1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Fenomena KPLB dan Visi Generasi Baru TNI

27 November 2017

Ada peristiwa menarik sehubungan pembebasan sandera di Mimika baru-baru ini, yaitu penolakan perwira yang sedianya akan memperoleh KPLB (kenaikan pangkat luar biasa). Simak opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2oFXf
West Papua Indonesische Soldaten
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius

Ada peristiwa menarik sehubungan pembebasan sandera di Mimika baru-baru ini, yang hampir saja luput dari perhatian publik, yaitu penolakan (secara halus) lima perwira yang sedianya akan memperoleh KPLB (kenaikan pangkat luar biasa). Lima perwira tersebut, satu berpangkat kapten dan empat berpangkat lettu (letnan satu), oleh pimpinan TNI dinilai pantas memperoleh KPLB, karena keberhasilannya memimpin operasi pembebasan sandera.

Lima perwira tersebut kemudian menolak secara halus, berdasarkan dua alasan. Pertama, tugas pembebasan sandera adalah kewajiban selaku perwira TNI, sama posisinya dengan tugas-tugas yang lain. Kedua, berdasarkan prinsip keberhasilan adalah milik anak buah, sementara bila tugas gagal menjadi tanggung jawab perwira selaku pimpinan. Jadi yang akhirnya memperoleh KPLB adalah prajurit dari unsur bintara dan tamtama.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Ini sungguh fenomena spektakuler, jangankan publik awam, Panglima TNI saja juga terkejut melihat pilihan sikap lima perwira tersebut. Sikap mereka bisa dibaca sebagai tamparan keras bagi perilaku elite politik, baik di pusat maupun di daerah, yang haus akan kekuasaan dan jabatan, bila perlu dengan cara kasar dan tak beretika. Peristiwa ini layak dicatat dalam tintas emas tonggak kebudayaan (baca: perilaku politik) di tanah air.

Reinkarnasi Pemberontakan PETA

Bila Panglima TNI saja sampai terkejut, artinya peristiwa ini benar-benar di luar kebiasaan, mengingat baru kali ini ada perwira yang menolak KPLB. Kita hanya bisa menduga-duga, kira-kira siapa yang menjadi inspirasi tindakan mereka. Sesuai hirarki dalam militer, jangan diharapkan ada pernyataan resmi dari mereka, dan lagi mereka sudah sulit dicari jejaknya, karena sudah kembali bertugas di belantara Papua.

Tindakan mereka bisa jadi adalah sebuah ekspresi visi baru generasi baru TNI, khususnya untuk level perwira. Salah satu perwira generasi pasca-1945 yang sudah merumuskan visinya adalah Jenderal TNI (Purn) Moeldoko (lulusan terbaik Akmil 1981). Naskah visi generasi baru TNI disusun Moeldoko, sekitar satu dasawarsa lalu, saat Moeldoko masih berpangkat kolonel, dan sedang bersiap dipromosikan pada pos brigjen.

Inti pemikiran Moeldoko adalah, pada dasarnya generasi baru TNI juga seorang prajurit pejuang, dengan mengambil inspirasi dari "seorang pendekar bangsa” (maksudnya adalah Jenderal Soedirman). Moeldoko mengakui, dalam perjalanan TNI selalu ada dinamika dan perubahan, namun di antara perubahan-perubahan itu, ada elemen yang konstan, yakni nilai kejuangan Jenderal Sudirman yang menjadi panduan prajurit TNI dari generasi ke generasi.

Inspirasi berikutnya adalah faktor historis. Dari sekian peristiwa heroik yang pernah terjadi di tanah air, satu peristiwa yang paling mirip dengan tindakan lima perwira tersebut adalah episode pemberontakan PETA di Blitar (1945), di bawah pimpinan Sodancho Supriyadi. Kemiripan pertama dari segi usia dan jabatan. Saat memimpin pemberontakan Supriyadi seusia dengan kelima perwira tersebut, dengan jabatan yang setara, setingkat komandan peleton.

Kemiripin berikutnya lebih substansial, yakni sebagai respons terhadap lingkungan yang muram. Pemberontakan PETA terjadi, karena para prajurit PETA tidak tahan melihat penderitaan rakyat saat itu, dan  sudah berlangsung bertahun-tahun, sementara di sisi lain para perwira tentara Jepang di Blitar hampir setiap malam bersenang-senang.

Demikian pula dengan lima perwira tersebut, mereka menjadi saksi kehidupan rakyat Indonesia hari ini. Sebagaimana sudah disinggung sekilas di atas, mereka prihatin melihat perilaku elite politik yang demikian rakus terhadap kekuasaan dan harta. Bila anggota PETA mengekspresikan keprihatinannya dengan cara memberontak (kekerasan), sementara kelima perwira tersebut melawan secara kultural.

Baca juga:

Antara Pasukan Elite dan Pasukan Khusus

HUT 72 TNI: Ketika Tentara Mencari Tahta

Antara KPLB dan Pendidikan

Menurut Panglima TNI, meski mereka "batal” memperoleh KPLB, namun kelak akan diberi kemudian dalam menempuh jalur pendidikan. Meskipun Panglima TNI tidak menyebut secara eksplisit pendidikan macam apa yang dimaksud, saya kira yang dimaksud adalah Seskoad (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung. Justru merupakan  a blessing in disguised bila mereka diberi kemudahan masuk Seskoad,  artinya mereka bisa masuk tanpa tes. Mengingat persaingan masuk Seskoad cukup berat, ada pemen (perwira menengah) yang baru tembus Seskoad, setelah sekian kali mengikuti tes masuk.

Dalam jangka panjang, faktor pendidikan lebih menguntungkan. Di masa lalu promosi perwira biasanya dengan mempertimbangkan pengalaman operasi tempurnya, sementara untuk masa datang, itu sudah sulit dilakukan, mengingat operasi tempur semakin langka, bahkan tidak ada sama sekali. Tatkala negeri dalam kondisi damai, maka salah satu kriteria mempromosikan perwira adalah dengan melihat aspek pendidikan. Bila telah mengikuti Seskoad, kemudian kelak dilanjutkan dengan Sesko TNI, prospek lima perwira tersebut sebenarnya sudah bisa dianggap aman.

Bila melalui KPLB, mungkin jalan yang ditempuh bisa berbeda. KPLB memang bisa mendorong karier perwira, namun kelak akan diuji oleh  sang waktu, sementara kita tidak tahu apa yang akan terjadi dikemudian hari. Seperti pengalaman Letjen TNI Purn Sintong Panjaitan (Akmil 1963), yang juga memperoleh KPLB usai memimpin pembebasan sandera di Bangkok (1981).

Karier Sintong kemudian melesat, sampai digadang-gadang sebagai calon KSAD. Namun semua harapan itu kandas, Sintong diperlakukan secara tidak fair. Sebuah rekayasa politik tingkat tinggi, yakni insiden Santa Cruz di Dili (November 1991), telah menepikan posisi Sintong. Dari segi waktu, usia "kejayaan” Sintong selaku peraih KPLB hanya sepuluh tahun (1981-1991). Bagi seorang tentara, rentang waktu sepuluh tahun terbilang cepat, karena seorang letnan dua yang baru lulus dari Akmil, harus menunggu sekitar 13-15 tahun, bahkan bisa lebih, untuk mencapai pos Danyon.

Baca juga:

Sinyal Bagi Opsi Referendum?

Freeport Akhirnya Tunduk Pada Tekanan Indonesia

Perwira Generasi Milenial

Bila dilihat dari pangkat, semuanya masuk level perwira pertama, lalu dari segi usia rata-rata masih di bawah 30 tahun, dengan begitu mereka bisa dikategorikan sebagai generasi milenial. Sekadar perbandingan, lima perwira ini adalah yunior dari Mayor Inf (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono (Akmil 2000), jaraknya berkisar 10 angkatan atau kelas. Sementara Agus sendiri masih bisa dianggao generasi milenal juga, dengan melihat segi usia dan tampilannya, walau sudah purnawirawan.

Bisa jadi para perwira tersebut juga terbawa spirit generasi milenial, yang dikenal sangat menikmati pekerjaan dan proses menuju hasil, serta tidak terlalu memikirkan soal uang sebagai imbalan dari jerih payah mereka. Mereka berprinsip, bila sukses kesejahteraan akan datang dengan sendirinya. Kepuasan mereka terletak bila target telah tercapai, dan itu tidak identik dengan uang.

Keberadaan perwira semacam itu, menjadikan kebanggaan bangsa ini membuncah. Kita tidak sabar menanti tampilnya generasi milenial memimpin negeri ini, baik sebagai pejabat publik maupun sebagai perwira tinggi. Mengingat generasi senior jauh mereka, sudah terlalu membosankan, yang ada di benak generasi tua ini hanya harta dan kekuasaan. Manusia model begini,  kalau meninggal pun tidak ada yang meratapi.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis