1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ennahda, Yang Lama untuk Awal Baru?

17 Juli 2012

Dalam sidang umum Partai Ennahda, partai terkuat Tunisia itu kembali memilih Rashid Ghannouchi sebagai ketuanya. Tetapi secara intern partai itu terpecah-belah.

https://p.dw.com/p/15ZGu
Mitglieder von Ennahdha beim 9. Parteitag in Tunis, Juli 2012 Ort: Le Kram, Tunis, Tunesien Fotos: Sarah Mersch
Foto: DW

Ghannouchi mengikuti saran rekan-rekan separtainya sehingga mencalonkan diri lagi. "Negara dan partai memerlukan saya," kata pria berusia 71 tahun itu, ketika hasil pengumpulan suara diumumkan Senin, 16 Juli. Ia memperoleh 73 % suara. Delegasi tampak lega, walaupun letih, ketika bertepuk tangan bagi ketua partai yang kembali terpilih. Hasil pemilihan tidak mengejutkan siapapun. Selama lima hari, sehari lebih lama daripada rencana, delegasi berdebat hingga malam hari.

Partai Ennahda sudah berdiri empat puluh tahun. Namanya sudah berubah beberapa kali, juga konstelasinya. Selama itu pula Rashid Ghannouchi berada di pucuk pimpinan. Itu hanya terhenti ketika ia dipenjara atau ditempatkan dalam kerja paksa.

Delegierte von Ennahdha stehen Schlange, um über neuen Präsidenten und Parteirat abzustimmen, 9. Parteitag in Tunis, Juli 2012 Ort: Le Kram, Tunis, Tunesien Fotos: Sarah Mersch
Sebagian delegasi dalam sidang umum Partai EnnahdaFoto: DW

Di masa bekas diktator Zine al Abidine Ben Ali partai itu dilarang, dan baru diijinkan lagi setelah revolusi berakhir. Banyak anggotanya pernah mendekam di penjara atau diasingkan. Legitimasi yang diperoleh partai itu dari pengekangan oleh rezim lalu, juga acuan pada nilai-nilai Islam, membawa kemenangan bagi Ennahda dalam pemilihan badan perumus konstitusi, Oktober 2011. Ketika itu Ennahda mendapat 40% kursi.

Diskusi Tertutup

Tetapi sejalan dengan tanggungjawab sebagai pemerintah, perbedaan pendapat di tubuh partai tampak jelas. Bagi banyak anggota, pimpinan terlalu liberal. Sedangkan sayap moderat dalam Ennahda mengecam tindakan lunak terhadap tendensi ekstremisme dalam partai. Jadi Ennahda berusaha mencapai banyak hal dalam sidang pertama partai yang diadakan di masa kebebasan. Mereka ingin menyatukan partai dan menetapkan haluan politis untuk tahun-tahun mendatang.

"Kita perlu institusi yang kuat, debat yang dalam dan banyak waktu untuk mengatasi keretakan, agar tidak mengakibatkan perpecahan." Itu dikatakan Nejmeddine Hamrouni, juru bicara sidang. Menurutnya, kebebasan yang sekarang dinikmati partai bisa menolong. Pembukaan sidang yang disertai perayaan besar dan tamu dari berbagai negara, misalnya ketua Hamas Khaled Mashaal, diikuti perdebatan tertutup selama lima hari. Diskusi berlangsung berapi-api. Dikatakan, ada juga konflik antar generasi, dan antar sayap politik serta kebudayaan. Tetapi apa sebenarnya yang diributkan? Tak satupun delegasi bersedia memberikan keterangan, apalagi kepada wartawan.

Rachid Ghannouchi is seen during an exclusive interview-photo session with AA journalist in Tunisia, on February 23, 2011. The head of Tunisia's main Islamist Ennahda movement Rachid Ghannouchi returns to Tunisia from Britain, after 22 years of exile. His return comes weeks after the ousting of Tunisia's president Ben Ali. Photo by Volkan Furuncu/AA/ABACAPRESSCOM
Rashid GhannouchiFoto: picture alliance/abaca

Tidak Berubah. Setidaknya di Atas Kertas

Pernyataan penutup sidang partai tidak mengejutkan siapapun. Delegasi menyatakan kehendak, untuk mendorong reformasi demokratis dan membangunkan perekonomian negara yang lumpuh. Mereka juga ingin melaksanakan keinginan pendukung revolusi, dan menjaga kebebasan berpendapat. Tepuk tangan sopan anggota partai baru berubah menjadi sorak-sorai, ketika kepala sidang, Abdellatif al Mekki membacakan sebuah paragraf, yang menuntut agar penghinaan terhadap Tuhan diancam dengan hukuman.

Saat itu perpecahan dalam tubuh Partai Islam Ennahda tampak jelas. Bagaimana keinginan pimpinan untuk memodernisir partai dapat disatukan dengan kehendak anggota untuk tetap menjadi gerakan religius? Jawabannya tidak dapat diberikan dalam sidang besar pertama Ennahda. Abdelafattah Mourou, yang ikut menjadi pendiri Ennahda, dan meninggalkan partai sebagai protes setelah terjadinya serangan di Tunisia awal tahun 1990-an, menuntut partainya untuk menjauhkan diri dari masa lalu yang radikal.

Tunisie, Tunis 22/10/2011 Islamist Ennahda party supporters at a closing meeting, in Tunis, Tunisia, 21 Octobre 2011. Tunisians were called to vote on 23 October to elect 217 members in the assembly that will be tasked with the drawing up of a new constitution. The counting of votes from Tunisia's historic first free elections was underway Monday October 24, 2001, with unofficial early results showing the moderate Islamist party Ennahda taking a commanding lead. Photo: Aude Osnowycz/Wostok Press/Maxppp Schlagworte Politik, Wahlen, Parteien, Religion, Islam, frau, frauen, Fahne, Ballon
Pendukung Partai Ennahda ketika berdemonstrasi, 21 Oktober 2011, menjelang pemilu badan perumus konstitusi.Foto: picture-alliance/dpa

Perbedaan Intern, Masalah dari Luar

Nejmeddine Hamrouni, wakil sayap moderat dan intelektual, menyadari tantangan itu. "Kami tidak naif. Bisa saja aliran-aliran tertentu tidak mendapat tempat lagi di masa depan," ujarnya. Kalau itu terjadi, orang harus mempertimbangkan bentuk-bentuk lain. "Syukurlah kita hidup dalam demokrasi, yang memungkinkan hal itu," ditambahkannya sambil tersenyum. Tetapi tekanan tetap besar, kata Hamrouni. "Konteks politik, peralihan demokratis dan situasi ekonomi tidak mengijinkan kita untuk mengambil waktu terlalu lama bagi masalah intern."

Sekarang Rashid Ghannouchi masih bisa menyatukan berbagai aliran di tubuh partai. Tahun 2013 pemilu akan diadakan di Tunisia, dan Ghannouchi harus memimpin Ennahda agar menang pemilu. Tetapi keputusan, arah mana yang akan diambil partainya, hanya ditunda saja. Dua tahun mendatang sidang umum partai akan diadakan lagi, dan debat soal pimpinan akan kembali terjadi.

Sarah Mersch / Marjory Linardy

Editor: Hendra Pasuhuk