1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Usai Malaysia, Filipina Pulangkan Sampah Negara Maju

31 Mei 2019

Hujan limbah dari negara maju juga merepotkan pemerintah Filipina. Setelah sempat bersitegang, Manila akhirnya memulangkan limbah milik Kanada. Mengapa negara maju gagal mengelola sampah sendiri?

https://p.dw.com/p/3JWdb
Tumpukan sampah di dekat bandar udara Manila, Filipina
Tumpukan sampah di dekat bandar udara Manila, FilipinaFoto: Getty Images/J. Aznar

Sampah sebanyak 69 kontainer milik Kanada dipulangkan pemerintah Filipina menyusul ketegangan diplomatik antara kedua negara. Pemerintahan di Manila sebelumnya sudah meminta Kanada menampung kembali limbah yang diekspor ke FIlipina beberapa tahun lalu.

Namun ketika seruan tak dihiraukan, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte pekan lalu mengecam pemerintah Ottawa dan memerintahkan agar kapal pengangkut sampah dipulangkan.

"Baaaa bye," kata Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin via Twitter saat ke-69 kontainer diangkut ke atas kapal di pelabuhan peti kemas Subic Bay. Menteri Lingkungan Kanada, Catherine McKenna sendiri menyambut kabar dipulangkannya sampah tersebut, "kami berkomitmen bersama Filipina dan bekerja erat dalam isu ini," kata dia seperti dilansir AFP.

Baca juga: Usai Larangan Impor Cina, Limbah Plastik Dunia Serbu Asia Tenggara

Kisruh sampah antara kedua negara berawal dari 2013, ketika sebuah perusahaan Kanada mengirimkan sampah yang kemudian ketahuan tidak bisa didaur ulang. Isu tersebut membebani hubungan diplomatik kedua negara selama bertahun-tahun. Ketegangan memuncak ketika Duterte mengancam akan "mendeklarasikan perang terhadap Kanada," dalam pidatonya April silam.

Sejak itu pemerintah Ottawa berjanji akan mengambil kembali sampah tersebut. Namun Kanada melewatkan tenggat waktu penjemputan sampah pada 15 Mei silam. Filipina pun mengancam bakal membawa sampah kembali dan membuangnya di perairan Kanada, klaim Jurubicara Duterte, Salvador Panelo.

Drama di Filipina terjadi hanya beberapa hari setelah Malaysia mengumumkan akan mengirimkan balik 450 ton limbah plastik ke Australia, Bangladesh, Kanada, Cina, Jepang, Arab Saudi dan Amerika Serikat.

Malaysia Tegas Kirim Balik Sampah Plastik ke Negara Maju

Malaysia di Jantung Bisnis Sampah Dunia

Pada 2018 silam Greenpeace melaporkan jumlah sampah plastik yang dikirimkan ke Malaysia mencapaui 626.000 ton. Jumlah tersebut cukup untuk memenuhi 15.600 kontainer berukuran panjang 12 meter. Limbah plastik dari AS dikabarkan meningkat dari 97,500 ton menjadi 195,400 ton usai Cina menutup keran impor sampah.

Repotnya sampah plastik yang dikirim sering terkontaminasi sehingga sulit atau bahkan mustahil didaur ulang.

Jumlah impor sampah yang masuk ke Malaysia diyakini jauh lebih tinggi, lantaran kenakalan operator yang kerap memalsukan dokumen. April silam sebuah perusahaan tertangkap tangan menyelundupkan 24 kontainer plastik kotor dari Spanyol yang dideklarasikan sebagai sampah daur ulang. Tanpa fasilitas pengolahan, perusahaan biasanya membuang limbah impor itu di hutan atau kebun sawit.

Impor sampah di Asia Tenggara meningkat pesat setelah Cina mengakhiri praktik pembelian limbah pada 2017 silam. Buntutnya berbagai perusahaan Cina memindahkan fasilitas pengolahan sampah ke negara-negara lain agar tetap bisa memetik keuntungan dari bisnis tersebut. Malaysia misalnya mengalami lonjakan jumlah pabrik sampah ilegal yang memperparah polusi udara.

Baca juga: Parlemen Eropa Larang Plastik Sekali Pakai Mulai 2021

Fenomena teranyar ini bisa diamati di kota Sungai Petani yang kini dilanda kabut asap hasil pembakaran sampah. Awalnya penduduk mengira asap datang dari kebakaran hutan di Indonesia. Ketika keluhan mulai menyeruak, pengelola pabrik mengubah jadwal pembakaran ke malam hari.

"Itu taktik mereka agar penduduk tidak tahu dari mana asalnya asap tersebut," kata Pua Lay Peng, ahli kimia yang hidup di kota Jenjarom yang juga terkena dampak polusi udara.

Gagalnya Manajemen Sampah di Negara Maju?

Gejolak limbah internasional juga menggarisbawahi ketidakmampuan negara maju mengolah sampah yang diproduksi sendiri. Jerman yang selama ini dianggap juara dunia pemilahan sampah misalnya hanya mendaur ulang 15% limbah plastik di dalam negeri, sisanya dijual ke luar.

Negara tujuan ekspor sampah usai penghentian keran impor oleh Cina
Negara tujuan ekspor sampah usai penghentian keran impor oleh Cina

Resminya pemerintah Jerman mengklaim tingkat daur ulang sampah mencapai 36 persen. Namun kepada DW, Asosiasi Ekonomi Daur Ulang Sumber Daya dan Air (BDE) membantah keaslian angka tersebut. "Jika satu bungkusan terdiri atas 20 hingga 30 materi yang berbeda-beda, maka proses daur ulangnya akan sangat mahal dan produk akhirnya akan sulit dijual," kata Peter Kurth, Direktur BDE.

Kanada adalah contoh lain. Negeri yang menempati urutan atas produksi sampah itu kesulitan meningkatkan neraca daur ulang yang saat ini hanya sebesar 30%. Sejak perubahan kebijakan di Cina semakin banyak sampah yang dialihkan ke tempat pembuangan akhir. Saat ini setiap penduduk Kanada memproduksi 2,7kg sampah per hari. Setiap tahun negara di ujung utara Amerika itu menghasilkan 31 juta ton sampah

Serupa Jerman yang pada 2017 mengekspor 340.000 ton sampah ke Cina, Kanada pun dimanjakan oleh daya serap limbah negeri tirai bambu tersebut. 

Baca juga: Bagaimana Singkong Bantu Perangi Sampah Plastik di Indonesia

Padahal Konvensi Pengawasan Pergerakan Lintas Batas Limbah Beracun yang turut ditandatangani negara-negara maju pada 1988 mewajibkan pemilik sampah memastikan tidak adanya ancaman terhadap kesehatan manusia atau lingkungan ketika mengeskpor atau mengelola limbah. Pemerintah Kanada sendiri mengaku sudah berhenti memberikan izin ekspor sampah kepada perusahaan nasional sejak tiga tahun silam.

Terhentinya arus ekspor limbah dari negara maju turut membebani industri daur ulang lokal. Inggris misalnya harus membakar satu setengah juta ton sampah tambahan akibat kebanjiran volume. Adapun Australia kini dipusingkan oleh 1,3 juta ton sampah yang sebelumnya diekspor ke Cina, namun kini menumpuk di TPA-TPA lokal.

rzn/ap (afp, rtr, thestar, scmp, globalnews)