1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Teknologi Tinggi Gempur Perdagangan Ilegal Satwa Langka

12 Maret 2018

Para pecinta lingkungan manfaatkan teknologi tinggi dalam pertempuran mereka melawan perdagangan ilegal berbagai satwa yang terancam punah di Indonesia.

https://p.dw.com/p/2u8XD
Nashorn Aceh Sumatra Indonesien
Foto: Leuser International Foundation

Mulai dari kode batang atau barcode DNA mutakhir ke aplikasi smartphone yang dapat mengidentifikasi penjualan satwa liar ilegal,  para pecinta lingkungan terus mencari cara untuk mengatasi penjualan hewan-hewan secara  ilegal.

Tersebar di lebih dari 17.000 pulau, hutan hujan tropis  di Indonesia kaya akan  keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, mulai dari pangolin yang bersisik sampai orangutan yang terancam punah.

Namun, flora dan fauna Indonesia juga berada di garis depan perdagangan ilegal global yang diperkirakan mencapai nilai sebanyak 23 miliar Dollar AS setahun. Perdagangan flora dan fauna ilegal ini telah membawa beberapa spesies ke jurang kepunahan.

Teknologi yang dulu dipakai untuk jerat kartel obat bius

Untuk mengatasi masalah ini, para pecinta lingkungan mulai menggunakan banyak gadget baru untuk melindungi satwa langka dan terancam satwa langka di kepulauan tersebut. "Tak diragukan lagi, teknologi adalah salah satu sumber daya terbesar yang akan membantu orang-orang baik untuk menangkap orang jahat," kata Matthew Pritchett, dari kelompok anti-perdagangan ilegal flora-fauna Freeland Foundation, kepada AFP. "Para penjahat yang berada di balik perdagangan satwa liar ilegal adalah sindikat terorganisir besar yang sangat canggih."

Untuk mengimbangi kelompok-kelompok perdagangan besar ini, para aktivis sekarang menerapkan teknologi yang dulu disediakan untuk memberantas kartel obat bius.

Kini Wildlife Conservation Society (WCS) bekerja dengan pihak berwenang Indonesia untuk menghentikan kejahatan satwa liar, menggunakan perangkat lunak komputer serupa untuk memetakan jaringan kriminal dan mengambil data dari perangkat elektronik yang disita.

Menggunakan barcode DNA    

Kelompok konservasi International International Animal Rescue Indonesia (IAR) memeriksa bukti Tempat Kejadian perkara (TKP) dengan bantuan kode batang atau  barcode DNA - metode taksonomi yang mengandalkan urutan genetik pendek untuk mengidentifikasi spesies.

Sampel jaringan dari hewan yang disita dapat dirujuk silang dengan database kode genetik yang tersimpan, yang membantu membedakan antara spesies dan sub-spesies dengan jelas - yang tidak semuanya terancam punah.

Misalnya, IAR sedang membangun database barcode untuk berbagai jenis kukang, primata yang lucu dan terancam punah. Primata ini kerap diburu dengan alasan untuk  pengobatan tradisional ala Tiongkok.

"Jika ada hwan dengan asal yang diketahui dan muncul,  kita kemudian dapat membandingkan sampel genetiknya," demikian ujar  Christine Rattel, penasihat program IAR kepada AFP.  "Kita kemudian bisa melacak hotspot berburu dan rute perdagangannya."

Baca juga;

Photo Ark: Dokumentasi Biodiversitas Sebelum Musnah

Rumah Penyelamatan Monyet Maroko

Tantangan masih besar

Meskipun ada serangkaian undang-undang yang bertujuan untuk melindungi satwa liar, penjaga hutan dan polisi di Indonesia kekurangan sumber daya ilmiah, demikian dikatakan para pakar.

"Apa yang banyak orang tidak sadari adalah petugas penegak hukum bukan ahli biologi," kata Pritchett.   "Mungkin ada beberapa dari mereka yang mengkhususkan diri, tapi ketika sampai pada hal itu kita berbicara tentang sekitar 25.000 sampai 30.000 spesies di seluruh dunia yang dilindungi dari perdagangan internasional."

Ini adalah celah yang ingin dilakukan Plugin Freeland saat mengembangkan aplikasi identifikasi smartphone WildScan. Aparat penegak hukum dan anggota masyarakat dapat menggesek dan mengklik melalui pertanyaan dan foto untuk menentukan apakah mereka melihat spesies yang dilindungi.  Mereka kemudian dapat memotret dan melaporkannya ke pihak berwenang di seluruh Asia Tenggara dengan menggunakan aplikasi ini.

Pritchett mengatakan laporan yang dihasilkan melalui aplikasi - yang memiliki database sekitar 700 spesies dan 2.000 foto - telah membuat pihak berwenang bisa mengambil tindakan di Indonesia dan Thailand.

Namun, terlepas dari upaya terbaik para konservasionis dan kemajuan teknologi yang besar, banyak pakar percaya bahwa pertempuran ini masih berada di medan yang berat.

Undang-undang yang ketinggalan jaman, kurangnya  sumber daya penegak  hukum dan tingkat penuntutan yang rendah tetap menjadi tantangan utama dalam menghentikan perdagangan, demikian menurut laporan tahun 2015 oleh badan bantuan pembangunan USAID.

Yang terpenting, tidak adanya kemauan politik untuk mengatasi pasar gelap yang menguntungkan, kata Ian Singleton, direktur Program Konservasi orangutan sumatera (SOCP), yang menggunakan pesawat tak berawak untuk melacak orangutan dan pembukaan hutan ilegal yang mengancam habitat mereka. "Tanpa ketegasan pemerintah, tidak ada teknologi yang akan mengubah apapun," katanya.

ap/yf(afp)