1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Ekstrem Kanan dan Ketakutan Kaum Muslim di Jerman

Kersten Knipp
14 Oktober 2019

Serangan terhadap rumah ibadah kaum Yahudi di Halle turut menempatkan minoritas muslim Jerman dalam kewaspadaan. Meski sudah terbiasa diludahi atau dipelototi, ancaman bagi kaum muslim justru meningkat.

https://p.dw.com/p/3RF5E
Pro NRW Mahnwache vor der Mülheimer Fatih-Moschee
Foto: picture-alliance/Revierfoto

Tidak, percobaan serangan terhadap sinagoga di Halle tidak mengejutkan. Orang-orang sudah memperkirakannya sejak lama, demikian ujar Aiman Mazyek, Ketua Dewan Sentral Muslim. Serangan terhadap komunitas Yahudi di kota Halle itu bisa juga menyerang komunitas muslim di sana.

Baik orang Yahudi maupun muslim sama-sama menjadi target para pelaku. Karena itu, orang-orang saling mendukung. Umat muslim pun melakukan kunjungan solidaritas ke komunitas Yahudi Halle, kata Mazyek.

Para anggota komunitas di Dewan Pusat telah sejak lama mengalami serangan terhadap tempat-tempat ibadah mereka. "Masyarakat muslim di Halle, misalnya, telah menjadi sasaran serangan selama bertahun-tahun. Ada pengrusakan, ada coretan Nazi. Dalam dua serangan terakhir, senapan angin ditembakkan ke arah kerumunan orang di komunitas. "

Diam-diam telah terjadi perubahan atsmofer, ujar Mayzek. Situasi sekarang ini mendorong para pelaku untuk tidak sekadar berbicara, tetapi juga bertindak.

"Mereka berperilaku persis seperti apa yang dijabarkan beberapa teroris ekstremis sayap kanan seperti di Christchurch - dalam manifesto mereka sendiri. Tulisan-tulisan mereka menggerakkan para peniru untuk bertindak serupa. Ini adalah bencana yang sebelumnya seperti telah diumumkan. Itulah hal yang mengejutkan."

Tingginya pelanggaran hukum terkait Islamofobia

Menurut data Kementerian Dalam Negeri Federal, pada tahun 2018 terjadi 910 delik kebencian terhadap Islam. Jumlah ini sedikit menurun dibandingkan dengan tahun 2017, di mana tercatat ada 1075 kejahatan dengan latar belakang sama. Akan tetapi, serangan terhadap perorangan kian meningkat. Sebagai contoh, pada 2018 ada 40 orang terluka dalam serangan Islamofobia, dibandingkan dengan 32 orang tahun 2017.

Menurut laporan media Neue Osnabrücker Zeitung, Dewan Pusat Muslim mengasumsikan bahwa tidak semua pelanggaran dicatat dalam statistik dan ini hanya mencerminkan separuh dari kondisi yang sebenarnya.

Sebaliknya, ada wilayah gelap yang signifikan besarnya, karena pihak-pihak yang menjadi korban sering kali menahan diri untuk tidak berbicara. Beberapa kejahatan juga diklasifikasikan secara tidak benar oleh polisi dan jaksa penuntut.

Islamofobia eksis di tengah masyarakat

Penelitian cendekiawan Islam, Kai Hafez, yang mengajar di Universitas Erfurt, menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen orang Jerman rentan terhadap Islamofobia. Di beberapa daerah di Jerman, seperti di Thuringen dan Sachsen, angka ini bahkan mencapai hingga lebih dari 70 persen. Kekhawatiran kuat tentang Islam ada tidak hanya di pinggiran masyarakat di Jerman, tetapi telah menembus jauh ke tengah-tengah mereka.

Birte Weiß, anggota dewan Asosiasi Anti-Diskriminasi Jerman, juga mengamati meningkatnya rasa ketidaksukaan terhadap kaum muslim. Seringkali ini adalah kebencian sederhana, seperti ungkapan "Dasar muslim, yang laki-laki agresif semua," ujarnya kepada surat kabar Handelsblatt.

Rasisme anti-Muslim dalam kehidupan sehari-hari tumbuh, ujar Weiß. Sebagai contoh, sejumlah siswa berulang kali diminta untuk mengomentari "negara Islam" karena teman sekelas mengenali mereka sebagai muslim.

Peningkatan rasisme di kehidupan sehari-hari

Secara khusus, tindakan rasisme dalam kehidupan sehari-hari juga meningkat, kata Aiman Mazyek dalam wawancara dengan DW. "Meludah dan memelototi masih merupakan pengalaman yang agak tidak berbahaya, tetapi di jalan-jalan umum kami juga mengalami kekerasan verbal dan fisik yang cukup terbuka."

Sementara itu, situasi telah berubah sedemikian rupa sehingga mereka yang mungkin sebelumnya telah memiliki keberatan atau ketidaksukaan terhadap muslim, kini secara terbuka mengartikulasikan ketidaksukaan mereka. "Dahulu mereka tidak berani, tetapi sekarang mereka melakukannya." Tindakan ini menyasar orang-orang muslim dan Yahudi, juga secara umum untuk orang-orang yang terlihat berbeda dari masyarakat mayoritas. "Yang terpengaruh adalah orang-orang yang berbeda atau yang berpenampilan asing."

Beberapa anggota Asosiasi Dewan Pusat Muslim juga telah mengalami sejumlah agresi, lanjut Mazyek.

"Di komunitas kami, anak-anak dan perempuan khususnya takut untuk pergi ke masjid. Mereka pergi salat Jumat dengan perasaan was-was. Sementara yang lain tidak lagi pergi ke komunitas karena merasa takut atau tidak yakin."

"Ini tidak boleh terjadi di dalam negara konstitusional dan negara bebas dan terbuka seperti ini, di mana sebagian besar orang bertindak dan berpikir dengan cara ini."

Apa yang bisa dilakukan terhadap ekstrimisme sayap kanan? Mazyek berpikir untuk memanggil perwakilan masyarakat untuk menentang kebencian terhadap kaum muslim. "Selain itu, kita harus mengintensifkan dialog dan pada saat yang sama berinvestasi dalam hal keamanan. Siapa pun yang ingin memerangi ekstremisme sayap kanan akhirnya harus juga berjuang melawan kebencian terhadap muslim." (ae/rzn)