1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Pemerintah Diminta Tidak Reaktif Atas Tarif Biodiesel EU

14 Agustus 2019

Alih-alih membalas, pemerintah perlu memperbaiki transparansi informasi kepada publik dan membenahi tata kelola lahan dan rantai produksi sawit dalam negeri.

https://p.dw.com/p/3NsHy
Indonesien | Abholzung für Palmöl
Foto: Getty Images/AFP/Januar

Uni Eropa baru saja memberlakukan tarif masuk atas impor biodiesel bersubsidi dari Indonesia sebesar 8 hingga 18 persen. Langkah ini diambil guna melindungi kepentingan para produsen minyak nabati di kawasan tersebut. Namun aktivis lingkungan menilai pemerintah Indonesia tidak perlu bersikap reaktif terhadap pengenaan kebijakan ini.

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional WALHI, mengatakan bahwa untuk menanggapi hal ini pemerintah perlu mengoreksi kebijakan terkait produksi minyak nabati di dalam negeri yang sebagian besar berasal dari perkebunan kelapa sawit. Diantaranya yaitu memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Yuyun pun menilai langkah ini efektif dalam memperbaiki masalah fundamental seputar sawit.

"Pemerintah tidak perlu bersikap reaktif, karena pada dasarnya pengenaan tarif masuk (produk sawit asal Indonesia) bukan baru diterapkan oleh Uni Eropa saja tetapi juga sudah ada di Cina dan India," ujar Yuyun ketika diwawancarai Deutsche Welle melalui sambungan telepon, Selasa (14/08).

Senada dengan Yuyun, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, juga mengatakan penerapan tarif adalah langkah wajar yang diambil oleh Uni Eropa.

"Penerapan tarif ini berlaku karena adanya subsidi pemerintah (Indonesia) terhadap biodiesel, yang seharusnya dipakai untuk membantu petani seperti melakukan peremajaan, pengembangan SDM dan penelitian. Tapi ternyata tidak. Jadi wajar sekali kalau Eropa melihat hal itu," ujar Kiki secara terpisah kepada Deutsche Welle.

Kiki merujuk kepada penggunaan dana dari Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPBD) yang berasal dari pengumpulan dana patungan ekspor sawit dan sebagian besar digunakan untuk membayar subsidi sehingga lebih menguntungkan bagi para pengusaha besar dibandingkan untuk menyejahterakan petani sawit skala kecil.

Seperti dikutip dari katadata, dana BPBD pada 2017 lalu mencapai Rp 11,7 triliun, namun hingga 75 persen dari dana tersebut habis dipakai untuk mensubsidi biodiesel.

Besaran tarif masuk 8-18 persen

Komisi Eropa yang merupakan badan eksekutif Uni Eropa secara sementara memberlakukan tarif masuk mulai dari 8 hingga 18 persen. Namun mereka juga mengingatkan bahwa tarif sementara ini bisa jadi permanen pada akhir tahun.

Komisi Investigasi "menemukan bahwa produsen biodiesel Indonesia mendapat manfaat dari pemberian dana, keringanan pajak, dan akses ke bahan baku di bawah harga pasar," ujar Komisi Uni Eropa dalam sebuah pernyataan, Selasa (13/08) seperti dikutip dari kantor berita AFP.

"Ini menimbulkan ancaman kerugian ekonomi pada produsen di Uni Eropa," lanjut pernyataan komisi itu.

Komisi itu mengatakan sedang memfokuskan penyelidikan pada kemungkinan subsidi untuk produksi biodiesel, apakah itu melibatkan minyak sawit atau bahan baku lain yang lebih sedikit digunakan.

Pasar biodiesel Uni Eropa diperkirakan bernilai 9 miliar euro (sekitar Rp 143 triliun) per tahun, dengan impor dari Indonesia sebesar 400 juta euro (sekitar Rp 6,4 triliun).

Transparansi dan benahi rantai produksi

Kiki Taufik dari Greenpeace membenarkan bahwa memang ada motif perang dagang dan proteksi dalam pemberlakuan tarif. Ini terjadi karena Eropa juga berusaha melindung produsen minyak nabati mereka yang produktivitas per hektare-nya tidak sebesar sawit.

Indonesien Orang-Utans Bedrohung durch Waldrodung
Masalah yang sering disoroti di perkebunan sawit antaranya yaitu hilangnya keanekaragaman hayati dan rusaknya habitat satwa liar termasuk orangutan.Foto: Getty Images/U. Ifansasti

Namun apabila pemerintah bersikap reaktif, masalah yang paling mendasar seperti kerusakan lingkungan, transparansi rantai produksi dan penyejahteraan petani sawit skala kecil tidak akan terselesaikan.

Ia menilai pemerintah perlu membenahi tata kelola sawit di dalam negeri dan meningkatkan transparansi informasi terkait lahan, baik pengelolaan, izin konsesi bagi perkebunan sawit dan pelepasan kawasan hutan.

"Buka informasi tersebut kepada publik agar rantai produksi sawit di Indonesia bisa dibersihkan," ujar Kiki. Ia pun menyayangkan banyaknya pengusaha di Indonesia yang masih menerima asupan minyak sawit mentah (CPO) dari lahan-lahan yang sebenarnya wilayah konsesinya tidak boleh dibuka.

Kiki mengatakan bila hal ini dibenahi dan publik melihat adanya usaha aktif pemerintah, sangat mungkin terjadi negara-negara lain akan mempertimbangkan untuk menurunkan hambatan tarif mereka.

Sementara Yuyun dari Walhi mengatakan peristiwa ini bisa jadi momentum bagi Indonesia untuk berbenah karena sudah tidak masanya lagi Indonesia bergantung kepada pendapatan ekspor bahan mentah yang mengeksploitasi lahan dan lingkungan.

"Tidak bisa lagi menggantungkan ekonomi dari perkebunan skala besar," ujar Yuyun. Lebih lanjut Yuyun mengatakan, Indonesia perlu lebih berfokus kepada pengembangan sumber daya manusia (SDM). Namun hal ini sulit dilakukan apabila manusia Indonesia tinggal di lingkungan yang tercemar polusi, diantaranya akibat aktivitas perkebunan skala besar.

Indonesia adalah salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Ini adalah minyak nabati yang paling banyak digunakan sebagai bahan utama berbagai produk mulai dari makanan hingga kosmetik. Namun produksi minyak sawit di berbagai negara termasuk Indonesia sering dituduh sebagai kontributor utama rusaknya lingkungan dan hutan di negara produsen.

ae/hp (berbagai sumber)