1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Forum Sosial Dunia

22 Januari 2007

Berawal dari Porto Alegre di selatan Brasil tahun 2001, forum itu dimaksudkan sebagai tandingan dari Forum Ekonomi Dunia yang diselenggarakan di Davos, kawasan liburan musim dingin bergengsi Swiss.

https://p.dw.com/p/CPVc
Pawai para peserta Forum Sosial Dunia di Nairobi, Kenya
Pawai para peserta Forum Sosial Dunia di Nairobi, KenyaFoto: AP

"Globalisasi tidak seluruhnya buruk, kita hanya perlu mewujudkannya dengan lebih baik." Kalimat itu akan sering terdengar dalam Forum Sosial Dunia yang diselenggarakan untuk ke-7 kalinya di Noirobi, Kenya dari tanggal 20 sampai 25 Januari. Forum ini bukan lagi hanya semata-mata ditujukan untuk menentang kekuasaan kapitalis, melainkan hendak diupayakan untuk menjadi jembatan dengan dunia yang kaya dan berkuasa. Mereka yang hadir di Forum Sosial Dunia ini terutama hendak mengubah bentuk globalisasi untuk kemudian ikut berpartisipasi di dalamnya.

Elisabeth berusia 55 tahun. Ia hidup bertani di negara asalnya Sambia. Ia datang ke Nairobi untuk berkenalan dengan para petani dari negara-negara berkembang lainnya, terutama untuk mengetahui, bagaimana mereka dapat keluar dari jerat kemiskinan. Menurut Elisabeth, jalan keluarnya mudah saja: "Kita harus memanfaatkan sumber-sumber alam secara adil. Kalau itu dibagi secara merata, pastilah tidak ada kemiskinan. Tetapi sekarang ada negara yang sangat kaya dan yang sangat miskin. Hanya kalau semua negara punya peluang yang sama, kemiskinan dapat diatasi."

Penerima Hadiah Nobel Perdamaian asal Kenya, Wangari Mathai, juga bersuara sama. Ia mengharapkan kesadaran dari belahan utara bumi: "Kalau separuh dunia ini berdarah, maka separuhnya lagi juga akan merasakannya. Sekarangpun sudah terlihat, sebesar apa energi yang dikeluarkan oleh negara-negara di utara untuk membendung kaum migran, yang datang kesana karena melihat peluang yang lebih besar."

Wangari Mathai termasuk di antara sejumlah utusan benua Afrika dalam Forum Sosial Dunia di Nairobi, yang mengutamakan dialog. Ia yakin globalisasi tidak dapat dihentikan lagi. Ia pun melihat adanya peluang dalam globalisasi, sehingga ia ingin ikut aktif dalam mewujudkannya. Tetapi ia menghendaki sinyal yang jelas dari negara-negara industri: "Kami mengimbau negara-negara di utara agar lebih mengutamakan energi alternatif. Pengurasan habis-habisan sumber daya alam, ketergantungan besar mereka akan minyak dan gas telah merusak lingkungan. Kita semua tahu, negara-negara miskinlah yang lagi-lagi paling terkena dampak perubahan iklim."

Bagi Jakob Kodja asal Kamerun, perubahan iklim bukanlah penyebab mengapa ia menjadi aktifis. Sejak UE mengekspor daging ayam ke Kamerun dengan harga sangat murah berkat subsidi, produsen setempat tidak mampu lagi bersaing. Jakob juga menghendaki globalisasi yang lain bentuknya. Ia resah dengan perjanjian kemitraan baru di bidang ekonomi yang hendak dijalin Eropa dengan negara-negara Afrika tahun ini juga. Peternak ayam itu hendak melindungi pasaran lokal: "Bagaimana negara seperti Kamerun bisa bersaing? Eropa 'kan merupakan kekuatan ekonomi yang besar. Kami memerlukan hubungan dagang yang adil. 'Kan tidak bisa gajah ditempatkan untuk bertanding dengan cengkerik."

Itu pulalah yang menyebabkan Philipp Hersel ke Nairobi. Ia adalah anggota tim Jerman dari perhimpunan anti globalisasi Attac. Dalam Forum Sosial Dunia Philipp Hersel hendak menjumpai orang-orang seperti Jakob Kodja dan mengumpulkan alasan untuk memprotes KTT G-8 yang akan diselenggarakan di Jerman bulan Juni mendatang.

Philip Hersel menyadari, bahwa kritik terhadap globalisasi di belahan selatan bumi berbeda dengan di utara, dimana penentang globalisasi tergolong elit: "Forum serupa ini, juga penting bagi kredibilitas diri sendiri. Hanya dengan begitu kami nanti dapat mengatakan, apa yang kalian bicarakan dalam G-8 berbeda dari apa yang dikatakan oleh orang-orang di selatan. Padahal katanya kalian menjalankan politik demi kepentingan mereka."