1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Filipina: 365 Hari dalam Penantian

Vidi Athena Legowo8 November 2014

Setahun pasca badai Haiyan, pembangunan kembali di Filipina berjalan tersendat. Sebagian besar pengungsi masih menjejali kamp-kamp penampungan, tanpa pasokan pangan dan air yang memadai.

https://p.dw.com/p/1DiyR
Haiyan ein Jahr danach
Foto: DW/R. I. Duerr

"Gaduh di luar tak tertahankan. Angin menghempas dan rumah kami bergetar hebat. Saya berjongkok rapat pada dinding toilet sembari melindungi kepala dengan kedua tangan. Saya tidak tahu lagi berapa lama saya berada dalam posisi itu. Tapi rasanya sangat lama."

Jose Babula bertutur pelan kala menceritakan kisah muram yang dialaminya pada malam 8 November setahun silam. Pria renta berusia 65 tahun itu sedang sendiri di rumah saat Haiyan mengamuk dan menyisakan nestapa di Filipina. Ia tidak melihat, tapi merasakan dan mendengar amukan badai yang menyapu. Jose Babula buta sejak lahir.

Setahun silam Filipina mengalami siklon tropis terkuat yang pernah dicatat manusia. Pemerintah memperkirakan jumlah korban tewas mencapai 10.000 orang. Kini pembangunan kembali berlangsung lambat.

Mereka yang dulunya miskin, semakin terjerumus dalam jurang tak berujung. Rumah dan sedikit harta benda yang mereka miliki musnah oleh badai yang menyapu.

Beda Kota dan Desa

Jose Babula lebih beruntung. Ia kini tinggal di sebuah barak sebesar sembilan meter persegi yang disumbangkan oleh organisasi bantuan lokal. Kota kelahirannya, Tacloban, sekarang bukan lagi reruntuhan kota mati, melainkan hidup dengan hiruk pikuk manusia dan toko-toko yang kembali dibuka.

Pemandangan kontras sebaliknya muncul di kawasan pedesaan pulau Leyte dan Samar. Lahan sawah dan perkebunan kelapa sawit yang menjadi satu-satunya sumber pemasukan warga setempat, hingga kini masih semerawut dan tak terurus. Petani dan nelayan adalah dua kelompok penduduk yang paling terpukul oleh badai Haiyan dan hingga kini belum sepenuhnya pulih.

Menurut laporan pemerintah Filipina yang dilansir Oktober silam, cuma 142 rumah yang hancur oleh Haiyan dan sudah dibangun kembali secara permanen. Artinya sekitar 99,9 persen perumahan korban masih dibiarkan tak tersentuh.

Infrastruktur atau Manusia?

Salah satu masalah terbesar adalah tidak adanya kejelasan ihwal kepemilikan tanah penduduk. Sebagian korban mendiami tanah yang bukan miliknya. Sementara para pemilik lahan kebanyakan adalah politikus atau pengusaha besar. Pemerintah pun harus membebaskan tanah terlebih dahulu sebelum bisa membangun perumahan permanen buat korban.

Pemerintah mengaku, pihaknya masih memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Jalan, jembatan, pelabuhan dan bandar udara di kawasan yang terkena amukan badai dikabarkan sudah berfungsi, kendati belum sepenuhnya rampung.

Saat ini sekitar 250.000 keluarga masih menjejali kamp-kamp pengungsi. Mereka mengeluhkan kekurangan bahan pangan dan minimnya akses air serta listrik. Pengamat mengkhawatirkan, dalam kondisi seperti ini para pengungsi akan kesulitan bertahan hidup jika badai kembali menghantam Filipina.

rzn/hp