1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Guru JIS Divonis 10 Tahun Penjara

rzn/as2 April 2015

Guru Jakarta Intercultural School asal Kanada, Neil Bantleman divonis kurung 10 tahun oleh PN Jaksel. Putusan tersebut mengundang cibiran publik karena adanya sejumlah kejanggalan pada proses persidangan.

https://p.dw.com/p/1F1w5
Jakarta International School William James Vahey
Foto: picture alliance/AP Photo

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memvonis bersalah terdakwa asal Kanada, Neil Bantleman. Pria yang bekerja sebagai guru Jakarta Intercultural School (JIS) itu harus mendekam selama 10 tahun di penjara, serta membayar denda Rp. 100 juta.

"Jika tidak dapat membayar denda, dapat diganti pidana kurungan selama enam bulan," kata ketua majelis hakim, Nur Aslam Bustaman. Majelis berdalih, Neil terbukti bersalah berdasarkan bukti-bukti hasil pemeriksaan forensik terhadap korban, hasil uji psikologi dan keterangan saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.

Neil didakwa melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap murid JIS. Pria Kanada itu sendiri tidak mengaku bersalah. Namun tiga saksi ahli psikolog yang dihadirkan jaksa menyebutkan, pihaknya tidak menemukan adanya indikasi kebohongan pada kesaksian korban mengenai identitas pelaku.

Kejanggalan pada Putusan Hakim

Kasus Neil sempat mendapat angin baru setelah hasil uji Anuskopi yang dilakukan rumah sakit Women's and Children's Hospital di Singapura terhadap korban tidak menemukan adanya indikasi pelecehan seksual. Hasil tersebut berbeda dengan hasil pemeriksaan rumah sakit di Indonesia.

"Kalau ingin memeriksa kondisi anus kan seharusnya dibius dulu. Tapi di rumah sakit di Indonesia tidak dan dua jam saja sudah selesai. Bagaimana bisa?" ujar Hotman Paris yang bertindak sebagai kuasa hukum Neil.

Namun majelis hakim tidak mengindahkan bukti baru tersebut dengan alasan administratif. Menurut pengadilan, semua bukti harus berupa dokumen asli dan bukan fotokopi. Dalih tersebut dibantah Hotman lantaran dokumen yang diajukan pihaknya telah dilengkapi dengan putusan Pengadilan Tinggi Singapura.

Tanpa bukti fisik, putusan pengadilan sepenuhnya berdasarkan kesaksian korban. Namun kuasa hukum terpidana curiga, korban yang masih anak-anak itu dipaksa untuk menyebutkan Neil sebagai pelaku.

Tidak heran jika kritik bermunculan atas putusan pengadilan. "Ini adalah noktah hitam lain untuk reputasi PN Jakarta Selatan," kata aktivis HAM, Andreas Harsono.

rzn/as (antara, dpa, ap)