1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Erdogan: Turki Berhak Membela Diri

21 Juli 2006

Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan membela keputusannya untuk menyerang markas kelompok separatis Kurdi yang kerap melancarkan aksi teror di Turki.

https://p.dw.com/p/CPDE
Recep Tayyip Erdogan
Recep Tayyip ErdoganFoto: dpa

Tubuh tak bernyawa milik seorang lelaki dikuburkan di sebuah pemakaman. Janda dan ketiga anaknya tampak berdiri berpelukkan, menatap tubuh sang ayah untuk terakhir kali.

Lelaki naas itu adalah seorang tentara Turki. Ia terbunuh oleh ledakan bom saat sedang bertugas di bagian tenggara Turki. Mayatnya dan sekaligus mayat empat tentara lain ditemukan hancur di atas sebuah jalan raya.

Namun ini adalah drama keseharian yang biasa terjadi di Turki. Hampir setiap harinya koran koran negeri itu dipenuhi dengan berita pemboman oleh kelompok separatis kurdi (PKK) di wilayah selatan Anatolia. Hampir setiap harinya korban berjatuhan di Turki, sebagian besar perajurit muda.

Tapi juga warga sipil, wanita, anak-anak dan terkadang turis-turis Eropa. Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, menuding negara-negara barat, tidak serius menghadapi permasalahan ini. Dikatakannya,

“Sebagian menggunakan ukuran tertentu dalam menilai konflik di tumur tengah. sedangkan ketika menghadapi teror di Turki, mereka menggunakan ukuran lain. Tapi teror tidak bisa dipandang dengan kaca mata yang berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah, Afghanistan, Somalia, atau di Madrid. Di seluruh dunia, teror tetaplah teror.”

Kegusaran sang Perdana Menteri terutama diarahkan ke Amerika Serikat, yang dinilainya turut bertanggung jawab atas jatuhnya korban di Turki. Pasalnya, aksi teror yang dilancarkan kelompok separatis kurdi berbasis di daerah utara Irak, di mana AS memegang otoritas keamanan.

Sejak tujuh tahun lalu, milisi PKK memang sering diberitakan mendiami kawasan penggunungan Kandil di utara Irak. Letak geografisnya yang cukup strategis, memudahkan para kelompok teroris kurdi itu untuk menyerang daerah Turki. Selama ini, Turki tidak dapat menurunkan kekuatan militernya di kawasan pegunungan Kandil. Hal ini disebabkan sikap Amerika Serikat yang menolak keras segala macam intervensi militer Turki di Irak.

Ankara sendiri telah mencoba membujuk Amerika untuk memerangi milisi PKK atau setidaknya memberikan lampu hijau bagi keberadaan militer Turki di wilayah utara Irak.

Sikap mendua AS, di satu sisi mengamini serangan Israel terhadap Lebanon dengan alasan menjaga kedaulatan, sementara di sisi lain menolak landasan yang sama bagi serangan Turki terhadap basis PKK, tidak dapat sepenuhnya dimengerti oleh Ankara. Menurut Erdogan, jika Israel berhak melindungi dirinya dengan menyerang Hizbullah, maka Turki pun dapat melakukan hal yang sama terhadap PKK. Dikatakannya,

“Jika negara A menyerang, maka hal itu bisa ditolerir. Tapi jika negara B yang melakukannya, maka keadaannya menjadi berbeda. Logika dan cara berfikir seperti ini tidak bisa diterima. Kami siap untuk melakukan segala upaya menuju perdamaian di timur tengah. Tapi mereka pun harus melihat teror yang terjadi di Turki lewat kaca mata yang sama. Karena jika tidak kami lebih senang mengurus diri kami sendiri.”

Militer Turki memang sudah mendapat perintah untuk menyerbu Irak. Keputusan Ankara ini didukung oleh pemerintahan Iran. Iran bahkan telah berulangkali membombardir wilayah pegunungan Kandil itu untuk membantu serbuan tentara Turki. Sebaliknya, duta besar Amerika Serikat di Turki mengingatkan Erdogan agar tidak melakukan intervensi militer apapun di Irak. Namun sang Perdana Menteri dengan acuh menjawab,

“Keputusan ini bukan diambil oleh duta besar Amerika, melainkan pemerintahan Turki. Kamilah yang berhak memutuskan segala sesuatunya dan bertindak menurut kepentingan kami.”