak boleh diganggu oleh siapapun jadi itu steril tidak terhubung ke jaringan apapun. Tidak seperti 26 negara yang menggunakan e-voting itu semuanya online, jadi kita belajar dari mereka tentang e-voting itu konotasinya sudah hacker disana,” jelas Andrari saat diwawancarai DW Indonesia.

Sejak diterapkan tahun 2013, penerapan e-voting di Indonesia baru sampai tahap pemilihan kepala desa. Andrari mengklaim penggunaan e-voting sukses dilaksanakan untuk pemilihan kepala desa pada 18 kabupaten di 981 desa. Andrari menjelaskan putusan MK telah menyetujui penerapan e-voting dalam pemilian kepala daerah, namun dalam eksekusinya KPU sebagai penyelenggara harus memasukkan ketentuan tersebut terlebih dahulu dalam peraturan KPU. Hal inilah yang belum dilakukan KPU, sehingga penerapan e-voting belum bisa dilakukan.

Dalam mekanismenya Andrari menegaskan Penerapan e-voting sangatlah efisien karena bisa menghemat waktu dan tenaga. Rekapitulasi suara tiap TPS sudah dilakukan secara digital. Sehingga form C1 hanya perlu dicetak setelah diaudit terlebih dahulu, kemudian difoto dan di-upload lalu dikirim ke tingkat berikutnya. Struk audit akan muncul dalam versi fisik dan digital yang diyakini keabsahannya dan menjadi bukti hukum yang kuat.

"Ketika dengan e-voting C1-nya kan dicetak sebanyak berapapun silahkan itu dicetak di printer yang sama dengan struk audit. Ketika seorang milih pilihannya begitu ya konfirmasi kan kecetak struknya dan langsung dimasukkan ke kotak audit. Mencetak C1 juga dari printer yang sama ketika TPS selesai. Dicetak berapapun terserah silahkan. Itulah yang setelah ditandatangni saksi itu difoto langsung upload,” jelas Andrari.

Ia juga tidak khawatir dengan kemampuan perangkat e-voting di lokasi pemilihan terpecil. Alat ini diklaim bisa digunakan dengan genset bahkan accu mobil. Untuk jaringan internet hanya diperlukan saat proses pengiriman. "Ketika  beberapa desa tidak ada internet tidak apa-apa, perangkatnya dikirim dulu ke kecamatan baru di kecamatan dibuka kembali langsung dikirim dari kecamatan. Yang penting ngirim-nya itu tidak ada keterlibatan manusia tapi langsung dari mesin,” Andrari meyakini.

Menerapkan system e-voting dinilai akan menghemat anggaran. Satu perangkat E-voting dibanderol seharga 50 juta rupiah. Dalam penggunaannya alat ini juga bisa dipakai berkali-kali sehingga diyakini akan jauh lebih murah dibandingkan jika harus mencetak surat suara setiap pemilu berlangsung.

Andrari berharap agar pemerintah, DPR, beserta KPU menyetujui penggunaan e-voting dalam pelaksanaan pemilihan umum di waktu-waktu mendatang. Ditambah dengan adanya dukungan industri nasional, Andrari yakin sistem ini menjadi solusi tepat dalam mengatasi rumitnya sistem pemilu di Indonesia.

"Penduduk India hampir satu miliar kan tetapi pemilu elektroniknya itu berkelanjutan dan baik, kenapa? Perangkatnya diperbaiki secara fungsional, untuk masyarakatnya sih tetap, tetapi fungsinya lebih aman,” Andrari membandingkan sekaligus mengakhiri wawancara dengan DW Indonesia.

rap/yp (berbagai sumber)