1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Edukasi Kunci Lawan Stigma Negatif Corona di Indonesia

Rizki Akbar Putra
10 Juni 2020

Sosiolog sebut masyarakat Indonesia masih anggap penyakit Covid-19 sebagai aib. Untuk itu diperlukan sosialisasi terus menerus dan peraturan yang konsisten, untuk tingkatkan pemahaman masyarakat akan virus corona.

https://p.dw.com/p/3dYK9
Indonesien rapid test Jakarta
Foto: picture-alliance/Photoshot/V. Sanovri

Beberapa waktu lalu peristiwa penolakan warga di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, terkait dilaksanakannya rapid test (program tes cepat) Covid-19 menjadi pembicaraan hangat. Belakangan aksi penolakan ini diketahui terjadi karena masyarakat khawatir positif Covid-19 dan tidak percaya hasil tes cepat.

Beredar pula berita yang menyebut tim medis berpakaian APD lengkap akan masuk ke perkampungan warga dan melakukan rapid test dari pintu ke pintu secara paksa. Bahkan, tersebar juga berita bahwa program rapid test tersebut sebagai lahan bisnis. Dilaporkan terdapat portal-portal penutup jalan lengkap dengan spanduk berisi pesan penolakan di beberapa wilayah di Kota Makassar.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar Naisyah Azikin, pun turut membantah kabar tersebut. “Tidak ada yang dibeli. Di mana bisnisnya? Tenaga kesehatan kita yang turun melakukan rapid juga tidak ada yang dibayar sama sekali, karena sudah tupoksi mereka sebagai petugas laboratorium yang ada di puskesmas,” jelas Naisyah dikutip dari detikcom, Selasa (09/06).

Tingkat edukasi rendah dan stigma negatif 

Selain itu, penolakan terhadap rapid test juga ditimbulkan oleh kekhawatiran masyarakat jika mereka mendapati hasil reaktif. Mereka takut nantinya akan dirujuk ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan dinyatakan positif Covid-19.

Sosiolog Universitas Indonesia, Rosa Diniari, mengungkapkan fenomena tersebut terjadi karena tingkat edukasi masyarakat yang masih rendah. Menurutnya, masyarakat belum mampu memahami pentingnya pemeriksaan rapid test. Ini juga didorong kondisi psikologis, rasa takut jika nantinya mereka terbukti terjangkit virus corona. Pasalnya, stigma negatif masih erat melekat di masyarakat, di mana penyakit virus corona dianggap sebagai aib. Rosa pun menilai hal ini perlu diluruskan.

“Perlu memang sosialisi pada masyarakat pada umumnya untuk pencegahan penyakit corona. Salah satunya rapid test, lebih baik. Ditimbang penyakit diketahui saat sudah pada tahap yang sulit disembuhkan,” jelas Rosa saat dihubungi DW Indonesia, Rabu (10/06) pagi.

Inkonsistensi kebijakan

Lebih lanjut Rosa menjelaskan, tidak konsistennya kebijakan yang ada menyebabkan berkembangnya persepsi di masyarakat bahwa kondisi pandemi COVID-19 di tanah air saat ini relatif aman. “Pertama, dari sudut pandang pembuat kebijakan pun berganti-ganti. Misal kebijakan yang dikeluarkan, peraturan-peraturan itu tdak konsisten. Kemudian dari sudut pandang masyarakatnya sendiri, mereka juga bingung. Mereka santai saja enggak peduli,” terang Rosa.

Tak hanya penolakan rapid test, masih di Makassar, ratusan orang juga dilaporkan mengambil secara paksa jenazah pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 di RS Stella Maris. Pengambilan paksa jenazah juga terjadi di RSUD Dr. Soetemo, Surabaya, Jawa Timur. Laiknya penolakan rapid test, pegambilan paksa jenazah juga dipicu karena masyarakat termakan berita bohong yang menyebut proses pemakaman jenazah Covid-19 dikebumikan secara tidak layak.

“Malu apabila keluarganya dimakamkan tidak di pemakaman seperti biasanya, yakni di pemakaman khusus…pemakaman khusus itu dianggap merepotkan atau tidak lazim bagi masyarakat yang masih memegang tradisi ziarah kubur,” ungkap Rosa.

Rosa pun mengimbau masyarakat untuk dapat menyaring informasi yang diterima agar kejadian serupa tidak terus terulang di kemudian hari. Jika upaya sosialisasi nantinya masih tidak efektif, ia berpendapat bahwa pemerintah bisa menggunakan metode “social engineering” yakni pemberlakuan peraturan berikut sanksi tegas yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya virus corona sekaligus memberikan efek jera.

“Sekarang, saat ini ada denda yang lebih ditakuti dan dipatuhi…mereka lebih jera kalau dikasih sanksi denda. Karena koersif, lebih social engineering,” pungkasnya.

Rapid test jadi langkah awal

Rapid test adalah metode untuk mendeteksi antobodi IgM dan IgG yang diproduksi tubuh untuk melawan virus corona. Hasil rapid test akan reaktif bila antibodi tersebut terdeteksi di dalam tubuh orang yang melakukan tes. Namun, antibodi ini memerlukan waktu beberapa minggu untuk bisa terbentuk. Maka dari itu, surat bebas Covid-19 berdasarkan rapid test hanya berlaku untuk tiga hari.

Hasil rapid test sendiri dapat diketahui dalam rentang waktu 10-15 menit setelah dilakukannya tes. Hasil tersebut harus dipastikan lagi dengan melakukan pemeriksanaan polymerase chain reaction (PCR).

Di Jakarta, perkantoran yang kembali beroperasi di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pun menerapkan kebijakan pemeriksaan rapid test kepada para pegawainya yang kembali masuk kantor setelah beberapa waktu terakhir menerapkan skema work from home (WFH).

“Sebelum masuk ruangan dan boleh kerja, ada rapid test dulu, jadi kalau non-reaktif baru boleh masuk, kalau reaktif disuruh WFH,” terang Bimo Prabowo (27), salah seorang pegawai kantoran di Jakarta Selatan kepada DW Indonesia.

Senada dengan Bimo, Febriansyah (32) salah seorang karyawan BUMN yang juga telah mengikuti rapid test mengungkapkan pemeriksaan tersebut penting dilakukan. Hasil rapid test miliknya pun telah dinyatakan non-reaktif. “Kalau kita merasa sehat mengapa menolak kalau ikut rapid test? Kalau pun reaktif akan lebih baik untuk pencegahan,” ujarnya.

Sementara itu, pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menilai saat ini rapid test menjadi langkah awal untuk memeriksa seseorang postif Covid-19. Pasalnya, pemeriksaaan PCR di Indonesia dinilai masih terbatas.

“Ada negatif palsu, ada positif palsu, sementara itu yang kita punya. Tidak ada lagi tes lain. Lalu kita mau mencari pakai swab test? Terbatas medianya, spesimennya. Jadi paling tidak dengan rapid (menghasilkan) suspect. Kalau yang positif disebut suspect. Jadi kemudian harus di-PCR lebih efektif nantinya,” ujar Miko, saat dihubungi DW Indonesia, Selasa (09/06) sore.

Lebih lanjut Miko pun mengimbau pemerintah untuk terus meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat terkait pentingnya pemeriksaan rapid test. Hal ini penting dilakukan untuk terus melacak penyebaran virus corona di tanah air sekaligus sebagai upaya menekan angka kasus positif yang terus meningkat.

“Sedikit sekali penyuluhan. Dengan kondisi sekarang kasus Covid sudah 33 ribu, penyuluhannya harus besar-besaran. Jangan terjadi lagi pengambilan paksa, penolakan masyarakat,” tegas Miko.

Hingga berita ini diturunkan angka kasus positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 33.076 kasus. Dari angka tersebut, sedikitnya 11.414 kasus positif dinyatakan sembuh dan 1.923 meninggal dunia.

 rap/pkp (dari berbagai sumber)