1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Fair Fashion Cegah Eksploitasi di Industri Tekstil

Johanna Schmeller 17 Januari 2014

Berita mengenai jeleknya kondisi kerja pada industri tekstil menjadi latar belakang munculnya Fair Fashion. Apa itu Fair Fashion? Mengapa ide ini dinilai penting?

https://p.dw.com/p/1AriS
Protest Textilarbeiter in Kambodscha
Foto: DW/R. Carmichael

Buruh tekstil di Kamboja mogok. Alasannya adalah upah rendah yang mereka terima.“ Di Asia Tenggara sangat susah sekali menghidupi keluarga dengan 60 Dolar” kata Dennis Schrey, koordinator yayasan Konrad Adenauer di Bonn. Dan tentu saja, 6 hari kerja dan durasi waktu kerja antara 12 sampai 14 jam setiap hari tidak memenuhi standar internasional.“Akan tetapi, disini itu adalah peraturan“ lanjut Schrey.

Meski demikian, Schrey menekankan, perusahaan-perusahaan tekstil yang sebagian besar berasal dari barat tak hanya membawa kesengsaraan, tapi juga lapangan pekerjaan yang merupakan jalan keluar dari kemiskinan.

Situasi buruk industri tekstil

Industri tekstil merupakan sumber ekspor terbesar negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja dan India. Akibat buruk dari industri ini adalah terciptanya monostruktur dan budaya kerja eksploitasi, hal yang sejak 3 tahun berusaha ditentang oleh Bhattacharjee bersama organisasi perserikatan buruhnya di India.

“Kadang-kadang, uang ditahan secara ilegal. Pihak manajemen menegaskan bahwa uang itu adalah setoran untuk dana pensiun dan asuransi sosial” kata Bhattacharjee. Meski demikian uang itu tak pernah sampai ke tangan para pekerja. Di sini, para wanita tidak mendapatkan cuti bersalin dan tidak dilindungi dari kekerasan seksual. Sementara para anggota serikat pekerja diberhentikan dengan alasan-alasan tak masuk akal.

Dengan mode menentang eksploitasi

Berita mengenai buruknya kondisi produksi yang ada di industri tekstil, adalah sebuah alasan yang menjadikan seorang pembeli, wanita berusia di pertengahan 50 tahun ini mendatangi `Alma und Lovis , sebuah toko yang berada di pinggiran kota Bonn. “Berita mengenai eksploitasi manusia begitu jelas, sehingga sebagai konsumen kita juga harus ikut memikirkan dari mana kita memperoleh pakaian”, kata pembeli itu.

Saat ini makin banyak label-label kecil di Jerman yang berkonsentrasi pada `fair production` misalnya, `Alma und Lovis `. Di toko ini, Alpaka atau switer dari kulit kambing peru dijual dengan harga sekitar 100 Euro lebih mahal dari pada di department store. Meski demikian, `Alma und Lovis menjamin bahwa produk-produk yang mereka jual telah diproduksi `secara` fair di Peru, Potugal dan Polandia.

Toko Alma und Lovis idi Bonn
Foto: Alma Lovis

Menaikkan harga untuk solusi

Buruh di India saat ini memperoleh sekitar 25 persen dari upah minimum, kata Bhattacharjee. Peningkatan harga bagi distributor di Asia Tenggara sangat diperlukan dan hal ini hampir tidak dirasakan di negara-negara maju.

“Kami memperkirakan bahwa jika kenaikan harga mulai 15 sen pada setiap T-Shirt bisa dilakukan, maka para buruh bisa mendapat bayaran adil “, kata Kirsten Clodius yang bekerja untuk `Clean Clothes Campaign. Organisasi ini adalah sebuah organisasi yang berjuang membela hak-hak dasar para pekerja industri tekstil dengan tujuan memperbaiki kondisi kerja global di industri garmen.

“Kesiapan itu tentu saja ada“ lanjut Clodius. Meski demikian, Clodius khawatir kesiapan perusahaan-perusahaan besar untuk menaikkan harga, terhalang oleh bahaya korupsi. Bagi perusahaan besar rantai produksi tetap saja sulit ditembus, sehingga uang hasil kenaikan itu tak pernah sampai pada yang berhak.