1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gus Dur, Gus Yaqut dan Sikap Terhadap Kelompok Islam Radikal

4 September 2017

K. H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940. Simak bagaimana sikap cendikiawan Muslim ini terhadap kelompok Islam radikal di Indonesia. Opini M.Guntur Romli.

https://p.dw.com/p/2j9b0
Indonesien Gus Dur - Abdurrahman Wahid, ehemaliger Präsident
Foto: picture-alliance/dpa/S. Shamsudin

Memandang Gus Yaqut, Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor, saya selalu teringat pada sosok yang paling saya kagumi: Gus Dur. Ada persamaan yang menautkan keduanya, sama-sama memiliki ketegasan terhadap kelompok garis keras, khususnya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam.

Sikap ini bukan tanpa resiko, baik Gus Dur dan Gus Yaqut menjadi sasaran empuk fitnah, yang paling sering adalah: musuh Islam. Tuduhan ini jelas-jelas tidak masuk akal, bagaimana mungkin Gus Dur yang memimpin ormas Islam terbesar di Indonesia selama tiga periode (15 tahun), dituduh anti Islam? Demikian pula Gus Yaqut yang memimpin gerakan pemuda muslim terbesar di Indonesia, tapi dituduh anti Islam? Tapi inilah fitnah dan kebohongan yang berasal dari mereka yang sudah memiliki kebencian yang berkarat-karat, akal sehat pun selalu dijongkokkan, sehingga yang menyembur emosi dan hasud yang meluap-luap.

Penulis:  Mohamad Guntur Romli
Penulis: Mohamad Guntur Romli Foto: Privat

Tapi fitnah dan tuduhan itu selalu dikaitkan dengan sikap keduanya yang tegas terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras. Meskipun keduanya adalah pemimpin dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia, namun karena tidak mau tunduk dan mendukung terhadap agenda-agenda kelompok radikal, maka dengan serta merta diberi cap: anti Islam.

Namun fitnah dan tuduhan ini tidak membuat keduanya ciut dan gelombangnya surut, saya kira kepercayaan dan akar keduanya yang kuat dalam ormas keislaman ini tidak mudah menggoyahkan. Seperti yang saya singgung di atas, Gus Dur memimpin ormas Islam terbesar dan Gus Yaqut mengendalikan ormas kepemudaan muslim terbesar, bahkan orang bodoh sekalipun tidak akan percaya bahwa tokoh dari dua ormas Islam terbesar itu tidak membela bahkan dituduh Islam. Jadi yang menuduh keduanya tidak membela Islam bukan orang bodoh, tapi bodoh saja belum, artinya masih di bawah orang bodoh.

Dengan akar dan pengaruh di ormas Islam ini, Gus Dur dan Gus Yaqut tak tergoyahkan, bahkan keduanya memiliki otoritas seperti layaknya kurator yang bisa menentukan mana produk yang asli, mana yang palsu, mana seni yang bermutu tinggi, mana yang abal-abal, Gus Dur bisa menentukan mana Islam yang benar mana Islam yang salah, kalau dalam istilah Gus Yaqut mana kelompok yang benar-benar religius atau hanya "gombal religius".

"Darah biru" pesantren

Dengan memiliki "darah biru" pesantren, seperti halnya Gus Dur, lingkaran Gus Yaqut juga tampak kokoh. Saya mengamati di lingkungan pengurus Gerakan Pemuda Ansor, para pengurusnya tunduk bukan hanya karena hierarki kepemimpinan dalam sebuah organisasi, tapi juga hierarki sosiologis dunia pesantren yang dikenal dalam relasi santri dan putra kyai. Yaqut adalah seorang Gus, putra kyai, almarhum KH Cholil Bisri, Rembang dan keponakan KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Sehingga saya mengamati dalam lingkaran Gus Yaqut banyaknya individu-individu yang ingin mengabdi. Ketaatan dan kekompakan ini menjadi ciri khas yang unik dalam kepemimpinan Gus Yaqut di Ansor.

Namun demikian, meski seorang Gus, dalam relasi sehari-hari, Gus Yaqut sangat egaliter. Dalam kepengurusan GP Ansor dieratkan dalam persahabatan, seperti halnya panggilan akrab antara anggota Ansor dan Banser terhadap lainnya dengan "sahabat", Para Pengurus GP Ansor pun memanggil Gus Yaqut dengan "Sahabat Ketum" Ketum: Ketua Umum.

Namun panggilan "sahabat" ini masih dituding kurang islami oleh kelompok-kelompok Islam produk baru, haruslah memakai panggilan "akhi dan ukhti". Meskipun kata "sahabat" berasal dari bahasa Arab, dan orang-orang dekat yang membela Rasulullah dan berjuang bersamanya disebut para sahabat. Tapi memang begitulah, klaim-klaim paling Islam menjadi ciri khas kelompok-kelompok baru itu, ibarat orang yang baru belajar jurus silat yang gemar memamerkan jurus-jurusnya. Ibarat padi kalau masih hijau tegak dengan kepala congkak, tapi kalau sudah berisi akan menunduk tawadhu'.

Mengapa Gus Dur dan Gus Yaqut memiliki ketegasan terhadap kelompok Islam radikal? Ada cara pandang yang menyamakan keduanya, dan sungguh tepat: keduanya memandang kelompok-kelompok radikal itu bukan sebagai ormas dakwah keagamaan tapi tidak lebih sebagai kelompok politik kekuasaan yang sedang menyaru dalam gamis agama, yang sedang melakukan politisasi agama. Dalam konteks ini, agama hanya dijadikan sebagai amunisi untuk menyerang lawan politiknya demi kesuksesan kekuasaan.

Saya teringat tahun 90-an, saat Gus Dur menolak keras ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), yang dijadikan sebagai alat politik Soeharto untuk mencari legitimasi keislaman dan mendulang suara dari komunitas muslim. Karena penolakannya ini, Gus Dur menjadi bulan-bulanan dituduh anti Islam (meskipun waktu itu ia Ketua Umum PBNU) dan melawan rejim kekuasaan saat itu. Sikap Gus Dur jelas-jelas tidak populer, bahkan membahayakan dirinya dan kelompoknya.

Kelompok radikal masuk dalam lingkaran kekuasaan

Namun bagi Gus Dur, cara Soeharto yang mempolitisasi Islam dan kelompok Islam melalui ICMI telah mengundang kelompok-kelompok radikal masuk dalam lingkaran kekuasaan, apalagi saat itu Soeharto makin meminggirkan NU dan Gus Dur, sehingga kelompok-kelompok muslim moderat makin terpojok. Gus Dur mengingatkan Soeharto peristiwa politik di Aljazair, di mana kelompok Islam politik radikal memenangkan pemilu, namun akhirnya dibatalkan dengan campur tangan militer dan kebuntuan serta distabilitas politik di sana, bisa terjadi di Indonesia.

Dengan penuh keberanian, saat Soeharto menghalang-halangi Rapat Akbar NU di Jakarta tahun 1994, Gus Dur mengirimkan surat:

"Dengan menghalangi NU mendapatkan legitimasi penuh bagi posisi-posisinya, tanggung jawab orientasi keagamaan kini berada di tangan pemerintah. Apalagi pemerintah juga gagal, maka dalam sepuluh tahun mendatang, kekuatan yang tidak mampu menerima ideologi nasional akan bertambah besar dan akan mengancam Republik Indonesia beserta Pancasila....Yang saat ini terjadi di Aljazair akan terjadi di sini...Dan bila kecenderungan ini berlanjut, sebuah negara Islam akan menggantikan negara yang kita miliki sekarang ini." (Dalam buku "NU vis a vis Negara" karya Andree Feillard, hlm 405).

Dalam tahun-tahun setelahnya Gus Dur juga memiliki sikap yang tegas terhadap kelompok-kelompok Islam radikal, baik Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Gus Dur konsisten menyuarakan pembubarannya, karena selain sering main hakim sendiri, kelompok-kelompok itu bukanlah ormas dakwah keislaman tapi alat politik yang hanya memakai agama sebagai kedok semata.

Bagaimana dengan alasan Gus Yaqut yang juga memiliki ketegasan yang sama terhadap kelompok Islan radikal?

Dalam kesempatan yang saya dengar dari ceramah Gus Yaqut, mengapa memiliki sikap yang tegas dan menolak kelompok Islam radikal, paling tidak berpulang pada dua alasan utama.

Pertama, kelompok-kelompok Islam radikal itu tidak pernah mau menganggap "kita" dalam istilah Gus Yaqut adalah NU, Ansor dan Banser NU, sebagai bagian dari standar keislaman mereka. Artinya komunitas dan ormas yang Gus Yaqut terafiliasi tidak dianggap Islam, baik karena dasar doktrin: seperti tuduhan khurafat, bid'ah, takhayul, artinya NU selalu dituduh tidak mengamalkan Islam yang murni, tapi yang Islam yang sudah bercampur dengan budaya.

Dalam sikap politik kebangsaan, NU yang memiliki ketegasan terhadap pilar-pilar negara: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sering dituduh bughat, artinya menentang dan menyimpang karena tidak mau mendirikan Negara Islam.

Alasan kedua menurut Gus Yaqut adalah kelompok-kelompok itu bukalah kelompok keagamaan yang tujuannya syiar ajaran agama semata, tapi kelompok-kelompok politik kekuasaan yang bertujuan menggulingkan pemerintah yang sah dan mengganti Republik Indonesia ini dengan sistem Khilafah atau sejenis Negara Islam.

Kalau Gus Dur dulu mengingatkan pada semuanya apa yang terjadi di Aljazair, maka Gus Yaqut menjadikan konflik di Suriah, Iraq, Yaman dan beberapa negara di Timur Tengah sebagai cermin yang kita bisa mengaca kalau membiarkan kelompok-kelompok radikal semakin menguat atau bahkan berkoalisi dengan mereka.

Baik Gus Dur dan Gus Yaqut tetap menginginkan agar kelompok muslim moderat tetap kuat dan dominan, karena ini lah yang menjadi alasan keberlangsungan NKRI ini berdiri dan kedamaian di negeri ini tetap abadi. Oleh karena itu segala bentuk ekstrimisme keagamaan dan kekerasan dengan kedok agama, harus lah dilawan, karena selain bertentangan dengan ajaran keramahan dan kerahiman Islam, juga membahayaka bagi keberlangsung kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka, kita patut lah bersyukur, setelah Gus Dur, syukur alhamdulillah, tugas sebagai jangkar kebangsaan yang tetap mempertahankan kapal dari goyangan dan seretan ombak yang bisa menyeret kesana-kemari, kini dilanjutkan oleh sosok Gus Yaqut.

Tugas ini tidak hanya menyelamatkan citra keramahan dan kerahiman Islam saja, tapi juga keberlangsungan negara dan negeri ini.

Penulis:

Mohamad Guntur Romli (ap/vlz) , seorang penulis dan aktivis, pernah mengabdi sebagai pemandu acara Kongkow Bareng Gus Dur dari tahun 2005 sampai Gus Dur wafat tahun 2009.