1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

140710 Afrika Klimawandel Initiative

15 Juli 2010

Afrika akan menjadi benua yang paling parah dilanda dampak perubahan iklim. Yang amat memprihatinkan, dibanding benua-benua lainnya, Afrika adalah benua yang paling tidak siap menghadapi perubahan ini.

https://p.dw.com/p/OLCX
Curah hujan yang berkurang serta meluasnya gurun Sahara salah satu kesulitan yang dihadapi Afrika akibat dampak perubahan iklimFoto: picture-alliance/ dpa

Karena itulah, Kementrian Pendidikan Jerman menjalin kerjasama dengan 15 negara di Afrika untuk mengembangkan institusi ilmiah bagi riset perubahan iklim. Menteri Pendidikan Jerman Annette Schavan mengungkapkan, “Kami bukan hanya memiliki proyek bersama, melainkan juga menciptakan infra strukturnya di kawasan bersangkutan. Dimulai dengan membangun dua pusat riset iklim di bagian barat dan bagian selatan Afrika. Politik bekerjasama dan para ilmuwan juga bekerjasama."

Para ilmuwan yang bekerja dalam proyek itu, hendak mengembangkan strategi agar sektor pertanian di negara-negara Afrika dapat melakukan adaptasi terhadap persyaratan baru. Metode pertanian mana yang harus diubah, bagaimana irigasi lahan pertanian dapat dikelola lebih efektif, dan bagaimana caranya agar lahan pertanian dapat dipertahankan untuk masa depan.

Tugas utama dari institut keilmuan yang baru didirikan itu adalah, mula-mula mengumpulkan data akurat mengenai perubahan iklim. Menimbang berkecamuknya perang berkepanjangan di sejumlah negara Afrika Barat, di kawasan itu tidak ada data pertanian dan iklim selama beberapa dekade terakhir. Pusat riset iklim itu akan menjalin kerjasama dengan sejumlah universitas serta pusat penelitian yang sudah ada.

Menteri Pendidikan dan Lingkungan Ghana Sherry Ayittey mengungkapkan permasalahan yang dihadapi Afrika Barat, “Jika kita cakup semua negara di Afrika Barat dari Guinea Bissau hingga Kamerun, semua memiliki struktur iklim yang serupa. Kami memiliki sabuk hujan yang sempit, yang menderita akibat menciutnya areal hutan. Kami memiliki gurun Sahara di utara yang terus meluas. Kami mengalami kemarau panjang, kelangkaan air dan kekurangan energi. Kami menghadapi masalah lintas batas berkaitan perubahan iklim.“

Karena itulah, negara-negara di Afrika mengharapkan dua pusat riset iklim yang baru didirikan itu dapat bekerjasama dengan pusat riset yang sudah ada dan tidak melakukan persaingan. Juga di masa depan, berbagai lembaga pemerintahan harus dilibatkan dalam program ini, kata sekretaris negara di Kementrian Pendidikan Zambia, Sherry Thole, “Kami telah memiliki lembaga riset yang kebanyakan milik negara. Yang kami inginkan adalah menghimpunnya dan mengubah cara kerjanya. Di sana masih banyak yang harus dilakukan. Kami harus mengubah infrastruktur pada standar abad ke 21. Di kebanyakan lembaga infrastrukturnya tergolong ketinggalan zaman.“

Karena itulah titik berat program bantuan dari Jerman diarahkan pada pendidikan lanjutan ilmuwan-ilmuwan muda. Para ilmuwan Afrika itu akan mendapat beasiswa untuk mengikuti program pelatihan selama setengah tahun di Jerman. Dalam dua tahun mendatang, Jerman menganggarkan investasi sebesar lima juta Euro untuk penelitian iklim di Afrika tersebut.

Mathias Bölinger/Agus Setiawan

Editor: Asril Ridwan