1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Generasi Muda Aljazair dan Tunisia Berontak

11 Januari 2011

Puluhan tewas dalam kerusuhan di Aljazair dan Tunisia. Angka pengangguran tinggi, naiknya harga sembako dan represi politik menyebabkan meluapnya kemarahan warga di kedua negara itu.

https://p.dw.com/p/zwSC
Pengunjuk rasa di Tunis tuntut haknyaFoto: dapd

Angka pengangguran tinggi dan kurangnya perspektif masa depan bagi kaum muda. Itulah yang melandasi menyeruaknya unjuk rasa dan aksi kekerasan di Tunisia dan Aljazair. Di kedua negara ini, mayoritas penduduknya berusia di bawah 35 tahun. Di Tunisia, angka pengangguran tinggi terutama di kalangan akademisi muda. Rafik misalnya. Lulusan perguruan tinggi yang berusia 27 tahun ini sudah tiga tahun mencari kerja.

"Untuk mendapatkan pekerjaan, orang harus siap membayar uang pelicin, atau harus punya koneksi. Tanpa uang suap dan koneksi, tidak mungkin mendapat pekerjaan. Dan kalau ada orang yang mengeluhkan hal ini, ia terancam dijebloskan ke penjara", demikian Rafik.

Tanpa pekerjaan, warga muda di kawasan Magreb tidak punya perspektif masa depan. Karena itu, baik di Tunisia maupun di negara tetangganya Marroko banyak warga muda yang memilih untuk bermigrasi ke Eropa, baik secara legal maupun ilegal.

'Hogra' Picu Tindakan Radikal

Angka pengangguran tinggi bukan satu-satunya faktor yang mendorong warga muda Tunisia dan Aljazair turun ke jalan. Alasan lainnya adalah represi politik dan apa yang disebut "Hogra", rasa malu karena tak berdaya menghadapi para penguasa. Di Tunisia semuanya bermula beberapa pekan lalu. Seorang pedagang sayuran yang berulang kali diperlakukan semena-mena oleh pihak berwenang, memilih untuk membakar diri di depan umum. Kasus ini yang memicu reaksi keras dan protes massal di Tunisia.

Algerien Ausschreitungen Lebenshaltungskosten Arbeitslosigkeit
Kesenjangan sosial di Aljazair picu kemarahan wargaFoto: dapd

Di Aljazair, tingginya harga sembako memicu penjarahan toko-toko dan pembakaran simbol-simbol kekayaan. Aljazair sebenarnya kaya minyak dan gas bumi. Tapi, keuntungan dari ekspor sumber daya alam ini malah mengalir ke kantung elit politik atau digunakan untuk membeli senjata berat.

Thomas Schiller, pakar untuk kawasan Magreb Yayasan Konrad-Adenauer mengatakan ia tak heran unjuk rasa akhirnya marak di Aljazair dan Tunisia. "Bagi pakar kawasan ini, kesenjangan sosial di Marokko, Aljazair dan Tunisia ibarat bom waktu. Yang mengejutkan sebenarnya adalah bentuk pemberontakan kaum muda dan betapa cepatnya gerakan ini menyebar."

Pemerintah Janjikan Perbaikan

Di Aljazair, situasi baru mereda setelah Presiden Abdelaziz Bouteflika berjanji akan menurunkan harga sembako seperti minyak goreng dan gula.

Sebaliknya di Tunisia, situasi tetap panas, meski Presiden Zine el Abidine Ben Ali berjanji menciptakan 300.000 lapangan kerja baru. Di seluruh Tunisia, makin banyak orang turun ke jalan untuk memprotes angka pengangguran yang tinggi, penindasan, ketidakadilan dan dibatasinya kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.

"Kami berhak mendapatkan pekerjaan!" Itulah tuntutan yang diserukan para pengunjuk rasa di jalanan Tunisia. Apakah ini merupakan awal dari suatu pergantian rezim? Pakar kawasan Magreb Thomas Schiller meragukannya.

"Masalahnya adalah, saat ini tidak ada alternatif lainnya. Baik di Aljazair maupun di Tunisia tidak ada alternatif terpercaya bagi sistem politik yang ada saat ini. Kerusuhan ini adalah tantangan bagi pemerintah kedua negara itu, yang dituntut melakukan lebih banyak untuk memeratakan kesejahteraan sehingga warganya ikut merasakan dampak dari pertumbuhan ekonominya", demikian analisa Schiller.

Ayari, Chamselassil / Mudhoon, Loay/Ziphora Robina
Editor: Marjory Linardy