1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gerakan Perempuan di Irak

30 Juli 2006

Di Sulaimana, kota kedua terbesar di wilayah Kurdistan, Irak Utara, sekelompok perempuan berusaha mmencapai perbaikan.

https://p.dw.com/p/CPWh
Seorang perempuan Irak dengan baju "Posheya" dalam sebuah aksi protes di Baghdad saat perayaan Hari perempuan Sedunia.
Seorang perempuan Irak dengan baju "Posheya" dalam sebuah aksi protes di Baghdad saat perayaan Hari perempuan Sedunia.Foto: AP

Di Irak Utara, perasaan aman bisa dalam sekejap berubah. Misalnya, bila Turki yang menghadapi konflik internasl dengan partai buruh PKK di Kurdistan, menyerang Irak Utara dengan dalih melawan terorisme. Namun gejolak perubahan terasa di banyak tempat dan kalangan.

Jalan-jalan besar di Sulaimana yang sedang "booming" ini seringkali macet. Anak-anak muda berlalu lalang di kawasan pertokoan dan restoran. Seperti kebanyakan warga Sulaimana, mereka merasa aman. Peperangan dan aksi teror di Irak Selatan dan Tengah, cukup jauh dari kota mereka. Tentara-tentara asing tidak mewarnai pemandangan. Di sebuah jalan raya di pusat kota, bergantung sebuah papan bertuliskan: „Khanzad – Pusat Kebudayaan dan Sosial untuk Wanita dan Remaja Perempuan“. Penjaga di depan pagar hanya membolehkan perempuan memasuki gerbang. Lelaki dilarang masuk.

Dalam taman yang luas duduk berkelompok sejumlah perempuan di atas rumput. Di ujung taman terdapat sebuah gedung bertingkat dua. Peluh menari di kulit 30 perempuan yang bersenam mengikuti ritme musik di lantai dasar gedung itu. Di lantai atas, berlangsung pelajaran membaca.

Setiap tahunnya sekitar 7000 perempuan mengikuti program-program yang ditawarkan Pusat Kebudayaan dan Sosial ini. Mereka mendaftarkan diri pada kursus komputer, kursus membaca atau menggunakan layanan konsultasi yang ditawarkan lembaga itu untuk masalah-masalah keluarga dan sosial.

Khandan Mohammed Jeza adalah ketua tim yang mengelola Pusat Kebudayaan dan Sosial Perempuan, yang sering menggelar acara sosial dan budaya itu. Ia masih ingat saat pembukaan Pusat Kebudayaan ini tahun 1996. Kondisi Irak saat itu masih dipengaruhi embargo dan pertentangan antara kedua partai politik terbesar negara itu. Mengingat kembali, Khandan menuturkan:

Khandan Jeza: “KHANZAD adalah organisasi pertama di Kurdistan yang dibentuk secara independen, tanpa ketergantungan pada partai manapun dan ditujukan hanya untuk perempuan. Walaupun kondisi politik sangat sulit diatasi, Khanzad berhasil mempertahankan posisinya.“

Baru di akhir tahun 90-an bermunculan kelompok perempuan yang mengikuti jejak Khanzad, antara lain Organisasi untuk Kebebasan Perempuan Irak yang dipimpin Yanar Muhammad. Kelompok-kelompok perempuan ini kemudian membangun jaringan dan mulai membahas tema-tema tabu seperti kekerasan dalam rumah tangga dan pembunuhan yang dilakukan demi menjaga kehormatan keluarga.

Khandan Jeza: „Media nasional selalu menggambarkan seakan-akan perempuan di Kurdistan tidak punya masalah apa-apa. Seakan-akan perempuan Kurdistan memiliki kebebasan. Padahal kebanyakan perempuan di negeri ini tidak memiliki hak apa-apa dalam keluarganya. Sampai sekarang bahkan seorang janda pun masih diatur kehidupannya. Mereka tidak bisa menjalani kehidupannya sendiri, tidak boleh memiliki apartemen maupun rumah sendiri. Memang betul, kami sudah memiliki lebih banyak hak daripada dulu, misalnya hak memilih. Selain itu perempuan juga duduk dalam pemerintahan, dan memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.“

Ketika Saddam Hussein digulingkan Maret 2003, para pemimpin kelompok Shiah menuntut agar Irak menjadi negara Islam dengan konstitusi yang didasari hukum Sharia. Di balik layar para pemimpin itu menetapkan resolusi 137, yang menafikan hukum keluarga sebelumnya dan menggantikannya dengan hukum Sharia hasil interpretasi mereka. Resolusi itu bukan saja membuat kaum perempuan khawatir. Berbagai pihak moderat lain juga menilai, Irak bakal semakin rawan konflik, bila setiap komunitas Islam memberlakukan peraturannya sendiri.

Organisasi-organisasi perempuan dan tokoh-tokoh moderat kemudian bergerak menentang resolusi itu dengan mengadakan demonstrasi damai dan sejumlah konperensi pers. Namun dalam penetapan konstitusi Irak, lebih dari separuh anggota komisi konstitusi itu berasal dari Aliansi Persatuan Shiah di Irak, UIA. Hanya delapan orang perempuan duduk dalam komisi 55 orang itu, diantaranya 5 orang anggota UIA, dua orang wakil dari Kurdistan dan hanya satu orang yang independen. Walaupun begitu, perempuan Irak berhasil meng-golkan jaminan 25 persen kursi parlemen dalam konstitusi. Dengan begitu ada harapan bahwa perempuan tetap bisa menentukan arak politik negaranya.

Untungnya selama pemerintahan Saddam Husein, walaupun brutal, perempuan masih berkesempatan mengenyam pendidikan. Selain itu, sejak 1980 perempuan memiliki hak memilih dan dipilih. Sekarang, atas desakan gerakan perempuan, pemerintah regional Kurdistan di Irak Utara menetapkan sejumlah peraturan yang menguatkan hak-hak perempuan. Namun langkah maju ini semakin lama semakin terancam oleh pengaruh kelompok-kelompok fundamentalis di Irak Tengah dan Selatan.

Khandan Jeza: „Kami sudah bertahun-tahun memperjuangkan hak perempuan di Kurdistan dan mengharapkan lebih banyak hak perempuan yang ditetapkan dalam konstitusi Irak. Kami harus berdaya agar hukum Sharia tidak menjadi dasar utama hukum di dalam konstitusi ini. Karena banyak ketentuan dalam hukum Sharia yang bertentangan dengan hak asasi manusia.“

Begitu ungkap Khandan Mohammed Jeza. Pekerjaan Pusat Kebudayaan dan Sosial Perempuan ini sekaran diakui pihak pemerintahan. Walaupun begitu pendanaan kegiatannya masih tidak pasti. Sampai saat ini. Tanpa dukungan dari organisasi internasional seperti organisasi bantuan Jerman, Haukari, lembaga itu bakal terpaksa ditutup. Shilan, perempuan muda berusia 20 tahun, untuk sementara mengesampingkan masalah ini. Ia sedang sibuk menghadapi ujian akhirnya.

Shilan: “Pada masa peperangan, kami mengungsi ke desa. Di sana tidak ada sekolahan, karenanya saya tidak bisa mengikui ujian. Jadinya saya baru bisa mengikuti ujian itu sekarang.“

Dalam beberapa tahun terakhir sekitar 100 orang perempuan berhasil menuntaskan ujian akhirnya dan sesudah itu, melanjutkan pendidikan.

Shilan: Saya suka berada disini. Gurunya bagus. Dan belajar itu menyenangkan. Bila saya lulus ujian, saya juga akan melanjutkan pendidikan saya.”

Jaminan untuk pendidikan dan perbaikan kehidupan perempuan di Irak, juga bergantung pada kekuatan sistim judisial negara itu. Peluangnya bukan tidak ada. Cukup banyak pengacara dan hakim perempuan yang terlatih sejak sebelum perang. Di Irak Utara, perempuan yang bertindak sebagai hakim pengadilan diterima secara luas oleh masyarakat. Namun kondisinya tidak sama di semua tempat. Nidal Nasser Hussein, yang sempat ditetapkan sebagai hakim perempuan pertama di kota Najaf yang dikuasai kaum Shiah, ditolak mentah-mentah oleh masyarakat. Majelis ulama Shiah serta merta mengeluarkan fatwa yang hanya memperbolehkan hakim lelaki. Sampai sekarang status Nidal Nasser Hussein dibiarkan mengambang.

Dengan begitu banyak hambatan dan ancaman yang dihadapi, perempuan Irak tetap harus berjuang agar jalan menuju perbaikan kehidupan tidak menjadi fatamorgana semata.