1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Efek Domino Sudan Bagi Afrika

7 Januari 2011

Kemungkinan pembagian Sudan yang akan diputuskan melalui referendum Minggu (09/01) menjadi sorotan media cetak internasional

https://p.dw.com/p/zut4
Pendaftaran warga Sudan untuk referendum mengenai nasib Sudan SelatanFoto: picture alliance /dpa

Harian Italia Corriere della Sera menulis

„Negara terbesar di Afrika berada di ambang perpecahan dan menjelang penerimaannya menjadi anggota PBB yang ke-193. Hanya sedikit upaya kemerdekaan yang tampak cukup memiliki alasan seperti ini: Sudan Selatan terbentuk setelah perang setengah abad dengan pemerintah di Khartum, yang menelan korban tewas dua juta orang. Oleh sebab itu hasil referendum untuk pembagian Sudan, mungkin sejarah yang sudah dapat dibaca. Tapi dampaknya jauh dari kepastian. Apakah Sudan yang terbagi akhirnya mencapai perdamaian atau justru lebih memicu perang lebih besar dengan kelompok Arab di utara? Bulan-bulan mendatang akan menentukan bagi sebuah negara yang hidupnya diawali dengan kemiskinan, tanpa persiapan dan dengan berbagai penyakit.“

Harian Austria Kleine Zeitung berkomentar:

„Terlepas dari apakah akan terjadi perang atau tidak, pembagian Sudan dapat berpengaruh besar terhadap Afrika. Pemimpin di Chad menyebutnya efek domino. Tapi tidak hanya negara besar ini yang terancam terbagi. Seluruh garis perbatasan dari masa kolonial, yang kini masih menandai Afrika, berada di ambang disposisi. Selama ini hanya Eritrea ayang mampu melepaskan diri dari negara-negara yang tergabung dalam Ethiopia. Berapa lama kepentingan internasional dapat menjaga keseimbangan ini, adalah pertanyaan terbesar yang menyusul referendum Sudan. Nigeria merupakan salah satu kandidat, tapi juga pecahnya kawasan-kawasan yang kaya akan bahan mentah atau minyak bumi sudah dekat.“

Tema lain yang juga menjadi sorotan media cetak Eropa adalah Undang-Undang media baru Hungaria yang kontroversial. Harian Jerman Neue Osnäbrücker Zeitung menulis

„Bagi Victor Orban itu adalah bencana di awal kepemimpinan di Dewan Eropa. Ia hanya dapat menyelamatkannya dengan meluruskan keadaan. Tapi perdana menteri Hungaria itu tidak tunduk 100 persen. Ia mengaitkan kemungkinan reformasi undang-undang media itu dengan syarat bahwa ketetapan di negara-negara lainnya juga harus diubah. Permintaan tersebut saat ini tampaknya sama sekali tidak bermanfaat, namun bukan berarti sama sekali salah. Bahkan negara-negara pendiri Uni Eropa pun, seperti Perancis dan Italia tidak termasuk dalam 20 negara terkuat di dunia dalam hal kebebasan pers. Di Yunani dan Bulgaria kondisinya benar-benar memprihatinkan. Penjelasan situasi Hungaria tidak cukup bagi pimpinan Dewan Eropa. Mereka harus memanfaatkan situasi tersebut dan menetapkan isyarat bagi pemahaman demokrasi di Eropa.“

Dyan Kostermans/dpa/AFP

Editor: Hendra Pasuhuk