1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gerak Cepat Perancis di Libya

1 September 2011

Sejak awal konflik, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy sudah menentukan dukungan bagi kelompok perlawanan. Langkah diplomasi Perancis dinilai cukup berhasil.

https://p.dw.com/p/12Rhg
FILE - French President Nicolas Sarkozy (L) gestures as he speaks to Mahmud Jibril of the Libyan National Transitional Council, after a meeting with envoys from Libya's opposition, at the Elysee Palace, Paris, 10 March 2011. Mahmud Jibril was elected the leader of the Libyan opposition in Benghazi, Arabian TV channels reported on Wednesday, March 23, 2011. EPA/MAXPPP/CHRISTOPHE MORIN FRANCE OUT - BELGIUM OUT +++(c) dpa - Bildfunk+++
Nicolas Sarkozy bersama pimpinan Dewan Transisi Libya Mahmud Jibril, Maret 2011.Foto: picture-alliance/dpa

Harian Perancis Libération menyoroti peran Perancis dalam konflik di Libya, terutama dukungannya untuk misi militer internasional.

Dengan langkah cepat di panggung diplomasi, yang diiringi aksi militer terencana, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy berhasil membuat perubahan spektakuler. Setelah bertahun-tahun kekacauan diplomasi dan pendekatan pada rejim-rejim otoriter di kawasan selatan Laut Tengah, Libya akhirnya menoreh sejarah baru, mengikuti perkembangan zaman. Perancis sekarang membuka peluang baru dengan menggelar konfrensi internasional untuk Libya. Perancis bisa meletakkan dasar-dasar baru bagi politik untuk kawasan Arab.

Harian liberal kiri Inggris Guardian dalam tajuknya menilai, menciptakan perdamaian jauh lebih sulit daripada melaksanakan perang. Selanjutnya harian ini menulis:

Hari-hari pertama setelah era Gaddafi, upaya melakukan perdamaian sama gentingnya seperti melaksanakan perang. Tapi Libya bukanlah Irak. Di sini tidak banyak ruang untuk konflik berlatar belakang agama. Jika Dewan Transisi Nasional berhasil menyeimbangkan  berbagai kepentingan dan perwakilan suku-suku, maka bisa tercipta sebuah konsensus nasional yang bertahan lama. Dewan Transisi sudah memperkenalkan rencana 18 bulan sampai bisa terlaksana pemilihan umum. Dewan Transisi menolak penempatan misi militer internasional di Libya. Ini sebenarnya langkah yang baik. Sebab salah satu masalah para penengah asing adalah, mereka tidak pernah tahu, kapan mereka harus berhenti.

Harian Belanda de Volkskrant menyoroti sikap negara-negara Afrika yang tergabung dalam Uni Afrika dan menulis:

Rejim Gaddafi sudah jatuh. Tapi banyak negara anggota Uni Afrika tidak mau menerima kenyataan ini. Mereka masih belum mau mengakui Dewan Transisi Nasional sebagai otoritas baru di Libya. Memang banyak pemimpin Afrika yang punya kesulitan untuk berpaling dari Gaddafi. Ini bisa dimengerti. Gaddafi selalu memberi sumbangan besar untuk Uni Afrika. Beberapa pimpinan Afrika juga kuatir, api revolusi Libya bisa menjalar ke daerahnya. Para pemimpin Afrika sebaiknya melakukan perhitungan rasional. Sebab di masa depan, Libya tetap bisa memberi bantuan dana kepada Uni Afrika.

Mengenai sikap Dewan Transisi Nasional di Libya, harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung berkomentar:

Penguasa baru di Libya menolak kehadiran militer internasional di negaranya. Bagi pemerintah Jerman, sikap Dewan Transisi Nasional cukup melegakan. Sebab Jerman tidak perlu mempertimbangkan pengiriman serdadu ke Libya, misalnya sebagai pengamat. Permintaan yang mungkin diajukan kepada Jerman adalah bantuan dalam bentuk lain, yaitu bantuan untuk pembangunan kembali. Mitra-mitra Jerman bisa mengajukan permintaan itu secara langsung atau tidak langsung. Tapi perusahaan-perusahaan Jerman tidak perlu berharap akan mendapat banyak proyek di Libya. Sebab Jerman tidak ikut misi militer ke negara itu.

Hendra Pasuhuk/dpa/afp
Editor: Dyan Kostermans