1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ekonomi Kerakyatan dan Kuda Seharga Rp 3 Miliar

31 Maret 2014

Derap nasionalisme kembali terdengar jelang pemilu legislatif dan pilpres 2014. Prabowo dan Jokowi dianggap menjadi motor penggerak. Tapi begitu masuk ke ranah ekonomi, para kandidat mudah tergelincir ke arah populisme

https://p.dw.com/p/1BZ62
Indonesien Wahlen Archiv 2012
Foto: Adek BerryAFP/Getty Images

Menunggang kuda dan berpawai di Gelora Bung Karno, Prabowo Subianto seakan ingin mengembalikan apa yang dianggap menghilang dari panggung politik Indonesia sejak reformasi, yakni aroma nasionalisme yang kental. Dalam acara kampanye Gerindra beberapa pekan lalu itu, sang purnawirawan mengenakan baju putih, dipadu dengan sebilah keris yang melintang di pinggangnya, berlatar puluhan bendera merah putih berukuran besar. "Indonesia tidak bisa dibeli!" teriaknya di depan ribuan pendukung.

Bahwa kemudian penampilan bekas jendral yang diduga kuat bertanggungjawab atas hilangnya lusinan aktivis pro demokrasi itu menjadi olok-olokan di dunia maya, tidak menenggelamkan gejala baru yang sedang bergeliat seiring kemunculan sosok Prabowo dan, yang terakhir, punggawa PDI-P, Joko Widodo sebagai calon presiden untuk pemilu 2014.

Keduanya membawa pesan-pesan nasionalistis yang berpadu dengan populisme jelang pemilu 2014. Aroma tersebut terutama sangat kental di ranah ekonomi. Prabowo misalnya aktif mengusung "ekonomi kerakyatan" di setiap kampanye. Kepada pengusaha yang bertanya-tanya, bekas menantu mendiang Soeharto itu buru-buru menjawab dirinya tetap mendukung kepemilikan individu dan kebebasan ekonomi.

Ekonomi Kerakyatan dan Kuda Seharga 3 Miliar

Bagaimana Prabowo ingin mengimplementasikan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil sembari menunggang kuda seharga Rp. 3 Miliar? Belum juga bisa dijawab. Gerindra sejauh ini cuma menelurkan gagasan, bahwa Prabowo akan mendorong industri pertanian sebagai roda penggerak ekonomi. "Jika kita ingin mengembangkan sektor industri, harusnya memang berbasis industri pertanian," kata Burhanuddin Abdullah, bekas Gubernur BI yang kini merapat ke Gerindra.

PDI-P juga tidak ketinggalan menyuarakan pendapat serupa. Joko Widodo baru-baru ini meyebut, Indonesia harus berani menghentikan impor sapi. "Kita harus punya keberanian untuk beralih dari konsumsi ke produksi. Selama ini kita tidak berani berproduksi karena tidak ada kemauan," katanya kepada harian Tempo, sembari menambahkan, target swasembada daging sapi adalah "bukan sesuatu yang sulit."

Jokowi tidak menjelaskan, bagaimana membatasi impor bisa membuat harga daging sapi di pasaran menjadi lebih stabil. Tak pula dipaparkannya bagaimana pemerintah bisa menggenjot produksi daging sapi di dalam negeri.

Gejala Xenophobia di Ranah Ekonomi

Masuknya ideologi nasionalisme dalam perekonomian terbukti bukan cuma menjelang pemilu semata.

Isu tersebut terutama mencuat ketika pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono meracik undang-undang yang melarang ekspor mineral mentah dan memaksa penambang asing agar mengolah hasil tambangnya di dalam negeri. Kebijakan tersebut terutama mengancam beberapa investor terbesar, seperti Freeport McMoran dan Newmont Mining Corp.

Nantinya perusahaan-perusahaan tersebut harus membayar pajak 20-25 persen tahun ini dan akan membengkak menjadi 60 persen pada paruh kedua 2016, atau menambah investasi untuk membangun pabrik pengolahan.

Dampaknya tercermin dari angka investasi asing di sektor-sektor selain perminyakan dan perbankan yang mengalami stagnasi. Tahun lalu pemerintah mencatat investasi yang masuk sebesar 22 miliar US Dollar atau tidak berubah secara signifikan dari tahun 2012.

Namun begitu, kebijakan tersebut mendulang dukungan dari sebagian partai-partai besar yang ikut meramaikan pemilu April mendatang. "Menghadapi globalisasi, Indonesia harus berada dalam posisi yang lebih kuat. Kita harus bisa independen dan tidak bergantung cuma pada investasi asing," tutur Budiman Sudjatmiko, anggota legislatif dari PDI-P.

"Indonesia harus bersikap nasionalistis, walaupun jika menyangkut kepentingan negara, bukan berarti investor asing tidak bisa menanamkan modalnya di sini" kata pakar ekonomi Gerindra, Burhanuddin Abdullah.

rzn/hp (rtr,ap,dpa,antara,tempo)