1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Film “Memoria” Beri Suara Bagi Perempuan Timor Leste

Anggatira Gollmer
15 Februari 2019

Kamila Andini memboyong film "Memoria" ke Berlinale 2019. Sebuah film pendek mengenai situasi dan kondisi kehidupan perempuan di Timor Leste.

https://p.dw.com/p/3DRLD
Filmstill Memoria
Foto: Treewater Production

Kamila Andini bukan sosok baru di ajang festival film internasional Berlinale. Dua film panjang "Mirror Never Lies” dan "Sekala Niskala” sudah pernah tayang di Berlinale. Tahun ini dia membawa film pendek "Memoria" dan duduk di kursi juri.

"Memoria" bercerita tentang Maria, seorang penyintas pemerkosaan pada pendudukan Indonesia di Timor-Leste. Dari kasus perkosaan itu, dia melahirkan seorang anak perempuan. Hampir 20 tahun setelah itu, Maria tetap masih bergumul untuk mengatasi traumanya. Dia menyimpan banyak rahasia terhadap anaknya, dan terjebak dalam hubungan dengan seorang suami yang kasar.

Anak Maria, Flora, sedang beranjak dewasa dan tumbuh dalam masa yang tidak mengenal kekerasan perang. Dia terlihat ceria dan menjalani kehidupan sehari-hari. Tetapi konflik identitas dan keinginan kuat untuk keluar dari kemiskinan juga membayanginya. Dia berhadap bisa keluar dari situasi itu dengan cara menikah. Tetapi Maria menolak lamaran pacar Flora untuk menikahinya karena takut anaknya menjadi korban kekerasan seperti yang dia alami.

Dalam film "Memoria”, Kamila Andini menunjukkan berbagai luka akibat konflik Indonesia-Timor-Leste di tahun 1975-1999, serta imbasnya dalam berbagai lapisan hingga sekarang ini. Beberapa pemain dalam film "Memoria” merupakan penyintas kekerasan seksual selama masa pendudukan Indonesia di Timor-Leste.

"Ada banyak sekali yang harus dibicarakan di film ini: sisi sosial, politik dan budaya. Banyak yang mempengaruhi apa terjadi antara Maria dan anaknya. Ada kondisi politik di masa lalu, ada kungkungan budaya yang menyebabkan sekarang ini kekerasan masih terjadi di rumah tangga.” tutur Kamila Andini kepada DW di antara kesibukannya di Berlinale tentang  film berdurasi 35 menit ini.”Temanya sebenarnya kompleks dan cukup dalam, jadi membuatnya dalam format film pendek ini cukup berat.”

Kamila Andini
Kamila Andini di Berlinale 2019Foto: DW/A. Gollmer

"Kemanusiaan harus selalu ditegakkan"

"Memoria” tayang di Berlinale dalam kategori Native yang berfokus terhadap kisah suku-suku asli. Titik berat tahun ini adalah negara-negara serta kepulauan di Pasifik. 20 film terpilih untuk mewakili wilayah ini. Melalui kategori ini, Berlinale  ingin mengangkat perjuangan berbagai suku asli melawan penjajahan dan eksploitasi asing.

Setelah pemutaran perdana, Kamila bercerita, banyak yang mendatanginya untuk memberikan apresiasi bagi film "Memoria”. Mereka juga ingin tahu bagaimana reaksi warga Timor-Leste ketika Kamila,seorang pembuat film asal Indonesia,datang ke sana untuk mengangkat tema itu.

"Saya bukan orang politik, saya hanya pembuat film dan landasan saya selalu manusia. Kemanusiaan harus selalu ditegakkan, bagaimanapun dan dalam keadaan apapun. Indonesia punya pekerjaan rumah yang besar untuk menegakkan HAM, dan ini tidak bisa dilupakan,” jawabnya.

Untuk film itu, Kamila mengupayakan riset dengan para perempuan penyintas yang didanai oleh HIVOS Jakarta. "Saya berusaha berbicara dari perempuan ke perempuan, ibu ke ibu, anak ke anak, sehingga mereka percayai, saya ada di pihak mereka dan akan menjadi kepanjangan tangan dari suara mereka,” ceritanya lebih lanjut.

Filmstill Memoria
Film pendek "Memoria" bercerita tentang perempuan di Timor LesteFoto: Treewater Production

"Setiap suara butuh ruang"

Dalam Kategori Native di Berlinale 2019, Kamila Andini juga aktif selaku salah satu penasehat bagi pemilihan film-film yang ditayangkan. Sebuah tugas baru yang sangat menarik bagi sutradara kelahiran Jakarta ini, karena dia sendiri menyadari betapa pentingnya membicarakan tentang suku-suku asli, terutama di Indonesia.

"Banyak daerah-daerah atau budaya-budaya tertentu yang perlu menemukan ruangnya. Di tengah keberagaman budaya kita yang besar, setiap suara butuh ruang. Bagi saya percakapan ini harus dimulai di negara kita sendiri. Apalagi kita punya banyak suku dan bahasa daerah.Semuanya sebenarnya harus punya ruang,” ucap Kamila.

Bahasa daerah bukan hal asing bagi Kamila Andini. Film pertamanya "The Mirror Never Lies” menggunakan Bahasa Bajau, dan film kedua "Sekala Niskala” memakai Bahasa Bali. Film "Memoria" seluruhnya memakai Bahasa Tetun, bahasa asli di Timor-Leste.

"Bagi saya yang lahir dan besar di Jakarta, mencari kebudayaan-kebudayaan Indonesia dan perspektifnya dari berbagai sisi, itu seperti menemukan diri saya sendiri juga sebagai orang Indonesia.” kata Kamila.

Sebagai sutradara muda yang sudah berkali-kali ikut serta dalam Berlinale, Kamila Andini senang dengan semua tantangan baru di ajang festival film internasional ini. Tahun ini, disamping keterlibatan di kategori Native, dia pertama kali mendapat kehormatan menjadi anggota juri untuk kategori Generation.Tahun lalu,,filmnya "Sekala Niskala” mendapat penghargaan terbaik dalam kategori ini. (hp)