1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gelombang Kekerasan Berlanjut, Polisi Kian Tersudut

26 September 2019

Kepolisian mendapat kritik tajam menyusul penggunaan tindak kekerasan oleh aparat keamanan. Indonesia Police Watch menuntut Polri berbenah diri. Menurut IPW brutalitas polisi diakibatkan lemahnya pengawasan di lapangan

https://p.dw.com/p/3QGk4
Indonesien Jakarta | Studentenproteste vor dem Parlament
Foto: Reuters/W. Kurniawan

Sekitar 500 pelajar dan mahasiswa sempat mendekam di dalam tahanan kepolisian menyusul kerusuhan selama aksi demonstrasi di Jakarta. Dalam beberapa kasus sejumlah demonstran dikabarkan melemparkan batu dan bom molotov ke arah aparat keamanan. Saat ini aksi lanjutan diyakini masih akan berlangsung di berbagai kota besar di Indonesia.

"Sebagian besar sudah dijemput pulang oleh keluarga," Kata Kombes Argo Yuwono, Kabid Humas Polda Metro Jaya, kepada media-media di tanah air.

Polisi mengklaim pihaknya tetap menahan tersangka aksi kekerasan yang membawa pisau atau senjata tajam lain saat demonstrasi berlangsung.

Meski demikian tindak tanduk aparat keamanan tetap mendulang kritik khalayak ramai, terutama di media sosial. Polda Metro Jaya misalnya ketahuan menebar hoaks saat menyebut salah satu ambulans milik Palang Merah Jakarta Timur membawa batu dan bom molotov untuk dibagikan ke demonstran.

Belakangan polisi meralat pernyataan setelah mencabut video yang beredar di Twitter. Menurut Argo, ambulans tersebut sedang membawa seorang demonstran yang diklaim turut membawa "batu dan bensin," katanya seperti dilansir Detik.

Namun episode runyam itu tidak berakhir damai. Kepala Kantor PMI Jaktim, Eq Prasetyo, melalui akun Facebook-nya menuding kepolisian "memukul" petugas kesehatan, "bahkan tersungkur di dalam ambulans." Dia juga menulis aparat "menginjak" petugas PMI yang melakukan pertolongan. Belum jelas apakah tuduhan tersebut bisa dibuktikan.

Brutalitas aparat kepolisian juga turut dirasakan sejumlah wartawan yang datang meliput. Beberapa awak media mengeluhkan polisi menghalangi tugas jurnalistik, antara lain dengan mengamankan telepon seluler atau mencegah wartawan mengambil gambar. Bahkan TNI perlu mengeluarkan pernyataan damai saat ada anggota Polri yang menembaki salah satu asrama tentara dengan gas air mata ketika mengejar demonstran.

Dalam hal ini Ketua Presidium Indonesian Police Watch, Neta S. Pane, beranggapan aksi brutal aparat keamanan tidak bersifat struktural, melainkan masalah pengawasan yang "lemah" di lapangan. "Seharusnya polisi tidak mudah terpancing," kata dia saat dihubungi DW.

"Tapi karena lemahnya pengawasan oleh pimpinan unit di lapangan, sehingga aparat juga terpancing bertindak brutal seperti sebagian demonstran," kata dia. "Polisi seharusnya mampu mengendalikan perilaku aparatnya di lapangan. Kalau mereka terprovokasi oleh massa, maka mereka sudah gagal sebagai polisi profesional."

Saat ini mahasiswa telah mengajukan sejumlah tuntutan kepada Istana Negara dan DPRI RI. Butir tuntutan antara lain berisikan pembatalan pengesahan RKUHP dan revisi naskah yang memuat pasal bermasalah. Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan, Wiranto, sendiri menjanjikan proses legislasi RKUHP akan dilimpahkan kepada DPR RI periode 2019-2024 yang baru akan dilantik bulan depan.

Namun tawaran damai pemerintah belum diterima sepenuhnya menyusul rencana aksi protes lanjutan di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia.

rzn/ap (afp,dw)